Cerita Pak Balang Tamak

Cerita Pak Balang Tamak ~ Terceritakanlah seseorang yang bernama Pak Balang Tamak. Tinggal di sebuah desa. Ia sangat kaya, dan banyak mempunyai akal, sehingga ia tidak mau dikalahkan oleh teman-teman sewarga desanya. Berkat kecerdikannya itulah ia dapat menundukkan masyarakat desa itu. Adapun akal Balang Tamak itu, dikatakan sebagai "bun selingkat lutung." Walaupun ia disebut orang banyak mempunyai akal cerdik, tetapi ia seorang yang berhati jujur dan benar. Akibat kepandaiannya itu ia dibenci oleh sekalian masyarakat desa itu, dan diharap-harapkan agar supaya Pak Balang Tamak pindah dari desa itu atau lekas-lekas mati.

Bermacam-macam cara sudah diusahakan oleh masyarakat desa bersama kepala desanya, guna mencari kesalahan-kesalahan Pak Balang Tamak, namun tak satupun usaha yang mengena atau berhasil. Pada suatu hari, seluruh anggota desa akan mengadakan rapat besar. Rapat ini, tujuannya untuk memperdayakan Pak Balang Tamak, supaya ia kena denda besar. Untuk maksud ini, Kepala Desa mengutus salah seorang anggota desa resmi kepada seluruh penduduk, guna menyampaikan sebuah pengumuman resmi kepada seluruh penduduk. 


Utusan tersebut kini sudah sampai dirumah Pak Balang Tamak, dan ia pun berkata kepada pemilik rumah itu, "Hai, Pak Balang Tamak, kini aku menyampaikan perintah dari Bapak Kepala Desa kita, yang ditujukan kepada sekalian penduduk. Adapun isi perintah itu begini; Besok mulai ayam turun berkokok, pada saat itulah kita harus pergi ke gunung, guna mencari kayu, yang akan dipakai bahan, memperbaiki balai agung yang ada di dalam Pura Desa, dan barang siapa yang terlambat atau tidak hadir, ia akan dikenai denda banyak!" Demikian isi pengumuman itu.

Diceritakan keesokan harinya, sekalian anggota desa sudah serempak berangkat ke gunung, mencari kayu. Kecuali Pak Balang Tamak yang masih tinggal di rumahnya menyendiri. Ia sedang menunggu induk-ayamnya yang sedang mengeram telurnya di pesarangannya.

Berjam-jam lamanya ia berjongkok di bawah pesarangannya untuk menunggu induk ayamnya turun dari pesarangannya. Kira-kira pukul dua belas tengah hari, barulah induk ayam itu turun dari pesarangannya, sambil berkokok-kokok, karena lapar. Pada saat itu juga Pak Balang Tamak segera berangkat ke gunung hendak mencari kayu. Tetapi belum seberapa jauh ia berjalan, maka dijumpainya teman-temannya sudah kembali pulang, dan masing-masing sudah memikul kayu. Melihat itu maka Pak Balang Tamak ikut juga berbalik pulang. Setelah mereka tiba di rumah masing-masing, kemudian Kepala Desa segera mengadakan rapat sdesa, yang acaranya, akan membicarakan kelalaian Pak Balang Tamak dan juga tentang besar kecil dendanya.     

Salah seorang petugas desa diutus untuk mengundang Pak Balang Tamak, supaya ia hadir di dalam pertemuan. Mendengar itu, lalu Pak Balang Tamak tergopoh-gopoh datang ke tempat rapat. Setelah ia tiba di tempat rapat, kemudian Pak Kepala Desa berkata kepada Pak Balang Tamak.

"Hai, kau Balang Tamak, oleh karena engkau terlambat pergi ke gunung untuk mencari kayu, maka sekarang engkau harus membayar denda banyak." Sahut Pak Balang Tamak, "Bapak Kepala Desa, apakah sebabnya saya dikenai denda?" "Kau bersalah, karena engkau berani melanggar perintahku." Demikian kata Kepala Desa itu dengan nada sangat marah. Kemudian menyahut lagi Pak Balang Tamak, "Nanti, nanti dulu Bapak. Janganlah Bapak membilang saya tidak mengindahkan perintah Bapak, jangan!.

