Asal Usul Lampung Makai Keratun ~ Pada suatu pagi Pangeran Jakkep berdiri di beranda rumahnya. Ketika itu masih pagi sekali. Angin bertiup sepoi-sepoi basa sehingga menggoyangkan daun tumbuh-tumbuhan disana. Dari jauh tampak oleh Pengeran Jakkep serombongan bajau (bajak laut), dengan senjata terhunus sedang menuju kampungnya dan akan mengadakan serangan terhadap kampungnya dan akan mengadakan serangan terhadap kampungnya itu. Melihat keadaan demikian, Pangeran Jakkep memperhitungkan dari pada anak buahnya akan habis terbunuh, lebih baik dia sendiri yang membunuh mereka, karena kalau sampai anak buahnya terbunuh oleh musuh, ia akan mendapat malu. Karena itu Pangeran Jakkep mengambil senjatanya dan segera membunuh anak buahnya sendiri, sampai tak terlihat seorang pun yang tertinggal.
Namun diam-diam salah seorang anak buahnya ada yang berhasil menyelamatkan diri, bersembunyi di balik pintu rumahnya.
Setelah lama ditunggu, rombogan bajau tidak juga kunjung tiba, Pangeran Jakkep memperhatikan lebih cermat dan teliti ke arah yang tadi disangkanya gerombolan bajau dengan memegang senjata (pedang) terhunus di tangannya. Ternyata yang tampak olehnya tadi bukanlah gerombolan bajau melainkan pohon-pohon pisang yang daunnya melambai-lambai ditiup angin pagi. Karena murkanya, Pangeran Jakkep menebas pohon-pohon pisang itu semuanya dengan membabi buta, sehingga habislah pohon-pohon pisang itu rata dengan tanah.
Setelah selesai menebas pohon-pohon pisang itu Pangeran Jakkep kembali ke rumahnya seraya berkata dengan geram, "Saya bersumpah bahwa semua keturunan saya, semua anak cucu saya, tidak boleh memakan pisang." Agaknya Pangeran Jakkep tertipu oleh pohon-pohon pisang tadi. Anak buahnya yang bersembunyi di balik pintu, mendekati Pangeran Jakkep dan berkata "Jangan bersumpah tidak boleh makan pisang, tetapi tidak boleh menananmnya saja." Sumpah tidak boleh menanam pisang ini berlaku sampai turun temurun. Tetapi sekarang tidak diperhatikan lagi oleh keturunan Pangeran Jakkep, dan banyak di antara mereka yang telah melanggar sumpah ini, dan menanam pisang seperti orang lainnya.
Selang beberapa lama, datang lagi orang-orang dari seberang yang mengaku Sultan Banten dan rombongannya. Rombongan ini sangat disegani dan dihormati oleh Pangeran Jakkep beserta keluarganya. Maklum saja tamu mereka ini adalah tamu agung yaitu seorang Sultan.
Minak Putih Penyurit, seorang yang berasal dari Lampung dan telah lama berguru pada Sultan Banten dan merupakan utusan Sultan Banten yang sebenarnya, tidak sampai di Lampung, dan kemana perginya tak seorang pun yang tahu. Selama 7 (tujuh) hari lamanya tamu tersebut menginap di rumah Pangeran Jakkep. Istri Pangeran Jakkep selalu memperhatikan tingkah laku tamu-tamunya ini dengan seksama akhirnya berkata pada suaminya, "Jika tamu kita itu benar-benar Sultan biasanya kalau tidur tidak demikian itu. Kalau Sultan tidur terlentang, maka ia akan terlentang terus. Tapi tamu tersebut tidur dengan perputar-putar di atas ranjangnya." Seorang penjaga (pengawal) Sultan dari pihak Pangeran Jakkep menambahkan. "Kalau ia benar Sultan asli, maka bila barang-barangnya (petinya) ditembak tidak akan hancur".
Kemudian mereka mengambil sepucuk meriam dan langsung ditembakkan ke arah peti-peti yang dibawa oleh Sultan. Dan tempat peti-peti itu hancur semuanya.
Kemudian datanglah Sultan Banten yang asli dan langsung menegur mereka, "Mengapa barang-barang ini kalian hancurkan? Mana Minak Patih Penyurit? Semua urusan ini sudah saya serahkan padanya? tetapi mengapa ia menghilang?" Mereka pun menjawab, bahwa mereka tidak tahu menahu ke mana perginya Minak Patih Penyurit.
Sultan segera memerintahkan untuk mencari Minak Patih Penyurit sampai ketemu dan dibawa menghadap Sultan. Jika Minak Patih Penyurit tidak ketemu atau mereka kembali tidak membawa Minak Patih Penyurit maka mereka sendiri yang akan dibunuh oleh Sultan.
