Batu Amparan Gading

Batu Amparan Gading ~ Pada suatu masa, hiduplah seorang raja bernama Raja Muda. Permaisurinya bernama Putri Gani. Mereka dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kehidupan rumah tangga mereka sangat bahagia.

Halaman istana mereka sangat luas dan dihiasi taman bunga yang tertata rapi. Di halaman depan terdapat sebuah batu besar yang datar permukaannya, berwarna kuning gading, bernama Batu Amparan Gading.


Dikala sore hari, sangat sering Raja Muda beserta Putri Gani dan anak-anaknya duduk bersantai. Mereka bercengkerama di atas Batu Amparan Gading itu.

Nasib malang yang menimpa keluarga Raja Muda tidak dapat ditolak. Istrinya yang tercinta, Putri Gani, sakit, kemudian meninggal dunia. Rasa sedih dan pilu hati Raja Muda semakin mendalam melihat kedua anaknya yang masih kecil. Tiada lagi belaian kasih sayang ibu tercinta.

Hari demi hari berlalu. Raja Muda beristri lagi. Ia menikah dengan seorang putri Raja Hulu Sungai Kedua anaknya telah memiliki ibu kembali, walau ibu tiri. Pada awal pernikahan, istri Raja Muda yang baru sangat baik kepada kedua anak tirinya. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga Raja Muda menjadi penghibur bagi kedua anak tirinya.

Akan tetapi, suasana ceria yang dirasakan kedua anak kecil itu tidak berlangsung lama. Segala gerak dan tingkah laku mereka mulai tidak disenangi oleh ibu tiri. Ibu tiri mereka mulai tidak disenangi ibu tiri. Ibu tiri mereka mulai nyinyir dan sering marah kepada mereka. Apa saja yang mereka inginkan dan kepada mereka. Apa saja yang mereka inginkan dan lakukan selalu salah. Lebih menyedihkan lagi bagi mereka jika Raja Muda sedang tidak berada di istana. Mereka sering meminta makan kepada ibu tiri, tetapi tidak dipenuhi. Kalaupun diberi, hanya sedikit sehingga mereka tetap merasa lapar. Kasih sayang seorang ibu yang mereka harapkan tidak dapat gurau di atas Batu Amparan Gading bersama orang tua pun tidak pernah mereka lakukan lagi.

Pada suatu hari, ibu tiri mereka pergi ke luar istana. Ayah mereka pun sudah sejak pagi tidak berada di istana. Kakak-beradik ini belum diberi sarapan oleh ibu tiri. Lalu mereka pergi ke halaman dan bermain-main diatas Batu Amparan Gading. Sejenak bermain, perut mereka terasa amat lapar. Mereka ingin makan, tetapi tidak mungkin sebab semua makanan disimpan ibu tiri di dalam lemari makan.

Untuk sekadar melupakan rasa lapar, sang kakak berkata, "Dik, kau tunggu sebentar di tempat ini, ya. Kakak akan mencoba keluar untuk mencari mainan dan makanan."

Sang adik menjawab,"Baiklah, Kak, Pergilah."

Sambil membawa seruas bumbung, kakaknya pun pergi sendiri. Setelah berjalan sebentar, ia sampai ke tempat orang sedang menumbuk padi. Katanya, "ibu, bolehkah saya meminta melukut (serpihan beras) sedikit untuk makanan ayam saya?"

"Boleh, Nak, Ambillah!" kata ibu itu.

Anak itu mengambil melukut dan memasukkannya ke dalam bumbung yang dibawanya tadi, lalu pergi. Di dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seekor bengkarung. Bengkarung itu ditangkapnya untuk mainan. Setelah itu, terlihat pula bunga dadap berguguran di tanah. Ia pungut bunga itu untuk mainan adiknya. Tidak berapa lama, ia pun sampai kembali di tempat adiknya yang sedang bermain. Mereka berdua kembali bermain bersama dengan asyik.

Sementara asyik bermain, ibu tiri mereka pulang. Ia mendekati mereka. Terlihat olehnya bekas permainan mereka berserakan di atas Batu Amparan Gading. Timbul kesangsian ibu tiri kepada mereka. Ia melihat remah-remah bekas makanan di antara mainan yang ada di situ. Tampak pula biji puar (sejenis tumbuhan hutan) nasi, disangkanya remah nasi, bunga dadap merah, disangkanya sisik ikan. Tidak ragu lagi di dalam pikirannya, bahwa kedua anak tirinya itu mencuri makanan.