Adapun pengumuman yang saya terima dari petugas Bapak itu bunyinya begini: Sekalian anggota desa diwajibkan pagi-pagi mulai ayam turun berkokok, sudah siap berangkat ke gunung. Demikian keterangan petugas Bapak itu. Sesungguhnya sudah berjam-jam lamanya saya menunggu turunnya induk ayam saya yang sedang mengeram dari pesarangannya tetapi tidak turun-turun juga. Baru kira-kira pukul dua belas ayam saya turun dari peterangannya. Dan pula saat itu juga saya terus berangkat ke gunung, sesuai dengan perintah bapak yang disampaikan kepada saya. Karena itu, dimanakah letak kesalahan-kesalahan saya itu?"

Mendengar penjelasan itu, maka Kepala Desa bersama sekalian anggotanya, diam seribu bahasa. Mereka tidak dapat menangkis sanggahan Pak Balang Tamak. Diceritakan keesokan harinya, Pak Balang Tamak, menerima pemberitahuan lagi dari Bapak Kepala Desa. Isi perintahnya; "Bahwa setiap kepala keluarga desa itu, harus membawa cengkaruk, untuk bekal bekerja, memperbaiki balai agung di dalam pura. Setelah datang waktunya, tahu-tahu Pak Balang Tamak membawa sanggar buruk ke Pura Desa. Sanggar, yang buruk itu lalu diserahkan oleh Pak Balang Tamak kepada salah seorang petugas desa yang ada didalam pura. Katanya. "Inilah sanggar burukku supaya diperbaiki oleh para anggota desa di sini."

Melihat sikap Pak Balang Tamak menyerahkan sanggar buruk, lalu Kepala Desa berkata, "Hai Balang Tamak, mengapa kau membawa  sanggar buruk ke pura?" Kemudian menjawab Pak Balang Tamak, "Habis, menurut pengumuman Bapak yang disampaikan oleh petugas Bapak, begini: bahwa setiap kepala keluarga desa harus membawa sanggar buruk untuk diperbaiki di Pura Desa. Demikian keterangan petugas Bapak itu."

"Oh, tidak, maksudnya cengkaruk, yang akan dipakai bekal untuk mengerjakan sesuatu di Pura Desa." Demikian penjelasan Pak Kepala Desa. Mendengar itu, maka sekalian para anggota desa ternganga dan disangka Pak Balang Tamak salah dengar waktu menerima pemberitahuan. Cengkaruk di dengar sanggar buruk. Walaupun demikian halnya, Kepala Desa itu pun tak putus-putusnya ingin membuat kesalahan-kesalahan buat Pak Balang Tamak. 

Keesokan harinya lagi Pak Balang Tamak menerima sebuah pengumuman berburu ke hutan. Isi pengumuman itu begini: "Sekalian kepala keluarga di desa ini, harus berburu ke hutan. Dan supaya semua membawa anjing yang galak-galak. Barang siapa yang tidak memiliki anjing galak, akan dikenakan denda." Demikian pengumuman itu. Seluruh anggota desa sebenarnya sudah dari kemarinnya maklum akan isi pengumuman itu, kecuali Pak Balang Tamak. Karena itu mereka yang tidak mempunyai anjing galak, mereka meminjam kepada teman-teman mereka. Tetapi Pak Balang Tamak hanya memiliki seekor anjing kurus dan lagi sakit-sakitan. Demikialah keesokan harinya, semua anggota desa serempak berangkat ke hutan, dan masing-masing orang sudah siap membawa seekor anjing yang galak-galak.

Perjalanan mereka mendaki bukit-bukit dan menuruni jurang-jurang yang dalam-dalam. Pak Balang Tamak berjalan paling belakang, seraya merangkul anjingnya yang kurus itu. Baru saja ia sampai di tepi kali, ia pun berhenti tidak dapat melanjutkan perjalanannya. Kemudian di akailah akal cerdiknya, supaya teman-teman anggotanya datang membantunya. Ia pun menjerit-jerit, "Ada babi tiada bergigi, ada babi tiada bergigi, ada babi tiada bergigi?"

Baru saja teman-temannya itu mendengar jeritan Pak Balang Tamak, lalu mereka serempak mendatangi Pak Balang Tamak, siap dengan senjatanya masing-masing untuk membunuh babi yang tiada bergigi. Setelah tiba di sana, maka mereka bertanya kepada Pak Balang Tamak. "Dimana babi itu, Balang Tamak?" Pak Balang Tamak, menjerit-jerit, "Ada kali tiada bertiti, ada kali tiada bertiti." Salah seorang anggota desa mengulang bertanya, "Di mana babi yang tiada bergigi itu?"

