Cerita Burung Garuda dan Sesentola

Cerita Burung Garuda dan Sesentola ~ Ada keluarga suami istri yang mempunyai seorang anak laki-laki. Umar anak tersebut baru tiga tahun. Cukup lama sudah mereka kawin namun barulah kemudian mendapat anak setelah ibunya bermohon kepada Tuhan. Permohonannya "Seandainya saya mempunyai anak biarlah dia podoko?" Dengan kekuasaan Tuhan rupanya permohonan itu diterima. Kini anak itu baru berumur tiga tahun.

Anak tersebut diberi nama Sesentola. Semasa kecilnya anak tersebut diberi minum susu oleh ibunya, tetapi ketika agak besar mulailah diberi nasi. Sesudah anak tersebut mulai merasakan nasi, maka senanglah kepada nasi bahkan banyak sekali dimakannya sehingga satu piring tidak cukup baginya. Jika ditambah satu loyang sekalipun belum juga cukup. Berkata orang tuanya, "Alangkah kuatnya makan anak ini, habis nasi satu sempe? baru ia merasa kenyang."

Walaupun demikian anak tersebut tetap dipelihara oleh orang tuanya dengan baik. Suatu ketika berkatalah ayah anak itu kepada ibunya; "Saya tidak mampu lagi untuk memberi makan kepada anak ini. Satu kali makan harus satu tempayan." Maka keputusannya yang diambil oleh ayahnya ialah bahwa anak itu harus dibunuh, karena tidak mampu lagi memberi makan. Pada suatu waktu ayahnya mendengar bahwa ada suatu sungai banyak sekali buayanya. Di sungai itu tidak seorang pun yang berani lewat menyeberang karena pasti dimakan buaya. Pada malam harinya berkatalah ayahnya kepada anaknya, "Besok kita akan pergi menjala."
Keesokan harinya pagi-pagi benar, pergilah mereka berdua menjala di sungai. Setibanya di tempat itu ayahnya pun lalu membuang jala ke tengah sungai. Kemudian  berteriaklah ayahnya kepada anaknya, "Sesentola pergilah ambil jala itu, di sana sudah ada ikan." Sesungguhnya maksud ayahnya agar Sesentola dimakan buaya.

Kemudian ayahnya pulanglah, karena disangkanya Sesentola sesudah ditangkap buaya. Setibanya di rumah dikatakannyalah kepada isterinya Sesentola sudah meninggal dimakan buaya. Tetapi tidak lama kemudian orang tuanya heran karena mereka melihat Sesentola  menuju rumah dan sementara memikul seekor buaya. Berkatalah isterinya kepada suaminya, "kau katakan Sesentola sudah meningal dimakan buaya, kenyataannya ia kemari malahan memikul buaya itu." Dipikulnya buaya itu dan diletakkannya di hadapan orang tuanya. Kemudian berkatalah ibunya kepada Sesentola. Pergilah makan. "Sementara makan, ayahnya berpikir, bagaimana caranya membunuh anak ini, sedang saya tidak mampu lagi untuk memberi makan."

Kemudian ia teringat bahwa ada satu pohon beringin yang besar tumbuh di tepi sungai. Letaknya pohon itu agak condong ke tepi sungai. Maka berkatalah ayahnya kepada Sesentola, "Jangan engkau pergi kemana-mana besok pagi kita akan pergi menebang kayu di sana." Keesokan harinya pergilah ayah bersama anaknya untuk menebang kayu tersebut. Setibanya di sana ayahnya pun menebangnya. Sesentola disuruh duduk di bawah pohon beringin itu, maksudnya agar supaya jika pohon kayu besar itu tubang atau jatuh, maka matilah Sesentola ditindis oleh kayu yang ditebang itu. Ayahnya pun berkata dalam hati, "Pastilah Sesentola sudah mati baiklah saya pulang saja ke rumah. Setibanya di rumah dikatakannya pada isterinya katanya. "Hai, sudah meninggal anak kita, ditindis kayu."

