Cerita Asal Mula Penamaan Pulau Jur

Cerita Asal Mula Penamaan Pulau Jur ~ Peristiwa permaisuri Raja Jambi ditawan Raja Johor menggemparkan orang banyak. Para dubalang merasa sangat terpukul. Raja mereka nampak sangat masygul karena istri yang dicintainya ditawan musuh. Bagi para dubalang tak terlupakan tantangan Raja Johor. "Kalau memang orang Jambi itu jantan, rebut dan jemputlah ke Johor!" Tantangan itu mengimbau mereka, para dubalang, untuk segera berbuat. Untunglah kemudian raja mereka mengambil kebijaksanaan mengumpulkan para dubalang dari seluruh pelosok negeri Jambi. Tak mengherankan dalam waktu yang cukup pendek para dubalang telah berkumpul di Jambi, ibu negeri kerajaan. Tapi sayang seorang di antaranya tidak hendak datang. Dubalang yang tak hendak datang itu ialah Datuk German Tembaga, dubalang maha hebat Sembilan Kota.


Datuk German Tembaga sengaja tak hendak datang, karena beliau merasa tak enak diperlakukan musuh yang tidak semena-mena itu. Orang tua itu sudah mengerti apa sebabnya raja mengumpulkan dubalang-dubalang negeri Jambi itu. Beliau sangat marah terhadap kelalaian raja yang tak berdaya membiarkan permaisuri dibawa orang. Penilaian beliau sudah jelas, betapa kecilnya raja selama ini sangat dihormati. Tak sepadan dengan kegarangan baginda terhadap rakyat selama ini. Waktu Utusan datang menjemput beliau, Datuk German Tembaga menyambutnya dengan perasaan dingin saja. Hatinya pedih mendidih. Bercabang dua, terhadap raja dan terhadap Raja Johor sendiri.

"Tunggulah sebentar!" katanya kepada utusan yang datang itu, "Aku hendak ke dapur." Di dapur dibuatnya sebuah caping tempurung kelapa. Setelah caping itu selesai dikerjakannya, beliau langsung menemui utusan yang telah menunggunya di langkan rumahnya.

"Katakan kepada raja, aku sedang tak enak badan. Sebagai tanda aku tetap patuh, inilah caping dan berikan kepada Baginda.”  Caping itu pun diserahkannya kepada utusan yang datang itu. Perundingan telah dimulai, dan langsung dipimpin raja sendiri. Saat perundingan akan dibuka, dan paa dubalang siap mendengar titahnya, tiba-tiba terdengar suara salah seorang dubalang. Dubalang itu ialah Datuk Raja Kecik Batang Hari. Sejenak rapat yang amat penting itu menjadi sunyi dan hening sehening-heningnya.

"Ampun, hamba Tuk, raja penghulu kami," terdengar lantang suara Datuk Kecik Batang Hari ditujukan kepada raja. Digantung kami tinggi, dibuang kami jauh. Apa benar kiranya maksud Datuk memanggil kami. Apakah ada parit yang melintang, atau randa mendapat malu, gadis negeri tergawal, gajah masuk kampung, atau harimau menangkap orang, maka Datuk memanggil kami."

"Ya," jawab raja cepat. "Kita telah mendapat malu. Permaisuri Kerajaan, istri aku sendiri, ditawan musuh. Raja Johor. Sampai membebaskannya. Itulah sebenarnya maksud pertemuan kita ini. Siapa gerangan di antara datuk yang bersedia berbakti ke sana."

Maka mufakatlah para dubalang negeri Jambi itu. Dalam musyawarah itu diputuskan  Datuk Dubalang Temenggung Paku, dubalang terkenal dari Tujuh Koto pergi membebaskan dan menjemput permaisuri raja. Mendengar keputusan rapat itu Datuk Temenggung Paku segera menjawab." Aku tak mampu pergi sendirian. Kendatipun demikian akan aku sanggupi, kalau disertai Datuk German Tembaga, dubalang Sembilan Koto."

