Cerita Sarinam Kandung ~ Tersebutlah negeri telah aman. Padi masak, jagung maupiah, ternak berkembang biak, orang kampung bersukaria, sanak saudara bersenang hati. Pasar ramai dikunjungi, mesjid penuh didatangi, tidak terganggu beribadah. Tiudak terndengar lagi kata yang meningkah,tidak ada kusut yang tak selesai, tidak ada keruh yang tidak akan jernih. Oang-orang tua sepakat hendak memperbaiki negeri, yang mudapun seiya hendak memperindah kampung.
Demikianlah keadaan di kampung Pandeka Lompong. Semua penduduk kamung mersa perutnya kenyang lantaran padi di sawah telah pulang. Banyak di antara penduduk di sat ini berniat melepaskan nasarnya. Dan dalam hal ini tidak ketinggalan nasar orang tua Pandeka Lompong. Mereka berniat hendak mencarikan teman hidup anaknya itu.
Pada ketika yang baik sesudah makan, berkatalah ibu Pandeka Lompong kepadanya. "Kami bermaksud hendak memperkatakan sesuatu enganmu sekarang."
Entah apa sebabnya tersirap juga darah Pandeka Lompon mendengar ucapan ibunya itu. Bermacam dugaan bersaranf di hatinya. Adakah sesuatu yang buruk disampaikan orang mengenai dirinya?
"Kau dengarlah apa yang hendak kami sampaikan padamu," sela ayah nya lantaran dilihatnya Pandeka Lompon menekurkan kepala.
"Kami perhatikan denganmu ada bertambah baik juga dari hari ke hari berkat doa kita bersama," ibunya menyambung.
Jantung Pandeka Lompong berdebar-debar. Sementara itu ayahnya menggulung tembakau dengan daun enau sambil melihat juga pada anaknya. Dan Pandeka Lompong tampak mencurikan pandangannya pada orang itu.
"Sungguhpun daganganmu bertambah baik juga dan uangmu banyak ada sesuatu yang merusuhkan kami."
Wajah Panedeka Lompong menjadei pucat. Kepalanya terangkat. Ia menduga sudah pasti orabg tuanya menerima pengaduan yang buruk-burukdari orag kampung mengenai dirinya. Hatinya kecut lantaran mengingatkan penilaian dirinya akan jatuh dalam pandangan orang tua yang dicintainya itu. Ia berfikir, kemanakah kealanya akan disurukkan?
Ayah Pandeka Lompong, selaku orang tua yang arif, cepat mengetahui kecemasan anaknya itu. Ia menyadari bahwa isterinya bersalah dalam menyampaikan kalimat.
"Yang kami rusuhkan, bukanlah lantaran mendengar namamu cemar dakam kampung," oang tua itu menyela.
Bukan main senangnya hati Pandeka Lompong mendengar ucapan ayahnya itu.
"Yang kami rusuhkan selama ini ialah lantaran hutang kami ke negeri belum lagi terbayat."
Kembali ternganga mulut Pandeka Lompong, Kekhawatirannya kembali datang. Ia bertanya dalam hati, sejak bilakah kedua orang tuanya itu berhutang pada orang kampung? I tahu benar bahwa orang tuanya itu cukup mempunyai sawah ladang. Dan untukl belanja harian ia selaku anak tidak pula lupa membantu.
"Bukannya kami berhutang dalam bentuk emas dan perak," sambung ayahnya melirik pada ibu Pandeka Lompong.
Untuk kedua kalinya hati anak muda ini menjadi senang.
"Hutang kami berbentuk adat dam kewajiban. Berhutang adat terhadap kampung dan berhutang kewajiban terhadap dirimu. Jika hutang -hutang ini belum juga lunasiakan bderakibat kami mendapat malu dari orang kampung. Dan jika kami mati, maka mayat kami akan tertungkup terlentang di dalam kubur."
Kata-kata orang tua ini mendatangkan pertanyaan yang baru pula dalam fikiran pandeka Lompong.
"Kami bermaksud hendak mencarikan engkau seorang isteri yang bisa mengurus hidupmu setiap hari."
Tanpa disadari kepala Pandeka Lompong tertekur. Mukanya merah padam mendengar jawaban yang tidak diduga-duganya itu.
"Tidak ada bujang yang tidak akan berbini dan tidak ada pula gadis yang tidak akan bersuami," ayahnya meneruskan.
"Selaku umat manusia syarat-syarat ini harus ditempuh. Kami telah sepakat hendak menerima pinangan kemenakan St.Diateh yang bernama si Sarinam."
Bagaikan di langit yang ketujuh Pandeka Lompong mendengar ucapan ayahnya yang terakhir itu. Sebab baginya, pucuk dicinta ulam yang tiba. Gadis ini memang telah lama dicintainya. Mau ia rasanya merangkul orang tua itu lantaran kegirangan. Namun selaku anak yang sopan hal itu tidak dilaksanakannya. Ia hanya berpura-pura berfikir sesuatu.