Serta merta kemarahan ibu tiri mereka pun timbul. Ia mencerca kedua anak itu habis-habisan. Bahkan kedua anak itu dipukul sekuat-kuatnya. Walaupun kedua anak tirinya sudah menjerit kesakitan minta dikasihani, ia tidak menghiraukannya. Ia tetap saja memukul mereka sampai puas. Sesudah itu, ia pulang ke istana. Adapun kedua anak tirinya tetap berada di atas Batu Amparan Gading. Badan mereka terasa sakit dan letih. Akhirnya, mereka berdua tertidur nyenyak di situ.

Beberapa saat kemudian, kakaknya terbangun dari tidur. Ingat akan kekejaman perangai ibu tirinya, air matanya kembali meleleh ke pipi sampai memandang adiknya yang masih tertidur nyenyak. Sedih hatinya mengenang nasibnya yang sangat malang itu. Ingin rasanya ia pergi menjauh dari tempat itu, tetapi tidak berdaya, ia hanya berharap agar penderitaannya dapat segera berakhir. Dengan air mata berlinang-linang ia meratap sedih sambil mengucapkan kata-kata.

Entak-entak bumbung seruas, meninggilah batu ampuran gading, mak dan bapak buruk makan, kami hendak pulang ke pintu langit, puar nasi bunga dadap disangka udang, sisik bengkarung disangka ikan, kami dituduh maling makan. 

Dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Batu Amparan Gading yang didudukinya itu meninggi. Dengan penuh keheranan dicobanya lagi mengucapkan kata-kata tadi, Batu Amparan Gading pun bertambah tinggi. Lalu, ia pun mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang. Setiap diucapkannya, Batu Amparan Gading pun semakin tinggi.

Sementara itu, Raja Muda kembali dari perjalanan. Dengan sangat terkejut bercampur heran, dilihatnya Batu Amparan Gading di halamannya sudah menjadi tinggi. Pada saat itu, batu tersebut sudah jauh lebih tinggi dari puncak bubungan istananya. Bertambah pula keheranannya setelah melihat kedua anak yang sangat disayanginya berada diatas batu itu. Ia sangat cemas dan merasa takut jika anaknya, terjatuh dari tempat setinggi itu. Ia pun segera menabuh kentong, memanggil semua orang yang ada di sekitarnya untuk meminta pertolongan.

Orang banyak segera berdatangan dan berusaha memberikan pertolongan. Ada yang mencoba menghancurkan bagian pangkal batu itu dengan berbagai penokok (pemukul). Ada yang mencoba mendorong batu itu untuk merobohkannya. Ada pula yang berupaya memanjatnya. Akan tetapi, semua usaha  mereka itu gagal dan sia-sia belaka. Batu Amparan Gading tetap berdiri dan semakin tinggi saja. Akhirnya, mereka putus asa dan pasrah sambil menyaksikan Batu Amparan Gading yang semakin tinggi itu.

Raja Muda termenung berdiam diri tenggelam dalam kesedihan yang telah menimpanya berulang-ulang. Terlintas dalam benaknya, kesalahan apakah gerangan cobaan ini. Adapun kedua anaknya tadi semakin tinggi saja keberadaannya, sejalan dengan ungkapan kesedihan yang diucapkan berulang-ulang. Akhirnya, mereka sampai ke pintu langit. Ketika mereka tiba di sana, pintu langit sedang tertutup. Dengan susah payah mereka mencoba membukanya, tetapi tidak bisa. Secara kebetulan, pada saat itu seekor burung garuda lewat di tempat itu. Mereka meminta pertologannya dan memberi upah sebumbung melukut. Burung garuda menyanggupi permintaan mereka itu.

Dengan mencontokkan paruhnya yang besar dan tajam, pintu langit pun terbuka. Kakak-beradik itu langsung melangkah masuk ke langit menuju tempat kediaman yang penuh kedamaian dan ketenteraman yang abadi. Setelah mereka naik ke langit, dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa pula, Batu Amparan Gading kembali merendah seperti semula. Tinggalah ayahanda tercinta, Raja Muda, bersama istri mudanya yang durjana, dan Batu Amparan Gading sebagai saksi bisu yang tetap setia menghias halaman istana.

Kesimpulan :
Cerita Batu Amparan Gading ini adalah cerita rakyat yang berkembang di daerah Kabupaten Bengkulu Selatan sejak zaman dahulu. Diceritakan sebagai hiburan bagi anak-anak menjelang tidur di malam hari. Secara ringkas, pesan cerita ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa selalu akan memberikan bantuan kepada hamba-Nya yang tidak berdosa yang sedang teraniaya. 

Sumber : Cerita Rakyat Dari Bengkulu oleh H. Syamsuddin dkk.
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Batu Amparan Gading Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Batu Amparan Gading Sebagai sumbernya

0 Response to "Batu Amparan Gading"

Post a Comment

Cerita Lainnya