"Kalau demikian baiklah," kata raja. "Namun Datuk sendiri jugalah yang harus menghubungi beliau itu. Katakan bahwa misi atas perintah dan kehendak raja. Apa kehendak dan keinginannya akan aku berikan setelah kalian kembali."

Datuk Temenggung Paku tanpa berlalai-lalai berangkatlah  menuju ibu negeri Kejenangan Sembilan Koto, Dusun Teluk Jambu. Sesampai di sana beliau segera menemui Dubalang German Tembaga. Setelah segala perintah dan keinginan raja disampaikan, dan perundingan singkat antara kedua dubalang itu diadakan, maka mereka setuju untuk menjalankan tugas itu. Mereka membuat rakit dari batang kulin. Dengan rakit itu mereka berangkat ke Jambi. Datuk Temenggung Paku masuk ke dalam air di bawah rakit. Sedangkan Datuk German Tembaga duduk di atas mendayung.

Sesampai di Jambi orang banyak berdiri di atas tebing menyambut kedatangan mereka yang rupanya sedang dinanti-nanti. Tiba di Jamban raja, dilemparkanlah oleh Datuk German Tembaga tali rakit itu. Tali rakit terbuat dari besi itu disambut oleh orang yang berdiri di atas tebing. Ternyata orang itu tak mampu mengikatkannya, bahkan ia terseret beberapa depa. Maklumlah rakit itu bukan sembarang rakit, tapi rakit kulim. Kalau Datu Temenggung Paku tak menyangga dibawahnya tentu rakit itu telah mencelucus sampai ke dasar sungai. Melihat hal yang demikian Datuk German Tembaga mengambil tali rakit itu, lalu diikatkannya kepinggangnya terus melompat ke atas  tebing. Nampak tubuh orang tua itu terbenam batas pinggang. Maka tampaklah rakit itu bergerak lagi.

Hari yang sehari itu mereka berdua pergunakan untuk menghadap raja. Sebelumnya mereka sudah berencana untuk sesegera mungkin berangkat ke Johor. Mamak-mamak, Datuk German Tembaga beserta Datuk Temenggung Paku!" kata raja kepada mereka berdua. "Naiklah Datuk dahulu ke rumah untuk berengah.

"Tuan Baginda Raja, datuk penghulu kami, " jawab Datuk German Tembaga. "Bukannya kami menolak sembah, bukan pula kami melanggar basa, tapi karena kami ingin cepat berangkat makanya kami tak naik lagi. Kami minta Tuan Raja agar secepatnya menyediakan alat-alat keperluan kami dalam perjalanannya."

Setelah segala keperluan tersedia, berangkatlah kedua dubalang itu menuju Johor, nun jauh di seberang laut. Setelah sampai alangkah terkejut mereka karena tentara negeri Johor menyemut banyaknya, menghitam kepala orang menjaga pantai. Nampaknya kuat sekali pertahanan negeri itu. Melihat yang demikian Datuk German Tembaga segera berunding dengan Temenggung. Maka didapat suatu keputusan untuk mengikat diri mereka berdua dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu ditembakkan. Datuk German Tembaga dan Datuk Temenggung Paku nampak teruntal berputar-putar di udara. Saat demikian kedua dubalang itu sempat mengadakan perundingan mengatur siasat dalam menghadapi musuh nanti setelah sampai di darat.

"Nanti engkau melawan musuh menghadap ke hulu," kata Datuk German Tembaga kepada Datuk Temenggung Paku. "Aku sendiri menghadap ke hilir.  

"Kalau demikian kata Datuk, baiklah!" jawab Temenggung Paku.

Lima belas meter menjelang ke tanah, diremaslah oleh dubalang berdua itu rantai pengikat mereka, seperti meremas daun kering hancur seketika. Tiba di tanah mengamuklah mereka, seorang menghadap ke hulu seorang menghadap ke hilir. Mereka merambah kiri dan ke kanan. Batang kelapa dan batang pinang dicabut, dibelah dengan tangan. Prajurit-prajurit yang dekat dengan mereka dijepit dengan batang kelapa dan batang pinang itu. Pekik orang terdengar disana-sini. Setelah tiga hari tiga malam banyak tentara Johor yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Mana yang masih hidup melarikan diri tunggang- langgang. Setelah tak siapapun jua lagi yang melawan, maka kedua dubalang itu pun pergi menghadap raja di istananya.