"Jawablah,nak kandung," terdengar suara ibunya yang sedari tadi melihat padanya dengan harap-harap cemas.
"Seandainya kau tidak menyetujui pilihan kami ini, akan kami tolak dengan baik," sambung orang tua itu. "kami tidak memaksa."
Pandeka Lompong terkejut dari lamunannya membayangkan gadis yang dirindukannya itu.
"Jawablah," sekali lagi ibunya berharap.
"Jika kau tidak menyukai gadis itu cepat-cepat pula kami tolak jangan sampai orang menunggu lama."
Keluh lidah Pandeka Lompong karenannya. Akan diiyakannya pada saat itu juga ada hal-hal yang memberatkan. Ia takut kalau-kalau rahasia hatinya selama ini akan terbongkar. Dan jika tidak diiyakannya pada saat itu pula alamat ia akan makan hati berulam jantung.
"Hamba menurut saja," kata Pandeka Lompong terputus-putus dengan perasaan malu.
Bagaikan dikendalikan kedua orang tua Panedeka Lompong berpandang-pandangan. Masing-masing tersenyum.
"Tentu saja kau setuju karena gadis itu yang kau gandai selama ini," sahut ibunya pada Pandeka Lompong sambil melirikan matanya dengan tujuan bergurau.
Merah padam muka Pendeka Lompong. Ia menekurkan kepalanya Tahulah ia sekarang bahwa enah karenanya selama ini telah juga diketahui oleh orang tuanya.
Ayah Pendeka Lompong mendeham-deham karena ada sesuatu yang hendak dikatakannya pada anaknya itu.
"Mulai sekarang, karena kau hendak kami pertunangankan, kau harus lebih berhati-hati menjaga kelakuanmu di hadapan orang banyak. Pergaulansesama besar agak dikurangi sedikit sebab bisa memungkinkan terjadi hala-hala yang tercela. Maklumlah anakpanak muda zaman sekarang kurang memperhatikan batas-batas kesopanan."
Demikian orang tua itu mengajari dengan anaknya. Kepala Pandeka Lompong tetap saja tertekur.
"Dimana saja kau bertemu dengan famili si Sarinam harus kau sapa dengan mulut yang manis. Itu tandanya kau anak yang ditunjuk diajari oleh orang tuanya".
Pandeka Lompong menganggukkan kepalanya bagai burung balam. Ia bertambah segan menantang wajah ayahnya.
Beberapa hari kemudian paecahlah khabar dalam kampung bahwa Pandeka Lompong telah bertunangan dengan si Sarinam. Di mana-mana orang memperkatakan hal itu sebab Pandeka Lompong termasuk anak muda kampung yang disenangi masyarakat. Mulutnya manis kucintannya murah. Ia pandai menghormati yang tua-tua dan menghargai yang sesama besarnya.
Begitu pula si Sarinam seorang gadis yang disukai lantaran budinya yang baik. Ia bersifat lurus pergi dan lurus pula datang. Ia tidak seperti gadis lain yang suka bertandang ke ruamah orang.
Dalam mempekatakan si Sarinam dan Pandeka Lompong ini tidak ketinggalan wanita-wanita yang sedang mandi di pancuran. Ada di antara mereka yang mengatakan dengan pantunnya:
Seekor ikan, seekor kulari, sama bersedai keduanya.
Seorang sutan seorang saidi, sama rancak keduanya.
Begitu juga teman-teman sesama besar Pandeka Lompong tidak ketinggalan mempegarahkannya dengan rasa iri lantaran memperdapatkan gadis yang kamek. Pandeka Lompong menerima gurauan itu dengan rasa bangga.
Pada hari yang ditentukan di mana Pandeka Lompong harus mengucapkan akad nikah di hadapan khadi, sejak paginya anak muda in i telah bersiap-siap dengan pakaiannya yang serba baru. Ia merasakan waktu itu berjalan terlalu lambat. Baginya bagaikan di bibir pinggir cawan. Terbayang di matanya lesung pipik gadis yang akan dipersuntingnya itu. Dibayangkannya pyla berbagai kesenangan yang akan diperolehnya dari Sarinam jika mereka telah serumah tangga. Angannya telah melampaui langit yang ketujuh.
Demikianlah disaat Pandeka Lompong telah berhadapan dengan engku khadi, tampak ia bagaikan menggigil.
"Pandeka Lompong, benarkah engkau bersungguh-sungguh hendak kami nikahkan dengan kemenakan St. Diateh yang bernama Sarinam?" engku khadi memulai.
"Ada engku," jawab Pandeka Lompong bagaikan tergegas.
"Mengapa engkau enggigil?" tanya engku khadi keheranan.
"Entahlah, engku," jawab Pandeka Lompong kemalu-maluan.
"Tenang saja," sambung engku khadi pula.