Kemudian Pak Balang Tamak menjawab, "Ini apa kalinya yang tiada bertiti." Demikian penjelasan Pak Balang Tamak, sambil menunjukkan kali itu. Sambil tertawa-tawa asam sekalian anggota desa membuat titi di atas sungai tersebut, untuk memudahkan perjalan mereka berburu. Sungguh, nasib untungnya Pak Balang Tamak tidak kena denda.

Sekarang diceritakan mereka sudah tiba di tengah hutan. Sekalian anggota desa itu dengan serempak menggalakkan anjingnya masing-masing, supaya menyusup ke semak-semak belukar, ada yang mengejar kijang, babi dan menjangan, ada pula yang menggonggong kera yang ada di atas pepohonan.

Tetapi Pak Balang Tamak hanya bersembunyi sambil membawa anjingnya. Baru ia sampai pada pohon ketket, lalu anjingnya dilemparkannya ke pohon ketket itu. Anjing itu berbunyi "Koang-koang" kesakitan karena tersangkut pada pohon ketket itu. Hendak turun tidak dapat, hendak naik lagi, juga tidak bisa. Melihat anjingnya itu, maka Pak Balang Tamak bersorak-sorak bergembira.

Hore, hore, Hai, kawan-kawan, lihatlah ketangkasan anjingku ini, menerjang pohon ketket yang berduri. Siapa diantara kawan-kawan yang rupanya memiliki anjing galak seperti ini. Sekarang aku akan mendendai kawan sekalian, karena kalian tidak memiliki anjing segalak ini." Demikian katanya Pak Balang Tamak, bersemangat. Mendengar kata itu maka sekalian anggota desa tidak bisa menjawab. Dan akhirnya mereka dikenai denda oleh Pak Balang Tamak. Hari pun sorelah, maka sekalian anggota desa kembali pulang ke rumahnya masing-masing.
Selang beberapa hari, Pak Balang Tamak mendapat pengumuman lagi dari Kepala desanya, yang isinya; bahwa sekalian anggota desa itu esok paginya supaya datang rapat di balai desa. Setelah Pak Balang Tamak menerima perintah itu, lalu dengan segera ia membuat jajan dari beras ketan hitam, yang akan dipakai menipu para anggota desa.

Besoknya, pagi-pagi benar Pak Balang Tamak, mendahului pergi ke balai desa, serta membawa jajan ketan hitam dan semangkok air. Jajan ketan hitam itu lalu dipulung-pulung sebesar tahi-anjing, dan ditaruh dekat batu-batu sendi balai desa, serta masing-masing disirami air sedikit.

Siapakah yang tidak mengira, bahwa jajan-jajan itu, serupa dengan tahi anjing yang baru keluar dari dubur. Kemudian datanglah para anggota desa itu, orang demi orang, akhirnya penuh halaman balai desa itu. Selanjutnya Pak Balang Tamak mengumumkan suatu pengumuman yang bunyinya, "Hai, saudara-saudara peserta rapat, barang siapa yang berani memakan tahi anjing ini, akan kuberi hadiah seribu rupiah!"

Kemudian dengan segera menjawab Kepala Desa itu, Aku, engkau gila, Balang Tamak. Siapa yang mau memakan tahi anjing? Coba, engkau berani makan itu? Kalau berani, ku beri engkau hadiah dua ribu rupiah!". Mendengar tantanagan itu, lalu dengan segera Pak Balang Tamak memakan tahi anjing itu sampai habis. Kepala desa bersama sekalian anggota desanya, melongok keheran-heranan, melihat lagaknya Pak Balang Tamak, memakan tahi anjing. Akhirnya Kepala Desa harus mengeluarkan uang dua ribu rupiah untuk hadiah Pak Balang Tamak.

Oleh karena angota desa itu terutama Kepala Desanya, sudah seringkali dikalahkan oleh Pak Balang Tamak, maka bertambah-tambahlah kebencian mereka kepada Pak Balang Tamak. Mereka tak henti-hentinya mencari akal, supaya Pak Balang Tamak lekas-lekas terkubur. Keesokan harinya, Pak Balang Tamak lagi-lagi menerima pengumuman resmi, yang isinya: Melarang orang-orang yang menginjak pekarangan orang lain dan juga mencari sesuatu di dalam kebun milik orang lain. Barang siapa yang berani melanggar peraturan itu, akan dikenai denda yang besar. Demikian isi pengumuman itu.