"Mana engkau datuk raja Johor," kata Datuk Temenggung Paku kepada raja Johor setelah mereka diterima di istana. "Sudi kiranya Datuk mendengar pantun hamba. Kenari bukan kenari saja? tinggi rumput dari ilalang. Kami ke mari bukan kemari saja, kami kemari mencari nan ilang. Ya, kami kemari menjemput permaisuri raja kami yang Datuk tawan. Ya, jemput hendaknya terbawa."

"Boleh!" jawab Raja Johor. Tuan Permaisuri kami tempatkan di atas mahligai perak. Tapi tak segampang yang datuk-datuk bayangkan. Boleh datuk-datuk ambil dan bawa ke Jambi kalau genting telah putus, lapuk telah hancur."

Cuping hidung Datuk German Tembaga bergerk-gerak. Di pihak lain wajah Datuk Temenggung Paku merah bagaikan bara. Kedua dubalang itu amat marah mendengar tantangan raja Johor yang sombong itu.

"Kalau demikian yang datuk kehendaki," kata German Tembaga sambil mengatupkan bibirnya, "boleh saja," Seketika suasana hening seketika. Datuk Temenggung Paku nampak berpeluh karena mengendalikan rasa amarahnya yang memuncak. Tiba-tiba terdengar pula suara Datuk German Tembaga "Kalau kami jelang, Tuk. Kalau datuk ingin mengeja-eja langkah baik benar itu. Kami kira sudah masanya kita mengeluarkan peluh besi kita. Dimana gerangan kita melakukannya?"

"Terserah!" jawab raja Johor. "Di dalam ini pun jadi. Diluar juga baik!"

"Di luar sajalah, Tuk....jawab Datuk German Tembaga. "Barangkali anak cucu Datuk ada yang akan melihat pertarungan kita."

Benar saja, Sebentar kemudian terjadilah pergumulan antara raja Johor dengan Datuk German Tembaga. Dalam perkelahian tersebut Datuk German Tembaga berhasil mengalahkan raja Johor.

"TentuDatuk sudah mengerti," kata Datuk German Tembaga kepada raja Johor. "Adat orang kalah harus melepaskan yang datuk tawan dan memberikan yang kami pinta. Lepaskanlah permaisuri raja kami dan berikanlah tanda persembahan!"

Raja Johor pun melepaskan permaisuri raja Jambi dan disamping itu diserahkannya puterinya sendiri Putri Intan Selasih sebagai  persembahan pihaknya yang kalah. Putri itu baru berumur 7 (tujuh) tahun. Amat elok parasnya. Sesudah itu kembalilah kedua dubalang itu ke Jambi. Tiba di Jambi diserahkannyalah permaisuri kepada raja Jambi beserta Putri Intan Selasih.

"Puteri Intan Selasih ini bawalah oleh kalian! Itu sebagai hadiahku untuk Datuk berdua."

"Kalau demikian, baiklah!" jawab dubalang berdua itu. Baginda raja Jambi di samping memberikan Puteri Intan Selasih, juga menyerahkan hadiah-hadiah yang menarik untuk kedua dubalang yang telah berjasa itu. Tapi ternyata dubalang berdua itu, telah seminggu, tak juga beranjak dari Jambi. Belum juga berangkat ke negeri mereka. Mereka asyik mudik hilir berperahu melewati tepian raja. Melihat gelagat kedua dubalang berdua yang ganjil itu, segeralah raja memanggil mereka untuk menghadap ke istana.

"Hai, apa juga gerakan kehendak datuk berdua yang belum kami penuhi?" seru raja Jambi setelah dubalang yang berdua itu datang menghadap." Bukanlah Puteri Intan Selasih dan hadiah-hadiah lain telah lebih dari cukup yang datuk terima?"