Sementara mereka berdua duduk-duduk, tiba-tiba datanglah Sesentola memikul kayu yang telah ditebang oleh ayah, untuk dijadikan apa gerangan?" Sementara Sesentola duduk-duduk datanglah ibunya memanggil untuk makan. Jawab Sesentola. "Saya tidak mau makan bu, sudah cukup usaha ayah untuk membunuh saya tapi saya tidak juga mati. Karena itu baiklah saya pergi, saya mohon kesediaan ibu untuk merebus kelapa sepuluh biji, dan beras untuk bekal saya. Sesentola akan pergi kepada bibinya, keluarga dari pihak ibunya. Keesokan harinya pagi-pagi ibunya merebus kelapa, kemudian dikatakannya kepada anaknya, "Ada benda pusaka, boleh kau bawa yaitu panah yang matanya hanya tiga, dan sebentuk cincin. Kalau engkau memakainya atau memanah harus disertai suara. Kalau engkau katakan mata, niscaya mata dikenanya, kalau engkau katakan dahi, dahi yang dikena, kalau dada, dada yang dikena. Kalau engkau sakit, beritahu kepada kawanmu, cincin ini direndam di air bersama sapu tangan, kemudian teteskan sapu tangan itu. Sudah itu akan sembuh dan tidak ada apa-apa lagi."

Tibalah waktu untuk berangkat, maka Sesentola menjabat tangan kedua orang tuanya mohon doa restu. Dengan perasaan sedih ibunya dilepaskannya anaknya berangkat. Perasaan sedih ibunya itu dilukiskannya dalam nyanyian sebagai berikut :
O Sesentola, ntaola.
Kalau pergi engkau.
Saya sudah begini
Dijawab pula oleh anaknya dalam bentuk nyanyia.
O ibu minta 'do'a.
Do'akanlah selamat saya di kampung orang.
Selesai melagukan perasaan mereka anaknya berangkat menuju tempat yang dimaksudkan. Selama perjalanan dua hari dua malam, didapatinya orang sedang menebang bomba? Kemudian bertanyalah Ia, "Hai kawan kenapa engkau menebang bomba?" Jawabnya. "Kalau saya tidak tebang bomba ini maka dunia akan penuh dengan bomba. Sekarang sudah berkurang bomba tumbuh." Berkatalah orang itu kepada Sesentola, "Bolahkan saya mengikut?" Dijawab Sesentola, "boleh,!" Nama orang itu Runtubomba. Runtubomba mengajak Sesentola makan. Sesudah makan barulah mereka melanjutkan perjalanan.

Jauhlah perjalanan mereka berdua. Selama satu hari satu malam dalam perjalanan, dijumpainya pula Runtubulu, sedang meruntuhkan gunung. Ia hanya menggunakan tangannya, sebab dahulu belum ada pacul. Bertanyalah mereka itu, "Hai kawan mengapa engkau hanya meruntuhkan gunung?" "Jawabnya; "Pekerjaan saya hanya ini, kalau tidak saya gugurkan gunung ini pasti tidak ada tanah datar. Menjadi gunung semua dunia ini." Sekarang sudah banyak dataran. Berkatalah Runtubulu ini kepada Sesentola, "Bolehkah saya juga mengikut?" Jawabnya, "Ya, marilah."

Setelah mereka selesai makan, berangkatlah mereka. Dua hari dua malam perjalanan mereka. Mereka pun ketemu dengan Runtupoiri. Mereka bertanya kepada Runtupoiri, "Apakah yang sedang engkau kerjakan?" Maka jawab," kalau tidak saya berdiri di sini, akan terbang semua tanaman yang ada di dunia ini dan akan mati semua. Jadi karena saya ada di sini maka berkuranglah angin itu. Kemudian dari pada itu berkatalah Runtupoiri kepada Sesentola, "Bolehkah saya ikut? "Karena angin sudah berkurang. Jawab Sesentola. "Boleh saja!" Selesai mereka makan, berangkat pula mereka itu. Mereka sekarang berempat. Sedang berjalan mereka lalu berjumpa dengan suatu kampung agak kecil. Mereka pun beristirahat di tempat itu, untuk melepaskan lelah.

