Alkisah Rakyat ~ Pada kurang lebih tahun 1840-an di sebuah warung yang terletak di Meester Cornelis seorang nyonya Cina bernama Oeji Kim Nio duduk menyulam sepasang kasut sambil menantikan kedatangan kekasihnya yang bernama Tan Atjong. Nyonya Kim sebenarnya adalah istri dari Li Asam, akan tetapi ia telah bermain api dengan lelaki lain. Selagi nyonya Kim menanti-nanti kekasihnya tiba-tiba ia telah dipeluk dari belakang, sehingga sangat terkejut. Tetapi betapa gembiranya sesudah ia tahu bahwa yang memeluknya adalah Atjong yang telah masuk dari pintu belakang. Perbuatan durhaka kedua orang itu sudah sering diintip oleh Li Koe Nyan, anak Li Asam dengan istrinya yang pertama yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Li Asam sama sekali tidak mengetahui bahwa istrinya yang diharapkan dapat menemaninya dengan setia sampai akhir hayatnya telah berlaku serong. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Tan Atjong yang telah berbuat baik dengan meminjami uang untuk mencukupi kebutuhan warungnya telah berlaku licik. Tan Atjong meminjami uang, tetapi disamping itu telah membawa Li Asam kepada suatu perbuatan atau kebiasaan yang sangat merugikan yaitu madat. Memang disengaja oleh Tan Atjong, dengan asyiknya Li Asam minum apyun dirumah sakit, maka ia dapat leluasa berkasih-kasihan dengan Oeji Kim Nio, seorang nyonya cantik yang sangat diingininya untuk di peristri.
Li Koe Nyan yang sudah berumur 10 tahun bertanya-tanya dalam hatinya, apakah mungkin seorang perempuan mempunyai suami dua orang, sehingga akhirnya ia bertanya kepada ayahnya, yang dijawab: "Kalau satu orang lelaki yang bininya dua atawa tiga, itu memang ada, tapi dimana ada satu perempuan yang mempunyai dua laki?"
"Aku rasa ada", sahut si anak.
"Tapu dimana kau sudah lihat?" tanya ayahnya heran.
"Di rumah kita?" menanya encek Asam dengan marah," apa kau mau bilang?"
"Betul begitu, kerna aku sudah lihat sendiri. Saben hari kalau apak pergi, Tan Atjong lantas dateng di rumah, betul seperti ada yang kasih tau lebih dulu padanya, kemudian ia lantas peluk dan cium sama ama (ibu), lebih keras dari apak sendiri biasa cium sama ibu". Kemudian Koe Njan melanjutkan bicaranya: "Sesungguhnya aku tiada mengerti pegimana boleh ada ini perkara, maka aku kira ibu sudah kawin sama dua lelaki".
Li Asam bertekad hendak menunjukkan kemarahannya kepada Atjong yang sudah menipu dirinya. Kesempatan itu datang tatkala di rumah sakit Tan Atjong berpura-pura menagih piutangnya kepada Li Asam. Dengan serta merta Li Asam menjawab"... mengapakah aku mesti bayar itu utang? Aku tidak nanti bayar, sebab... sebab... sebab engkau sudah lunaskan itu utang, atawa tegasnya...istriku sudah bayar buat aku! Tidak usah aku sebutkan lagi, bagaimana macem itu uang telah dibayar, tapi pendeknya, baik engkau sendiri, baik istriku yang tidak setia, sudah tidak taruh hormat akan rambutku yang sudah putih, engkau berdua sudah bikin aku malu besar. Terima kasih, Atjong, tapi jaga dirimu baik-baik," ujar encek Asam dengan gemetar.
Tan Atjong sama sekali tidak menjawab kemarahan Li Asam karena khawatir akan timbul keributan dan banyak orang yang mendengar rahasianya. Akan tetapi ia sudah bertekad bulat untuk segera membinasakan Li Asam agar dapat segera merebut Oeji Kim Nio. Sesudah Li Asam tidur pulas karena mabuk candu, Tan Atjong segera mengajak dua orang kawannya, Si Dul dan Kainun ke tempat yang sepi untuk diajak berunding. Sesudah selesai berunding dengan Dul dan Kainun, Atjong segera pergi ke rumah encek Asam akan memuaskan hatinya dengan nyonya Kim, yang memang sudah lama menunggu kedatangannya, karena ia sudah tahu lebih dahulu bahwa suaminya tidak akan lekas pulang.
Ketika Li Asam bangun dari tidurnya di rumah sakit, hari sudah jauh malam. Kepalanya terasa pusing dan belum melihat dengan tegas barang-barang yang ada didepannya. Sambil memeluk lutut ia mulai berpikir apa yang harus diperbuat supaya Tan Atjong tidak selalu mengganggu kesenangannya. Jika ia membunuhnya pastilah ia akan ditangkap dan dibuang. Lalu bagaimana nasib buah hatinya si Koe Nyan, sebab dengan ibu tirinya tidak ada harapan lagi, sedang sekarangpun nyonya Kim istrinya sudah benci kepada anaknya. Akan dititipkan kepada pamannya di Pondok Cina yang bernama Li Asi, akan tetapi Li Asi juga berada dalam kekurangan dan banyak anaknya pula.