Meskipun demikian isi pengumuman itu, sedikit pun Pak Balang Tamak tiada gentar menghadapinya. Karena ia yakin, bahwa kejujuran tetap mendapat lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Pada suatu hari Pak Balang Tamak membuat kebun kecil, yang ada di dekat pasar desa itu. Dan kebetulan di atas tanah itu banyak tumbuhan pohon pulut-pulut. Pekarangan inilah yang dipagari oleh Pak Balang Tamak, dengan lidi dan diikat-ikat dengan benang.

Keesokan harinya, sedari pagi sudah penuh orang-orang datang dipasar desa itu. Ada yang berjualan dan ada juga yang berbelanja. Tetapi di antara mereka terdapat seorang wanita yang hendak buang air besar. Orang itu dengan diam-diam mencari tempat yang sunyi. Ia pun menyelinap ke tempat pohon pulut-puulut itu. Belum sempat ia berak tiba-tiba menghardiklah Pak Balang Tamak. Katanya, "Hai, Bu sekarang ibu kena denda, karena Ibu menginjak kebunku ini !"

Mendengar bentakan itu, wanita itupun terkejut dan sakit perutnya mendadak menjadi hilang. Ia pun menjawab kemalu-maluan. "Oh, Pak apakah kesalahan aku ini?" Kok, hendak dikenai denda."

"Habis ibu bersalah, " kata Pak Balang Tamak.

"Karena ibu berani memasuki kebunku seraya mencuri busah tumbuh-tumbuhanku di sini."

"Eh, aku tidak mencuri apa-apa, pak. Jangan Pak mengatakan aku ini pencuri," sahut wanita itu.

"Lo, itu apa yang ibu bungkus di dalam kain ibu, itu?"

Kemudian baru saja dibeberkan kainnya itu, maka nyatalah kainnya penuh berisi buah  pulut-pulut yang melekat. Akhirnya wanita itu kena denda.

Masyarakat desa itu sangat susah memikirkan kecerdikan Pak Balang Tamak. Beberapa macam tipu muslihat sudah dilaksanakan, tetapi toh satu pun tiada berhasil.

Pada suatu hari, seluruh anggota desa itu telah mufakat dan bertekad akan menghadap Tuanku Raja, hendak memohon supaya Pak Balang Tamak dihukum berat. Setelah mendengar permohonan anggota desa itu mengenai Pak Balang Tamak, maka Tuanku Raja sangat murka. Sebenarnya baginda pun sudah lama mendengar kecerdikan Pak Balang Tamak memperdayakan masyarakat desa.

Oleh karena baginda sangat murka, maka kini Pak Balang Tamak akan diberi racun yang sangat manjur, dan diminta supaya racun itu segera diminum olehnya.

Diceritakan Pak Balang Tamak bersedih hati, karena berasa dirinya akan segera mati setelah meminum racun, Kemudian ia pun berpesan kepada istrinya: "Duhai, istriku yang tercinta. Kini kakak berpesan kepadamu. Apabila kakak sudah menjadi mayat, maka pada rambutku, harap digantungi beberapa ekor kumbang. Setelah itu, mayatku terus sandarkan pada balai-balai yang ada di sanggar. Lain dari itu, semua milik kita keluarkan, taruh di atas balai-balai pada halaman rumah, terus tutup dengan kain kapan. Dan di samping itu, kau harus menangis, seakan-akan benda-benda milik kita itu mayatku. Selanjutnya mayatku masukkan ke dalam peti, letakkan di dalam kamar tidur!"

Sekian pesan Pak Balang Tamak kepada istrinya.

Sekarang diceritakan Pak Balang Tamak sudah mati, karena minum racun yang diberikan Tuanku Raja.
Istri Pak Balang Tamak, yaitu Mak Balang Tamak. Ia segera melakukan segala pesan-pesan suaminya. Sekalian penduduk desa yang sudah mendengar kematian Pak Balang Tamak, sangat gembira. Tetapi penghulu desa, masih ragu-ragu akan kebenaran kabar itu. Untuk membuktikan kematian Pak Balang Tamak, maka beberapa orang anggota desa, sempat mengintip keadaan Pak Balang Tamak di rumahnya.

