Alkisah Rakyat ~ Manusianya sudah masuk dalam bilangan orang tua di dalam kampung. Tetapi tubuhnya masih berisi dan pendek. Semasa muda ia dikenal jalo silat. Hingga sekarang kakinya masih cepat menyepakkan sesuatu.Sejak sedari muda ia memelihara kumis yang dipi;in, hingga kedua ujungnya tampak runcing. Panduko Sarek walau ia telah tua, kemauannya masih keras. Ia tidak mau ketinggal dengan anak-anak muda dalam memncari nafkah, ke sawah maupun ke ladang. Kadang-kadang dengan sampannya ia menangkap ikan di danau.
Disamping itu Panduko Sarek mempunyai sifat yang disenangi anak-anak muda. Ia ahli membuat cerita yang lucu-lucu dan garahnya banyak. Karena sifatnya ini ia sangat dikenal oleh masyarakat kampung terlebih lagi oleh anak-anak muda. Ia belum latah seperti kebanyakan orang-orang tua lainnya. Pada suatu hariPandukoSarek tampak sangat letih pulang dari sawah. Matahari terasa membakar di samping sawah yang dicangkulnya kekurangan air. Maklum disaat itu hujan telah lama tak turun. Baru saja ia sampai di rumah, ia langsung bersandar di dinding. Kedua kakinya terunjur dan matanya terkalok-kalok. Ia berusaha membuka kancing bajunya satu-satu.
Diatas rumah tidak seorangpun yang tampak olehnya. Ia hanya mendengar seseorang sedang memasak di dapur. Dengan suara parunya ia bersorak meminta kopinya. Sambil menunggu ia terus juga mengalaikan kapalanya. Kopi yang ditunggu-tunggunya itu tidak juga kunuung datang. Tenggorokannya terasa kering lantaran kehausan. Karena kopi yang ditunggu-tunggunya tidak datang, amarahnya hampir tidak bisa dikendalikan. Matanya kembali terbuka dan ia melengong ke kiri dan ke kanan. Di atas meja ia melihat sebuah mangkok yang ditutup. Tidak ayal lagi ia berpendapat bahwa kopinya telah lama disediakan oleh cucucnya.Dengan amarah yang mulai mengendor, Panduko Sarek merangkak ke arah meja. Setiba di sana digapainya mangkok itu dan langsung dibawanya ke mulutnya. Sekali teguk saja maka tamatlah semua isi mangkok itu. Tetapi sayang mulutnya tercibir lantaran ia merasakan sesuatu yang berbeda dari biasa. Lidahnya terasa asin. Ia meludah beberapa kali. Asin lidahnya itu tetap juga terasa. Kembali amarahnya meluap.
"Oi Uiak Gadempan, apa yang kamu masukkan ke dalam kopi saya." Pandiko Sarek bersorak sambil merentakkan kakinya.
"Rupanya kalian hendakmembunuh saya dengan berani memasukkan garam ke dalam kopi."
Cucunya si Upiak Gadempam yang sedang bekerja di dapur terkejut mendengar raung engkunya itu. Ia berlari ke tengah rumah dengan langkah yang berderam-deram. Baru saja ia tercogok, kembali Panduko Sarek merarau, "Saya sangat jerih pulang dari sawah. Di dapati kopi di atas meja tidak pula samalero. Mengapa garam yang kaun jadikan gula?"
Ternganga mulut Upiak Gadempam mendengar keterangan engkunya itu.
"Kopi engku belum lagi hamba sediakan. Yang engku minum dimangkok itu bukanlah kopi."
Mata Panduko Sarek terbelalak. Ia kembali meludah-luda.
"Jadi apa?" tanyanya.
"Kecap, engku."
"Kocap (baca kecap)?"
Dengan ketakutan Upiak Gadempam menganggukkan kepalanya.
"Apa gunanya kecap itu?"
"Bukankah engkau menyuruh membakar ikan untuk engku makan sekembalinya dari swah?"
Kembali Panduko Sarek membulalakkan matanya.
"Benar-benar anak celaka kau rupanya. Kocap (baca kecap) rupanya yang telah saya minum."
Entah apa yang cucunya itu tertawa. Amarah Panduko Sarek menjadi-jadi.
"Apa yang kau anggap lucu makanya engkau tertawa, setan?"
"Tidak ada yang lucu, engku. Hanya perut saya geli mendengar engku menyebut kecap dengan kocap."
"Apa saja nama tidak menjadi soal. Nyatanya lantaran perbuatanmu saya telah terminum kocap (baca kecap)."
"Bukan salah hamba, engku. Engku yang tidak mau bertanya -tanya sebelum minum."
Hampir saja kaki Panduko Sarek melayang ke tubuh gadis itu. Untung saja ia segera bisa mengendalikan fikirannya.
"Tidakkah engkau mendengar rarau saya sejak tadi meminta kopia."
Upik Gadampam menggelengkan kepalanya.
"Tidak?"
"Tidak, engku."
Panduko Sarek mengurut dadanya.
"Kalian sama saja," orang tua itu menggerutu.
"Ibumu, mamakmu, tidak seorang juga yang bisa diharapkan untuk membalas guna. Tidak seorangpun yang menuruti perintah. Hingga tengah hari tadi tidak tampak batang hidung mamakmu itu di sawah."
