Si Kabayan Berpikir Global dan Bertindak Lokal ~ Walaupun miskin, Si Kabayan tidak mau diangap hina oleh siapa pun. Pikirnya, kita kan sama-sama manusia ciptaan al-Khalik. Lahir ke dunia, kita sama telanjang bulat. Mati pun, kita sama dan serupa, tulang-tulang dan segumpal daging, makanan cacing. Apa bedanya kita sama kita ini? Di desanya lagi musim sedekahan. Orang ramai saling undang ke rumah masing-masing untuk makan-makan bersama dengan memanjatkan doa mohon selamat dan lindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Si Kabayan takut dihina, kalau tidak ikut mengadakan selamatan juga di rumahnya. "Tapi mana duitnya, Kang Kabayan?" Si Iteung nyelutuk. Yah, memang mana duitnya? Bergemalah celetukan istrinya itu dalam benak Si Kabayan. Dia pusing. Manusia bikin aku pusing melulu, gerutunya. Tapi apa boleh buat. Pokoknya, aku tidak mau dihina orang, pikirnya lagi.
Dia sibuk menulis surat undangan kepada tokoh-tokoh dan para pejabat desanya. Dalam undangan itu ditegaskan dan digaris bawahi tebal-tebal dengan tinta merah bahwa jalan ke rumahnya sangat becek kalau hujan, dan banyak debu kalau musim kering. Ditambah dengan tanda Nota Bene. Rumah kami lagi diperbaiki oleh seorang kontraktor dari kota. Setengah atapnya masih terbuka. Air sampai ke lutut, kalau hujan. Dan matahari menusuk-nusuk tak kenal ampun, kalau lagi tidak hujan. Si Bego, anaknya, segera menggenjot sepeda pinjamannya menyampaikan surat undangan kepada alamat-alamatnya.
Tibalah hari yang telah ditentukan dalam surat undangan itu. Si Kabayan bersorak-sorai dalam hati. Hujan turun sejak waktu subuh. Alhamdulillah, pikirnya, ketawa enak. Dan kepada Si Iteung dia bilang dengan nada seolah dapat lotre; "Hey Iteung, kamu tak usah repot-repot masak apa-apa, ya! Kalau tidak sinting otaknya, mana berani orang datang keundangan kita dalam guyuran kencing Dewa Indra dari langit sehebat sekarang ini." Dan Si Iteung melepaskan senyum kepuasan ke dalam mata suaminya. Lalu menjawab : "Memang, apa yang harus dimasak, Kang Kabayan? Gabah makanan ayam pun sudah habis kita bikin bubur asem-manis kemarin."
Tapi,....tiba-tiba Si Kabayan berteriak; "Buseeet! Iteung! Lihat, Iteung! Buseeet!" Dilihatnya dengan penuh kejengkelan berlari-lari anjing dengan berpayung daun pisang menuju ke rumahnya, lalu masuk dengan kaki-kaki mereka penuh lumpur. Dasar nasib sial! keluh Si Kabayan dalam hati. Sekali Si Kabayan, tetap Si Kabayan! Sekali sial, tetap sial Buseeet!. Lalu dengan suara yang sengaja keras-keras dia berteriak kepada Si Iteung di dapur.
"Gara-gara beras menghilang dari pasaran, dan kita harus antri membelinya, orang menjadi serakah! Apalagi yang gembul-gembul! Nafsu mereka tambah rakus! Perut mereka tambah gendut! Tak peduli hujan keris dan tombak; tak peduli banjir gajah dan monyet; tak peduli taufan harimau dan bungaok! Kerakusan nyeruduk terus, mentraktor lumpur jalan desa yang becek abadi itu! Cih!"
Mendengar teriakan Si Kabayan seperti itu para tamu pada bengong. Saling pandang. Tidak mengerti. Lalu pada membalik 180 derajat, dan berloncatan terjun kembali ke dalam hujan kencing dewa. Lari-lari anjing lagi. Basah kuyup lagi. Berteriak -teriak keras-keras seolah-olah ada kebakaran. "Si Kabayan makhluk aneh! Si Kabayan makhluk lingling! Ngundang makan, hidangannya sindiran doang!"
Dan mereka tambah kedinginan, tambah lapar. Tambah keras berteriak-teriak. "Dingin dan lapar, apa enaknya?" teriak yang satu. Dijawab oleh semua mulut berbarengan. "Tidak enak! Tapi yang dingin dan yang lapar tidak bikin korban siapa-siapa! Dan suara yang satu bertanya lagi; "Makan sindiran, apa enaknya?" Dijawab berbarengan lagi. "Menyebalkan! Mau muntah! Padahal, biarpun tokoh dan pejabat, namun karena cuma taraf desa, kami pun ikut ngantri beli beras."