Baru saja mereka tiba di rumah Pak Balang Tamak, telah tampak Pak Balang Tamak sedang bersandar di Balai-balainya yang ada di sanggar, sambil ia mengucapkan mantra-mantra. Rambutnya terurai. Melihat keadaan itu, anggota desa yang mengintip seraya sangat kecewa dan mengatakan, bahwa racun baginda itu tiada manjur. Akhirnya mereka segera menghadap Sri Baginda, untuk melaporkan, bahwa sesunggunya Pak Balang Tamak belum mati.

Mendengar laporan itu, lalu Sri Baginda sangat murka, karena racun baginda itu tidak manjur. Baginda pun berkata di dalam hati: "Wah, bagaimana racun kita ini, kok tiada manjur. Ah, baiklah kucoba sekarang." Demikianlah kata hati baginda, sambil meminum racun. Tetapi apa lacur, baru saja racun itu sampai di dalam perut baginda, baginda pun mangkat seketika.

Diceritakan Mak Balang Tamak ketika mendengar kabar, bahwa Sri Baginda sudah mangkat. Kemudian dengan segera ia mengatur kembali mayat suaminya, sesuai dengan petunjuk-petunjuk suaminya, semasa hidup. Pada malam harinya, ada empat orang pencuri sedang memperundingkan untuk pencurian di rumah Pak Balang Tamak. Setalah mufakat, maka mereka berangkat menuju sasarannya. Mereka segera memasuki rumah Pak Balang Tamak dari pintu belakang.

Dimana, tampak istri Pak Balang Tamak sedang bersedih hati menangis kematian suaminya di balai halaman rumah. Pencuri itu lalu menyelinap masuk ke kamar tidurnya. Di dalam kamar itu mereka melihat ada sebuah peti besar dan berat yang diperkirakan peti tempat kekayaan. Peti itu lalu segera diangkat berempat, lalu dibawa kabur. Setelah mereka sampai di belukar, maka berkatalah salah seorang pencuri.

"Baiklah, disini saja kita buka peti itu!"

"Ah, lebih baik di sebelah sana, karena di sini ada bau busuk. "Sahut temannya. Peti itu lalu diangkat lagi dibawa ke tempat yang lebih aman.

"Nah, di sini baru baik. Di sinilah kita buka peti ini." Kata temannya.

"Ah, kok masih berbau busuk. Lebih baik kita buka di dalam pura saja. Masakan di dalam pura orang  membuang nagkai?"

Lalu peti itu dipikul lagi dibawa ke dalam Pura Desa, yang baru selesai diperbaiki. Di atas balai-balai yang ada di dalam pura desa itulah peti itu dibuka mereka. Maka tampaklah mayat Pak Balang Tamak menjengkang kaku. Melihat kejadian seperti itu, maka pencuri tadi lari tunggang-langgang, karena takut.

Keesokan harinya, setelah fajar menyingsing, dan kebetulan pada hari itu hari Purnama, seorang Penghulu pura datang ke pura, akan melakukan pemujaan. Ia pun masuk ke dalam pura sambil membawa sesajen dan pedupaan. Baru saja ia sampai pada gapuranya, dilihatnya ada sebuah peti besar diatas balai. Lalu penghulu pura itu mendekati, terus duduk bersila seraya menyembah.

"Duhai, Bataraku menganugerahkan sesuatu kepada kita." Demikian ucapan penghulu pura itu sambil memuja. Oleh karena keadaan pura itu masih kosong, maka terpaksa ia menunggu kedatangan para anggota pura itu. Datang seorang, langsung ia menyembah peti yang masih tertutup itu. Datang lagi seorang, terus menyembah. Demikian seterusnya, sehingga di dalam pura penuh sesak orang.

Setelah semua mereka berkumpul di dalam pura, barulah peti itu dibuka. Dan tampaklah mayat Pak Balang Tamak menjengkang kaku. Orang-orang yang ada di dalam pura itu semua terkejut. Karena marahnya, ada juga yang memaki-maki Pak Balang Tamak, karena sudah menjadi bangkai masih juga bisa memperdayakan masyarakat desa mereka. Akhir cerita mayat Pak Balang Tamak segera ditanam di pekuburan, oleh para anggota desa itu.

Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Bali oleh Ida Bagus Sjiwa & A.A. Gde Geria
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Pak Balang Tamak Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Pak Balang Tamak Sebagai sumbernya

Related Posts :

0 Response to "Cerita Pak Balang Tamak"

Post a Comment

Cerita Lainnya