Dengan tidak diduga seorang anak raja jatuh cinta kepada Sesentola. Tetapi Sesentola rupanya belum mau kawin. Kata Sesentola kepada anak raja tersebut."Ada teman saya seperti saya juga, kaya dan gagah. Namanya Runtubomba." Sesentola segera memberi tahu kepada Runtubomba. Dan diperlihatkannya kepada anak raja itu. Setelah dilihatnya setujulah anaknya itu. Maka dilaksanakanlah perkawinan mereka itu. Semua ongkos perkawinan akan ditanggung oleh Sesentola. Semalam sesuah perkawinan mereka dilaksanakan berkatalah Sesentola kepada Runtubomba, "Sebagai ucapan selamat atas perkawinanmu maka saya akan berikan tanda mata. Tanamlah satu pohon kelor ini. Kalau daun kelor layu, itu pertanda bahwa saya sakit, kalau kelor itu mati itu pertanda saya sudah mati." Runtubomba tinggallah bersama isterinya. Setelah bekal untuk mereka bertiga dibuatkan, ketiganya melanjutkan perjalanannya mereka pun menemukan lagi sebuah kampung. Mereka pun singgah sebentar.

Dengan tidak disangka seorang perempuan jatuh cinta pula kepada Sesentola. Tapi Sesentola tidak bersedia menerimanya. Kata Sesentola. "Kalau engkau tidak keberatan, ada kawan saya sama dengan saya namanya Runtubulu, orang tersebut kaya dan gagah pula." Perempuan tersebut menerimanya, sehingga dilaksanakanlah perkawinan mereka. Ongkos perkawinan ditanggung oleh Sesentola. Selesainya perkawinan maka Sesentola memberikan tanda mata kepada Runtubulu, yakni satu pohon batang kelor. Batang kelor tersebut harus ditanam. Kalau daunnya layu, itu pertanda bahwa saya sakit, kalau batang itu mati, itu pertanda bahwa saya sudah mati. Untuk melanjutkan perjalanan mereka berdua, diberikanlah bekalnya.

Keesokan harinya berangkatlah Sesentola bersama Runtupoiri. Beberapa lama berjalan tibalah pula mereka di suatu kampung. Itulah kampung yang mereka tuju. Setibanya dikampung itu berkatalah Sesentola kepada temannya, di sanalah rumah tangganya. Terlihat olehnya anak bibinya. Rupanya sangat cantik. Begitu berjumpa dengan kakeknya berkatalah ia kepada Sesentola. "Syukurlah engkau datang Sesentola, sudah lama sekali saya tunggu-tunggu. Anak saya jodohnya dengan engkau." Jawab Sesentola. "Saya belum mau kawin. Saya belum mampu untuk kawin, tetapi kalau setuju ada ganti saya seperti saya juga, gagah, kaya. Apa saja yang diperlukan ada semua."

Mendengarkan jawaban Sesentola, maka berpikirlah kakeknya dan katanya. "Kalau engkau sanggupi berikanlah sebentuk cincin." Segera dijawab oleh Sesentola, dengan menyerahkan sebentuk cincin. Setelah diserahkan cincin itu kakeknya pun setujulah. Maka dilaksanakan perkawinan mereka. Selesai perkawinan mereka, selesai perkawinan Runtupoiri itu. Sesentola berkata kepada Runtupoiri, "Tanamlah kelor ini, kalau daunnya layu itu pertanda saya sakit, sedangkan kalau batangnya mati itu berarti saya sudah mati, sebab saya akan berangkat besok pagi, cita-cita saya akan melihat semua kampung yang ada." Karena itu diberikan bekal kepada Sesentola. Ia berjalan tanpa ditemani. Tiga hari tiga malam baru kelihatan asap api. Berarti tidak jauh lagi ia dekati kampung, demikian kata hatinya. Perlahan-lahan ia dekati kampung itu. Waktu itu kira-kira jam delapan pagi. Di samping itu tidak kelihatan seorang manusia, maka dikelilinginya kampung itu. Dilihatnya sebuah rumah yang sangat indah. Katanya dalam hati, "Mungkin inilah istana raja.