"Jangan takut tidak akan lepas burung di tanganmu."
Kepala Pandeka Lompong tertekur mendengar garah engku khadi itu. Orang yang menyaksikan pernikahan itu turut pula tertawa.
"Engkau mesti menyimakkan apa yang saya katakan," engku khadi memasuki acara yang sebenarnya.
Pandeka Lompng menganggukkan kepalanya. Fikirannya mulai menjalar ke sana - ke mari. Peluh dinginnya mulai bercucuran.
"Sesudah akad nikah saya sebutkan, engkau harus segera menjawab dengan kalimat, hamba terima menikahi si Sarinam anak Malin Pajuah dengan uang mahar lima ratus rupaiah," sambung engkau khadi dengan tujuan memberi petunjuk.
Sekali lagi kepala Pandeka Lompong terangguk.
"Jika engkau tidak cepat menyahuti apa yang saya ucapkan, alamat iblis akan masuk dalam pernikahan ini. Berarti pula iblis yang berhak menikahi isterimu itu."
Takut juga Pandeka Lompong mendengar nasehat engku khadi. Ia lebih berhati-hati mendengarkan apa yang dikatakan orang tua itu. Ia tidak mau si Iblis akan menikahi si Sarinam.
Suasana agak tenang terasa di waktu itu. Engku khadi tampak membaca sesuatu dalam mulutnya yang komat- kamit.
"Saya nikahkan engkau dengan si Sarinam, anak kandung engku Malin Pajuah dengan uang mahar sebanyak lima ratus rupaih," engku khadi memulai.
Di mulai dengan mulut ternganga menyahutlah Pandeka Lompong. "Hamba terima menikahi engku khadi anak Malin Pajuah dengan uang mahar lima ratus rupiah."
Terbelalak mata engku khadi mendengarkan sahutan Pandeka Lompong itu. Berhamburan tertawa orang yang mendengarkan. Sedangkan wajah ayah Pandeka Lompong menjadi merah padam. Ia malu melihat anaknya yang bengong itu.
"Mengapa harus menyahut dengan kalimat, aku terima menikahi si Sarinam anak kandung Malin Pajuah dengan uang mahar lima ratus rupiah."
Kepala si Pandeka Lompong kembali mengangguk.
Sekali lagi engkau khadi menyampaikan akad nikah itu: "Saya nikahkan engkau dengan si Sarinam anak kandung Malin Pajuah dengan uang mahar lima ratus rupaiah."
"Hamba terima menikahkan engku khadi dengan si Sarinam anak kandung Malin Pajuah dengan uang mahar lima ratius rupiah," sahut Pandeka Lompong tergegas.
Hiruk- pikuk orang mendengarkan jawaban Pandeka Lompong. Engkau khadi yang terbilang sabar itu terpaksa menggeleng-nggelengkan kepalanya. Ayah Pandeka Lom[ong mengalihkan mukanya ke arah lain lantaran malu. Rasakan mau ia menyepakkan anaknya itu.
"Mengapa saya pula yang hendak engkau nikahkan dengan gadis itu?" terdengar suara engku khadi dengan geram.
"Anak saya saja sudah besar-besar dan tidak akan laku lagi oleh gadis-gadis."
Pandeka Lompong sendiri merasa terheran-heran mengingatkan mengapa lidajnya itu menyeleweng dengan jawaban yang tidak tepat.
"Cobalah engkau renungkan benar apa yang saya katakan," engku khadi meneruskan kata-katanya.
"Engkau menjawabnya dengan hati-hati. Jangan terburu-buru sebab tidak akan lepas juga ke tangan orang."
"Baiklah engku khadi," balas Pandeka Lompong memberanikan diri."
"Memang fikiran hamba entah kemana saja tadi perginya."
Sejurus engku khadi yang tampak berusaha mengendalikan fikirannya. Kemudian ia kembali menyampaikan lafad nikah itu sekali lagi. Pendeka Lompong menyahut dengan kalimat, menikahkan Sarinam dengan Malin Pajuah dengan mahar laima ratus rupiah.
Mendengarkan jawaban ini, engku khadi benar-benar terberang pada Pandeka Lompong.
"Ondeh yuang, mengapa bengong benar engkau ini." Pandeka Lompong terkejut.
"Barangkali otakmu telah kemasukan setan," sambung engku khadi."Lebih baik kau mandi dahulu sebelum brhadapan dengan saya."
Maka terpaksalah Pandeka Lompong dimandikan oleh ayahnya dengan hati yang sangat geram. Sementara itu engku khadi yang menunggu menyampaikan fatwa-fatwanya pada orang yang mendengarkan. Ia mengatakan nasib Pandeka Lompong itu diakibatkan karena jarang sekali mendekatkan diri pada Tuhan sehingga setan sempat memasuki dirinya.
Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Sumatera Barat
loading...
0 Response to "Cerita Sarinam Kandung"
Post a Comment