Beberapa orangpun berangkat, masing-masing menentukan arah untuk mencari Minak Patih Penyurit dengan harapan akan bertemu dan membawa beliau pulang menghadap Sultan, sebab mereka takut mati dibunuh Sultan jika tidak berhasil. Salah seorang di antara para pencari ini bertemu dengan Minak Patih Penyurit di Kuala Way Tulang Bawang.
Beliau sedang memancing ikan. Si pencari menyatakan bahwa ia sengaja mencari beliau atas perintah Sultan Banten agar beliau segera menghadap Sultan. Dijawab oleh Manik Patih Penyurit, bahwa beliau tidak ingin menghadap Sultan, atau kembali ke kampungnya ataupun kembali berguru pada Sultan lagi, karena istri tak punya, harta tak ada, apa lagi anak. "Karena itu saya lebih baik tinggal di sini saja," kata Minak Patih Penyurit.
Mendengar itu si pencari berkata dengan mengiba dan putus asa karena takut akan dibunuh Sultan, lebih baik Bapak ambil pedang saya ini (seraya menyerahkan pedangnya kepada Manik patih Penyurit) dan bunuhlah saya sekarang juga karena perintah Sultan, kalau saya kembali tidak bersama Bapak kami akan dibunuh beliau. Dari pada saya kembali sendiri akan dibunuh beliau, lebih baik bapak saja yang membunuh saya".
Mendengar ini, Minak Patih Penyurit merasa sangat terharu dan sedih, merasa kasihan kepada si pencari yang juga anak buahnya sendiri itu. Manik Patih Penyurit menyetujui kehendak si pencari itu dan dengan rasa berat berangkatlah mereka menghadap Sultan Banten yang telah menunggu di Banten.
Setiba di Banten, Minak patih Penyurit langsung menghadap Sultan, Sultan bertanya, "Dari mana kau selama ini menghilang? Lain yang diperintahkan lain pula yang dikerjakan!" Tetapi Manik Patih Penyurit tidak menjawab sepatah pun. Beliau tetap diam membisu seribu kata. Kemudian Sultan melanjutkan 'Baiklah kalau begitu saya tahu apa keinginanmu."
Pada malam harinya, Sultan memerintahkan agar Minak Patih Penyurit tidur dikamar istri Sultan yang tua dan demikian seterusnya dengan istri-istri Sultan yang lainnya. Setelah berlalu tujuh malam berturut-turut. Minak Patih Penyurit tetap tidur seperti biasa, tidak melakukan sesuatu perbuatan tercela sedikit pun. Kiranya selama itu, Sultan banten memberi ujian kepada Manik Patih Penyurit.
Pada hari berikutnya, Sultan Banten memanggil Minak Patih Penyurit, untuk menghadap dan Sultan berkata, "Manik Patih Penyurit, saya tahu apa keinginanmu. Kamu boleh membawa dan kawin dengan istri saya yang tua. Hanya permintaan saya, kalau nanti kamu punya anak laki-laki, jangan di khitan di Lampung, tetapi bawa kemari, nanti saya khitan disini."
Istri Sultan yang tua pun dibawa ke lampung dan dikawini oleh Minak Patih Penyurit. Setahun kemudian mereka mempunyai anak laki-laki. Sesuai dengan janji semula, maka setelah anak ini besar di bawa ke Banten untuk dikhitan oleh Sultan Banten. Rupanya Sultan Banten mempunyai pertimbangan lain yaitu "Kalau kelak anak laki-laki dari Minak Patih Penyurit dewasa, kawin dan kemudian mempunyai keturnan lagi, maka keturunannya ini pasti akan mendirikan kerajaan baru di Lampung, yang akan menjadi tandingan kerajaan Banten. Lebih dari itu, tentunya kerajaan baru ini akan bersahabat dengan kerajaan Palembang bersama-sama menggempur Banten.
Karena itu anak laki-laki Minak Patih Penyurit bukannya di sunat seperti biasa, tetapi harus dikebiri untuk mencegah jangan sampai kelak dia mempunyai keturunan lagi." Itulah sebabnya Minak Patih Penyurit tidak memmpunyai keturunan dari anak laki-laki sampai sekarang. Kalau anak laki-laki ini sampai mempunyai keturunan, berarti Lampung akan mempunyai Sultan seperti Banten, dan Banten tentu akan kalah, karena semua ilmu-ilmu Sultan telah diajarkan kepada istrinya yang tua yang sekarang telah menjadi istri Minak Patih Penyurit.
Itulah sebabnya di Lampung tidak mempunayi Sultan seperti kerajaan lainnya, tetapi hanya mempunyai ratu. Selain dari pada itu di Lampung hanya mempunyai Perwakilan (kewalian), bukannya sebagai Sultan atau Raja. Perwalian ini di sebut "jenjem."
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung, Depdikbud
Sultan segera memerintahkan untuk mencari Minak Patih Penyurit sampai ketemu dan dibawa menghadap Sultan. Jika Minak Patih Penyurit tidak ketemu atau mereka kembali tidak membawa Minak Patih Penyurit maka mereka sendiri yang akan dibunuh oleh Sultan.