"Bukankah ia sedsang mengerjakan sawah anaknya pula, engku,"
"Pandai pula kau menjawab, setan. Mamamu itu terlalu penakut dengan bininya."
Upik Gadempam menekurkan kepalanya.
"Begitulah pula ibumu, disuruh kepasar berjualan
ikan, ia bergendak dengan kusir bendi." sambung Panduko Sarek.
"Tidak bisakah ia mencari bendi yang kosong untuk ke pasar itu?"
"Tentu saja tidak ada bendi yang kosong, engku." Upiak Gadempam berusaha menjawab.
"Paling kurang kusirnya ada."
"Pandai pula kau membela. Saya maksudkan janganlah ibumu itu terlalu berdekatan dengan kusir walau muatannya penuh."
"Allah, engku terlalu nyinyir."
Hampir saja kesabaran Panduko Sarek kerenanya.
"Kalian benar-benar telah moderen di tengah rumah ini. Baru gadis anyir telah berani membantah kata-kata orang tua. Perbuatlah sesuka hati kalian."
Panduko Sarek merentak dan langsung meninggalkan cucunya menuju tangga.
"Kenapa lagi engku akan pergi?" tanya Upiak Gadempam mengejar engkunya.
"Bukankah nasi telah hamba sediakan?"
"Muak saya melihat kelakuan mkalian. Dari yang kecil hingga yang besar sama saja."
Panduko Sarek terus saja berjalan. Lumpur yang tadinya melekat di kaki celananya mulai menyering. Langkahnya berat bagaikan beruk tua berjalan. Seketika Panduko Sarek memperlurus pinggangnya yang terasa pegal.Hatinya panas lantaran mendengar pidato ciucunya tadi. Di dalam perjalanan itu disentaknya celananya yang hampir kedodoran itu hingga pinggang. Wajahnya masih tetap membayangkan amarah. Orang-orang yang brselisih jalan dengannya tidak seorang juga yang mau menyapa.
Menjelang sebuah kedai kopi yang sering didatanginya, kakinya terinjak kulit pisang. Ia hampi saja terangkak. Seorang anak muda yang bernama Buyung Lelek menghampirinya.
"Hampir saja engku menangkap belalang."
Panduko Sarek membelalakkan matanya.
"Bukan menangkap belalang. Mengankap kepala ayahmu."
Tertekur kepala Buyung Lelek melihat mata Panduko Sarek yang merah lantaran marah. Ia menyadari bahwa memang tidak baik mempermainkan orang tua. Panduko Sarek terus juga berjalan. Sesampai di kedai kopi ia menghenyakkan pantanya dan langsung bersandar lemamng. Matanya terkalok-kalok tanda mengantuk. Orang lain yang berada di kedai itu melihat saja sambil bergunumi-gumikan. Dan BUynung Lelek yang telah masuk ke kedai itu berbisik pada salah seorang temannya,. "Engku Panduko Sarek baru saja memberang."
"Tampaknya demikian," jawab temannya itu berbisik pula. Sementara itu Panduko Sarek membuka matanya. Ia menggarut-garut pinggulnya.
"Tidak punya otak kepinding ini," ia menggerutu.
"Sudah jelas orang keletihan ia menggigit pula."
"Memang kepinding itu tidak berotak, engku," sela orang lepau bergarah.
Baru saja Panduko Sarek hendak membulalangkan matanya Buyung Lelek menyahut pula, "Jangan marah juga, engku. Lebih baik kita minta kopi susu."
Kepala Panduko Sarek terlengong pada Buyung Lelek.
"Jika engkau yang membayarkan, tentu saya setuju saja."
Buyung Lelek tertwa. Takutnya hilang.
"Kopi susu dua gelas, orang lepau," terdengar suara Buyung Lelek meminta.
Orang lepau bergegas mengambilkan pesanan Buyung Lelek. Satu gelas diletakkannya di depan Panduko Sarek. Dan yang segelad lagi dekat Buyung Lelek. Mata Panduko Sarek menjadi nyalang. Ia lengsung meminum kopi itu. Dengan seteguk kopi saja seluruh amarahnya menjadi hilang. Dalam fikirannya kembali terbayang garah-garah yang akan dikeluarkannya. Ia teringat sebuah pantun.
"Kalian bersedia mendengarkan pantun saya?"
"Tentu saja engku," jawab orang serentak.
Panduko Sarek mulai berpantun:
Uncang buruk tidak bertali, tergantung di barung-barung
Si Buyung Lelek tidak berbini, memperkenyang kepinding orang.
Kedai itu hiruk- pikuk dengan gelak tertawa. Buyung Lelek tersengeng dalam hati ia berniat membalas.
"Dengarkanlah balasannya," katanya pada Panduko Sarek.
"Tinggi tandanya Katukalek, tampak nan dari kampung Panji.
Apa tenggangan Panduko Sarek, awaklah tuo binilah baji."
Panduko Sarek menyingir seperti kuda. Orang yang mendengar bersorak-sorak. Dan orang itu kembali meminum kopinya.
Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Sumatera Barat
loading...
0 Response to "Cerita Panduko Sarek"
Post a Comment