"Kami, Tuk," jawab Datuk German Tembaga. "Kami hendak meminta yang tak lekang oleh panas dan yang tak lapuk oleh hujan. Kalau itu belum peroleh belumlah kami berbalik mudik!"

"Apa itu, Tuk?" jawab raja tercengang. "Jelaskan dengan sejelas-jelasnya."

"Itulah, Tuk," kata Datuk German Tembaga pula. "Kami minta kesediaan Datuk, agar terhadap rakyat Tujuh Koto dan Sembilan Koto jangan lagi dikenakan beban pajak. Di samping itu hendaknya Datuk tak pula boleh mengambil gundik-gundik dari daerah kami. Tak banyak, Tuk'. Hanya itu yang kami minta."

Raja, karena baginda telah berjanji dulu, dan kini beliau merasa malu, dan telah merasa ngeri-ngeri asam kepada kedua dubalang itu, mau tak mau dikabulkannya jualah permintaan tersebut. Maka semenjak itu bebaslah Tujuh Koto dan Sembilan Koto dari membayar pajak, di samping juga raja tak lagi berani mengambil gundik dari kedua daerah tersebut.

Karena raja telah mengabulkan kehendak mereka maka barulah kedua dubalang itu berangkat ke negerinya. Tentu saja beserta Puteri Intan Selasih. Sesampai di Teluk Jambu, ibu negeri Kejenangan Sembilan Koto berkatalah Datuk German Tembaga kepada Temenggung Paku . “Datuk bawalah Puteri Intan Selasih dan jagalah baik-baik!"

Kalau demikian kata Datuk," jawab Temenggung Paku, "baiklah! Hamba berjanji akan memeliharanya seperti anak sendiri kelak,  Datuk German Tembaga telah beragak akan naik. Tapi sejurus kemudian terdengar pula Temenggung Paku berkata kepadanya.

"Datuk!" serunya. "Kalau nyampang datang sanak dari hilir tengkujuh dari hulu, tentu kami kami berhimbau kepadamu jua, Tuk."

"Tentu, tentu!" jawab Datuk German Tembaga. "Itulah yang sepatut-patutnya. Jatuh buah ke pangkal, jatuh selera melayang. Lalu terjadi hal yang serupa itu bersama-samalah kita  menghadapinya."

Selesai berkata tererat janji itu, berangkatlah Temenggung Paku meneruskan perjalanan bersama Puteri Intan Selasih yang masih kecil itu. Perjalanan itu tak begitu jauh lagi. Tiga hari tiga malam tentulah ia kan sampai di Kuamang negeri kelahirannya di bilangan Kejenangan Tujuh Koto. Untuk merayakan kemenangan sambil juga untuk memperkenalkan Puteri Intan Selasih kepada rakyat banyak maka oleh Datuk Temenggung Paku diadakan keramaian besar-besaran. Pada saat itu pula  diumumkankanlah bahwa Puteri Johor itu diangkat sebagai anak oleh Datuk Temenggung Paku. Semua orang amat kasih kepadanya. Penduduk negeri Kuamang biasa memanggilnya Puteri Jur, mengingatkan ia itu berasal dari Johor. Maklumlah lidah orang-orang sering tergelincir, menyebut Johor menjadi Jur.

Tujuh bulan kemudian, dengan tak disangka-sangka sedikit jua pun datanglah tentara Johor mengepung negeri Kuamang. Tujuan kedatangan tentara itu tak lain untuk mengambil Puteri Jur itu. Tentara Johor itu datang melalui jalan darat dari hulu. Mereka berkemah tepat dibelakang negeri Kuamang. Pagi-pagi menjelang subuh Datuk Temenggung Paku di datangi utusan tentara Johor. Utusan itu langsung meminta agar Puteri Jur segera diberikan. Kalau tidak maka tentara Johor akan memerangi Kuamang.

"Kalian berbaliklah dulu ke perkemahan kalian!" kata Datuk Temenggung Paku. "Aku hendak bersembahyang dahulu ke Mesjid." Mendengar kata yang demikian pergilah utusan tentara Johor itu ke perkemahan mereka kembali.