Esoknya Si Bego disuruh ayahnya untuk menyampaikan surat terbuka kepada harian "Sinar Harapan Desa" supaya dimuat. Isinya a.l. memuat kalimat-kalimat sebagai berikut :
"Yang rakus berperut gendut itu adalah tukang-tukang sulap yang pintar menghilangkan benda yang ada jadi tiada; yang tiada jadi ada kembali. Dan bendanya itu-itu juga, tak kurang tak lebih. Cuma harganya audzubillah! Jadi lebih tinggi, Melangit.
Kata Pak Guru, itu jamak, sesuai dengan hukum suplay dan deman' dengan hukum persaingan bebas, dengan hukum komersial, yang berada diatas hukum moral. Realitas itu menyuruh kita berpikir secara global. Kata Pak Kiyai, segala apa di dunia fana ini, yang mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan, itu menyangkut hukum moral. Dan iblis dan setan-setan adalah pengacau hukum moral yang paling ganas. Mereka menggoda kita secara lokal. Memaksa kita bertindak secara lokal."
Sorenya seluruh penduduk desa yang membaca koran pada memecahkan otak, memikiri isi dan maksud tulisan Si Kabayan itu. Tapi Si Kabayan pun memecahkan otaknya pula. Bertanya-tanya pula dalam hatinya, seperti penduduk desa yang berpikir itu. Dan ketika Si Iteung bertanya, Si Kabayan menjawab: "Wah, Akang lagi asyik memeras otak Iteung. Masalah global yang ingin Akang pecahkan."
"Masalah apa, Kang?"
"Masalah maha penting, Iteung. Masalah dunia sekarang Yaitu masalah isi perut dan moral yang dianggap orang tidak ada kait - mengaitnya satu sama lain."
"Apakah janji Ki Silah akan memberi apa yang dia sebut 'zakat ekstra' kepada kita itu termasuk ke dalam masalah global itu juga, Kang?"
Mendengar pertanyaan Si Iteung itu, Si Kabayan tiba-tiba bangkit dari duduknya, lalu loncat ke halaman, bergegas ke rumah Ki Silah. Dia seolah diingatkan kembali oleh Si Iteung akan janji Ki Silah itu. Sebulan yang lalu, beberapa hari sebelum Lebaran, Ki Silah menyuruh Si Kabayan dan anaknya, Si Bego, untuk membikin sebuah kandang domba yang cukup untuk dua ekor. Ayah dan anaknya itu dijanjikan akan diberi upah berupa duit dan beras satu karung yang dia sebut 'zakat ekstra'. Tapi kecuali duit yang cukup untuk beli rokok kretek, dan uang jajan Si Bego, zakat ekstra yang satu karung itu tidak pernah kelihatan masuk dapur Si Iteung. Berkali-kali Si Kabayan menagih janji tetangga yaitu, tapi selalu terbentur kepada; Wah, aku lagi sibuk, Kabayan! Besok saja! Wah, aku mesti menghadap Pak Gubernur, Kabayan! Besok saja! Wah, aku harus pergi ke bank di kota, Kabayan! Besok saja! Selalu ada saja 'Wah, aku' ini-itu; mengelakkan tagihan zakat ekstra beras sekarung itu. Tapi sekarang, pikir Si Kabayan, sambil bergegas kerumah tetangganya itu, aku mesti dan akan betul-betul bertindak; bertindak lokal. Yaitu di rumahnya. Harus gua hajar dia yang suka janji bohong, memeras tenaga orang. Kali ini, kalau dia keluarkan. "Wah aku' lagi, aku akan ubrak-abrik rumahnya. Itulah tindakan lokal namanya, sesuai dengan slogan zaman sekarang.
Begitu Si Kabayan masuk halaman depan rumah Ki Silah, dia melihat orang kaya itu sedang ngomong-ngomong dengan Si Bedegul. Wah! keluar bunyi itu dari mulutnya. Dia ingat, kejadian tiga hari yang lalu Ki Silah kemasukkan penjahat rumahnya. Lima orang penjahatnya, berkedok hitam. Sejak malam itu, Ki Silah sewa Si Bedegul, teroris desa itu, sebagai "bodyguard."nya.
Melihat kedua orang itu lagi ngomong-ngomong, Si kabayan ciut hatinya. Lalu diam-diam mundur teratur. Bergegas kembali ke rumah. Pikirnya, otak gua cukup cerdas untuk berpikir secara global, tapi bertindak lokal, melawan kekuatan duit yang berkombinasi dengan kekuatan otot-otot yang segede-gede bedug, wah, mana mungkin gua bisa menang. Melawan kemelaratan saja gua tidak pernah menang, kok. Kembali di rumah, dia langsung berkata; "Eh, Iteung, zakat ekstra itu kita sedekahkan saja ya."
"Kepada siapa Kang?"
"Kepada siapa lagi ? Tentu kepada yang lebih butuh beras dari kita."
"Siapa itu, Kang?"
"Ki Silah. Biar perutnya tambah gendut, diisi dengan zakat ekstra dari kita itu."
"Lho! Kalau disedekahkan lagi, kita dapat apa, Kang?"
"Pahalanya, Iteung. Pahalanya..."
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan Berpikir Global dan Bertindak Lokal"
Post a Comment