Kemudian dinaikinya rumah tersebut, diketemukannya hanya api yang ada, tetapi manusia tidak ada. Kemanakah penghuni rumah ini? Dicarinya kesana-kemari, tetapi tidak berjumpa, hanya satu genang raksasa yang diketemukannya. Maka berkatalah ia dalam hatinya. "Kalau saya pukul gendang ini, mungkin akan datanglah orang-orang di kampung ini." Lalu diambilnya pemukulnya. Sementara akan dipukulnya terdengarlah suara orang berteriak."Jangan dipukul, kami ada di dalamnya. "Kami bersembunyi, karena sebentar lagi kira-kira jam sepuluh garuda akan datang menyerang. Demikian kata-kata perempuan yang sedang bersembunyi dalam gendang itu. Karena waktunya sudah dekat perempuan itu pun menangislah ketakutan.

Tepat jam sepuluh kedengaranlah bunyi burung garuda yang datang. Berkatalah perempuan itu. "Garuda sudah datang akan menyerang." Jawab Sesentola. "Janganlah takut, karena saya ada disini. Kalau saya sudah mati, barulah engkau mati pula." Ketika garuda semakin dekat, perempuan itu pun menangislah dengan kuatnya karena takut. Sesentola pun dengan segera turun ke tanah dan diambilnya panahnya, lalu dibidiknya burung Garuda itu, disebutnya mata, anak panahnya tepat kena matanya. Garuda itu pun jatuh dan mati. Raja Garuda itu menunggunya di kayangan. Sudah lama tidak kembali Garuda itu. Karena itu disuruhnya lagi seekor Garuda yang bernama Vandease. Perintah rajanya; "Pergilah ke sana. Bawa kemari Sesentola, kalau tidak mau barulah kau makan." Sesampainya di bumi, Sesentola tidak mau mengikuti perintah raja Garuda itu. Dengan segera Vandease pulang memberitahukan kepada rajanya.

Keesokan harinya untuk kedua kalinya Vandease datang menemui Sesentola. Perempuan itu sudah menangis dengan kerasnya, karena diketahuinya bahwa Vandease datang untuk memakannya. Sementara garuda itu melayang-layang di udara, maka sesentola membidik anak panahnya pada Garuda itu. Disebutnya; "Kening." tepat dikeningnya anak panah itu menembus sasarannya. Maka jatuh dan matilah garuda itu. Raja Garuda menunggu Vandease. Berkatalah Lemonton kepada “Sesentola” seekor garuda yang bernama “Vantebuluva", Karena itu Sesentola meminta segelas air untuk merendam cincin pusaka dari ibunya, dengan pesanan kepada perempuan itu; "Kalau saya pingsan tetesilah mata saya dengan air yang ada digelas ini." Tidak lama kemudian datanglah Vandebulava.Berkatalah Lemontond. "Vandebulava sudah tua." Dengan segera turunlah Sesentola. Bismillah, diangkatnya panahnya, bidikan ditujukan tepat kepada garuda itu. Setelah  mendekat dan menyambar, lalu katanya dada, maka tembuslah dada garuda itu, tetapi belum mati. Karena masih dapat bergerak, maka berkelahilah antara garuda dengan Sesentola. Sementara mereka berkelahi. Sesentola pingsan, maka diambil perempuan itu sapu tangan yang dibasahi dengan air digelas itu, untuk diteteskan kepada mata Sesentola. Tidak lama kemudian sadarlah Sesentola.