Ketika Temenggung Paku sedang sembahyang, terdengarlah tembakan yang dilepaskan tentara Johor. Rumah penduduk banyak yang rusak. Binatang ternak banyak yang binasa. Pun penduduk sendiri sudah pula ada yang tewas. Sesudah sembahyang Datuk Temenggung Paku bergegas pergi ke belakang dusun, dan nampak oleh beliau betapa banyak tentara Johor di sana. Menghitam kepala orang di sana. Menurut perhitungannya takkan mungkin dapat melawan orang yang sebanyak itu. Hendak mengirim utusan untuk meminta bantuan kepada temannya Datuk German Tembaga sudah tak mungkin lagi. Pada saat yang sangat kritis itu memekiklah Temenggung Paku menyeru Datuk German Tembaga, mohon minta bantuan. Pekikkan itu terdengar seperti letusan yang amat dahsyat. Mendengar bunyi pekikan itu terkejut semua tentara Johor, berlarian lintang pukang. Dengan perasaan takut yang amat sangat tentara banyak itu pun berbaiklah  ke negerinya di seberang laut, ke Johor. Gagallah rencana mereka. Sementara itu tak pernah lagi negeri Kuamang didatangi tentara Johor.

Puteri Jur amat disayangi. Datuk Temenggung Paku beserta istrinya. Mereka tidak mempunyai anak perempuan. Tak mengherankan apabila semua kehendak Puteri Jur itu diluluskan oleh Datuk Temenggung Paku. Puteri itu sendiri amat pandai membawakan diri. Di samping cantik, budi bahasanya amat disenangi orang, bahkan ia dianggap bertuah. Semenjak ia berada di Kuamang negeri makmur, padi menjadi, ternak berkembang biak. Penduduk hidup dalam kemakmuran yang tak pernah dialami sebelumnya.

Tak terasa puteri Jur telah sepuluh tahun bermukim di Kuamang. Dari seorang gadis kecil ia telah berubah menjadi seorang dara jelita yang disenangi orang banyak. Dalam menjalani hidup sehari-hari kesukaannya yang nampak menonjol ialah bermain-main, mandi-mandi ke sebuah pulau yang memanjang tepat ditengah-tengah sungai Batang Hari, terletak antara Kuamang dan Teluk Kayu Putih. Pulau itu berbatu-batu Putih yang disana sini terdapat gundukan pasir halus yang bersih. Setiap petang Kamis malam Jum'at ia mandi berlangir ke sana disertai oleh dayang-dayang dan pengiringnya. Bila bulan purnama dan cuaca amat baik ia semalam-malaman berada di pulau itu. Kalau hari sudah pagi barulah ia kembali. Melihat hal yang demikian Datuk Temenggung Paku membuatkannya pasenggerahan kecil untuk tempat puteri itu beristirahat, bila sewaktu-waktu ia berkunjung ke pulau itu.

Hari-hari selanjutnya waktunya dihabiskan Puteri Jur bermain dan bercanda di pulau tersebut. Namun sesungguhnya orang tak mengetahui bahwa puteri itu menginap kerinduan yang amat sangat akan negeri kelahirannya. Bila bulan Purnama telah tiba ia telah berada di pulau itu. Tapi kehadirannya hanya sekedar bermenung. Kerinduannya kepada kedua orang tuanya penuh-penuh menghimpit pikirannya. Tapi walaupun dia menderita hal demikian tak pernah dikemukannya kepada ayah angkatnya atau kepada siapa pun.

Entah memang ajal sudah dekat Puteri Jur tiba-tiba jatuh sakit. Makin lama makin parah, dan akhirnya meninggal dunia. Sebelum meninggal ia berpesan kepada ayah angkatnya supaya mayatnya dikuburkan di pulau tempatnya biasa bermain. Setelah ia meninggal dunia keinginannya dikabulkan dan ia dikuburkan di pulau itu. Semenjak itu pulau tersebut dinamakan orang Pulau Jur.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Asal Mula Penamaan Pulau Jur Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Asal Mula Penamaan Pulau Jur Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Asal Mula Penamaan Pulau Jur"

Post a Comment

Cerita Lainnya