Beberapa orangpun berangkat, masing-masing menentukan arah untuk mencari Minak Patih Penyurit dengan harapan akan bertemu dan membawa beliau pulang menghadap Sultan, sebab mereka takut mati dibunuh Sultan jika tidak berhasil. Salah seorang di antara para pencari ini bertemu dengan Minak Patih Penyurit di Kuala Way Tulang Bawang.
Beliau sedang memancing ikan. Si pencari menyatakan bahwa ia sengaja mencari beliau atas perintah Sultan Banten agar beliau segera menghadap Sultan. Dijawab oleh Manik Patih Penyurit, bahwa beliau tidak ingin menghadap Sultan, atau kembali ke kampungnya ataupun kembali berguru pada Sultan lagi, karena istri tak punya, harta tak ada, apa lagi anak. "Karena itu saya lebih baik tinggal di sini saja," kata Minak Patih Penyurit.
Mendengar itu si pencari berkata dengan mengiba dan putus asa karena takut akan dibunuh Sultan, lebih baik Bapak ambil pedang saya ini (seraya menyerahkan pedangnya kepada Manik patih Penyurit) dan bunuhlah saya sekarang juga karena perintah Sultan, kalau saya kembali tidak bersama Bapak kami akan dibunuh beliau. Dari pada saya kembali sendiri akan dibunuh beliau, lebih baik bapak saja yang membunuh saya".
Mendengar ini, Minak Patih Penyurit merasa sangat terharu dan sedih, merasa kasihan kepada si pencari yang juga anak buahnya sendiri itu. Manik Patih Penyurit menyetujui kehendak si pencari itu dan dengan rasa berat berangkatlah mereka menghadap Sultan Banten yang telah menunggu di Banten.
Setiba di Banten, Minak patih Penyurit langsung menghadap Sultan, Sultan bertanya, "Dari mana kau selama ini menghilang? Lain yang diperintahkan lain pula yang dikerjakan!" Tetapi Manik Patih Penyurit tidak menjawab sepatah pun. Beliau tetap diam membisu seribu kata. Kemudian Sultan melanjutkan 'Baiklah kalau begitu saya tahu apa keinginanmu."
Pada malam harinya, Sultan memerintahkan agar Minak Patih Penyurit tidur dikamar istri Sultan yang tua dan demikian seterusnya dengan istri-istri Sultan yang lainnya. Setelah berlalu tujuh malam berturut-turut. Minak Patih Penyurit tetap tidur seperti biasa, tidak melakukan sesuatu perbuatan tercela sedikit pun. Kiranya selama itu, Sultan banten memberi ujian kepada Manik Patih Penyurit.
Pada hari berikutnya, Sultan Banten memanggil Minak Patih Penyurit, untuk menghadap dan Sultan berkata, "Manik Patih Penyurit, saya tahu apa keinginanmu. Kamu boleh membawa dan kawin dengan istri saya yang tua. Hanya permintaan saya, kalau nanti kamu punya anak laki-laki, jangan di khitan di Lampung, tetapi bawa kemari, nanti saya khitan disini."
Istri Sultan yang tua pun dibawa ke lampung dan dikawini oleh Minak Patih Penyurit. Setahun kemudian mereka mempunyai anak laki-laki. Sesuai dengan janji semula, maka setelah anak ini besar di bawa ke Banten untuk dikhitan oleh Sultan Banten. Rupanya Sultan Banten mempunyai pertimbangan lain yaitu "Kalau kelak anak laki-laki dari Minak Patih Penyurit dewasa, kawin dan kemudian mempunyai keturnan lagi, maka keturunannya ini pasti akan mendirikan kerajaan baru di Lampung, yang akan menjadi tandingan kerajaan Banten. Lebih dari itu, tentunya kerajaan baru ini akan bersahabat dengan kerajaan Palembang bersama-sama menggempur Banten.
Karena itu anak laki-laki Minak Patih Penyurit bukannya di sunat seperti biasa, tetapi harus dikebiri untuk mencegah jangan sampai kelak dia mempunyai keturunan lagi." Itulah sebabnya Minak Patih Penyurit tidak memmpunyai keturunan dari anak laki-laki sampai sekarang. Kalau anak laki-laki ini sampai mempunyai keturunan, berarti Lampung akan mempunyai Sultan seperti Banten, dan Banten tentu akan kalah, karena semua ilmu-ilmu Sultan telah diajarkan kepada istrinya yang tua yang sekarang telah menjadi istri Minak Patih Penyurit.
Itulah sebabnya di Lampung tidak mempunayi Sultan seperti kerajaan lainnya, tetapi hanya mempunyai ratu. Selain dari pada itu di Lampung hanya mempunyai Perwakilan (kewalian), bukannya sebagai Sultan atau Raja. Perwalian ini di sebut "jenjem."
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung, Depdikbud
loading...
0 Response to "Asal Usul Lampung Makai Keratun"
Post a Comment