Kini semua Garuda yang selalu menyerang sudah mati. Maka disuruhnya perempuan itu untuk memasak karena sudah merasa lapar. Selesai makan mereka pun istirahat, karena hari sudah hampir malam. Setelah larut malam Lemaontonda mempersilahkan Sesentola masuk tempat tidur, maka Sesentola pun pergilah tidur. Lama nian di tempat tidur namun matanya tidak mau tertidur. Nampaknya ia gelisah karena sangat lelah berkelahi dengan garuda. Hal ini nampak oleh Lemontonda yang sejak tadi mengamatinya. Maka datanglah ia ke dekat Sesentola, katanya kepada Sesentola. "Rupanya engkau belum mempunyai isteri, saya bersedia menjadi isterimu kalau engkau setuju, tetapi syaratnya engkau harus memperlihatkan kesaktianmu lebih dahulu kepada saya." Maka menjawablah Sesentola. "Benarkah perkataanmu itu? Kalau demikian katakanlah apa yang harus saya lakukan." Kata Lemontonda puteri raja itu. "Kalau engkau orang sakti hidupkan kembali raja  bersama semua orang kampung yang meninggal itu karena serangan garuda. Yang tinggal hanya tulang-tulang berserahkan." Kata Sesentola. "Baiklah saya akan lakukan itu dengan permintaan supaya engkau turut membantu saya."

Maka Sesentola pun dengan dibantu Lemontonda segera pergi menyiapkan kain putih. Sesentola mengambil kain putih itu lalu ditutupkannya keatas timbunan tulang-tulang itu. Selesai ditutupnya hari pun sudah malam maka mereka pun kembali ke rumah. Lalu diberitahukan kepada perempuan itu, apabila besok hampir siang terdengar suara-suara yang hiruk-pikuk janganlah ribut. Tulang yang ditutupi kain putih itu akan menjelma menjadi manusia kembali. Tetapi mereka tidak lagi mengetahui dimana rumah mereka. Maka sibuklah Sesentola memberi petunjuk dimana tempat mereka semua itu. Kalau itu raja, Ayah Lemontonda, sudah sadar dari tempat itu. Bertanyalah ayahnya kepada Lemontonda, "Lemontonda, di manakah orang yang telah membunuh Garuda yang tiga ekor itu? "Jawab anaknya, "Itulah laki-laki yang membunuhnya. "Berkatalah ayah Lemontonda."

Engkaukah yang membunuhnya Garuda yang tiga ekor itu?

Di Jawab Sesentola, "Sayalah yang membunuhnya."

Alangkah besarnya jasamu telah, menyelamatkan kami semua di sini."

Kemudian Sesentola berkata kepada raja, "Karena sudah sempat saya menolong semua yang ada di kampung, saya akan kembali ke kampung saya."

Raja pun berkata, "Janganlah dahulu, saya akan memanggil semua Kapitalau, Galara serta Kepal sekarang juga." 

Tidak lama kemudian semua orang telah berkumpul. Maka raja menyampaikan sesuatu kepada orang banyak. "Apakah yang harus diberikan kepada Sesentola sebagai balas jasanya telah menyelamatkan kita semua."

Maka menjawablah Kapitalau. Kepala, orang-orang tua, "Tidak ada jalan lain kecuali harus dikawinkan saja dengan puteri raja Lemontonda." Lalu dijawab oleh Sesentola, "Saya belum bersedia akan kawin."

Maka raja dan semua penduduk kampung minta jangan dulu pulang sebelum selesai perkawinan, demikianlah kata-kata orang tua. Raja pun berjanji, "Kerajaan ini saya akan serahkan kepadamu dan engkaulah yang menjadi raja disini." Kata Sesentola, "Kalau demikian saya setuju dikawinkan.  

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Burung Garuda dan Sesentola Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Burung Garuda dan Sesentola Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Burung Garuda dan Sesentola"

Post a Comment

Cerita Lainnya