Sambil masih berpikir Li Asam bangkit dari duduknya dan berjalan pulang. Waktu itu udara sangat gelap karena akan hujan. Waktu itu kurang lebih sudah jam sebelas malam, langit hitam pekat. hati Li Asam merasa tidak tenteram karena ia berpikir barangkali Tan Atjong sudah datang kerumahnya mengganggu istrinya atau anaknya. Ia berjalan dengan cepat, terlebih-lebih karena takut kehujanan. Ia sudah kenal dengan jalan disitu, sehingga meskipun gelap kakinya tidak pernah ternatuk oleh tinggi rendahnya tanah. Sesudah melewati galangan sawah ia menanjak pada sebuah tebing yang tinggi lalu menurun. Di tempat itulah ia diserang oleh Dul dan Kainun. Perkelahian seru segera terjadi karena Li Asam tidak mau menyerah begitu saja. Akan tetapi karena ia bertangan hampa, maka akhirnya robohlah ia sesudah punggungnya ditikam. Baru saja sedang berusaha hendak bangun sepotong besi sudah menimpa kepalanya, disusul dengan tikaman yang kedua tepat diulu hatinya. Darah menyembur ditengah kebun bersamaan dengan curahnya hujan. Mayatnya kemudian dibuang entah kemana.
Esok harinya penduduk Pasar Minggu heran karena mendengar kabar bahwa Li Asam tidak pulang sejak semalam dan tidak diketahui kemana perginya. Kepala kampung dan beberapa orang yang diupah oleh Tan Atjong berusaha mencari jejaknya tetapi tidak berhasil. Orang ramai menceriterakan, sebagian menduga bahwa Li Asam sudah kabur karena terlalu banyak hutangnya. Lain orang menduga ia sudah dibunuh oleh penjahat tetapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Tan Atjong sengaja datang ke kantor polisi melaporkan hilangnya Li Asam, dengan penjelasan bahwa yang terakhir ia bertemu dengannya di rumah sakit, tetapi karena ia pulang terlebih dahulu, maka ia tidak mengetahui lagi kemana sebenarnya Li Asam pergi, sehingga terhindarlah ia dari kecurigaan polisi.
Yang paling kasihan adalah Li Koe Njan. Untunglah ada tetangga yang mau menganterkan ke rumah Li Asi di pondok Tjina dengan membawa beberapa potong pakaian. Dirumah kakeknya, Li Ko Njan membantu pekerjaan di kebun dan di warung. Kakeknya juga sangat sayang, tetapi neneknya sering marah-marah sehingga Li Koe Njan jadi bersedih dan merasa tidak mendapat perlindungan. Pada suatu malam ia bermimpi didatangi ayahnya yang berlumuran darah. Ayahnya berpesan supaya Koe Njan menuntut balas kepada Tan Atjong, Dul dan Kainun. Pagi harinya Koe Njan menangis memikirkan impiannya, lalu ia berjalan tak tentu arah meninggalkan rumah kakeknya.
Dalam pada itu Dul dan Kainun yang sudah berjasa kepada Tan Atjong menunggu-nunggu upah jerih lelahnya, tetapi ternyata harapannya tidak kunjung dipenuhi. Karena sudah tidak sabar lagi maka kedua penjahat itu bersepakat akan mencuri kerbau Tan Atjong. Tetapi sial, mereka tertangkap oleh polisi. Di depan polisi mereka membeberkan rahasia Tan Atjong, tetapi karena tidak ada saksi, maka hakim menganggap keterangan kedua penjahat itu dusta semata-mata untuk memperingan hukumannya.
Tan Atjong tidak dapat dituduh berbuat jahat sebab ternyata ketika Li Asam hilang, ia sudah mengeluarkan banyak uang untuk mencari Li Asam. Ia kawin dengan Oie Kim Nio adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada bekas istri sahabatnya, semata-mata karena rasa kasihan. Demikianlah alasan yang dikemukakan Tan Atjong dimuka pengadilan untuk menangkias dikelabui oleh kelicikan Tan Atjong. Oleh karena itulah Dul dan Kainun menaruh dendam kepada Tan Atjong dan sampai kapanpun mereka akan mencari jalan untuk membalas sakit hatinya.
Kembali kepada Li Koe Njan yang lari dari rumah kakeknya, bertemu dengan Haji Muhamin yang berjanji mau merawatnya dengan baik-baik asalkan Koe Njan mau menjadi Islam, bahwa ia mau memungut anak yang akan diserahi seluruh hartanya kelak. Begitulah akhirnya Koe Njan menjadi Islam, sedang namanya diganti Bahram. Setiap hari bersama-sama degan anak-anak Islam yang lain ia belajar mengaji, main pukulan (penca) dan lain-lain. Ilmu hikmah agama. Bahram mempunyai empat orang kawan yang paling akrab, ialah: Rajak, Musin, Jenal dan Saban. Lima tahun kemudian Haji Muhamin meninggal dunia dan semua hartanya sudah diserahkan kepada Bahram. Demikian juga seluruh kepandaiannya sudah pula diwariskan. Tetapi Bahram tidak rajin mengurus tanahnya atau mencari untung yang lain, tetapi ia selalu pergi berkelilingan karena ingin melaksanakan pesan almarhum ayahnya.
Demikianlah pada akhirnya Bahram dapat menemukan si Dul dan Kainun di Meester Cornelis, lalu menguntitnya ke rumah sakit dan membuat kedua penjahat itu sangat terkejut karena mengira pemuda yang mengawasinya adalah mata-mata polisi. Bahram yang sudah mendengar segala pembicaraan Dul dan Kainun dengan tersenyum mendekati mereka dan berkata dengan suara perlahan: "Jangan kuatir suatu apa, abang, kerna saya ini tidak niat jahat, hanya ada perlunya akan minta tolong sama abang berdua".
Lalu mulailah mereka bertiga berbicara dengan baik-baik dan akhirnya mereka bersama-sama pergi ke rumah Bahram di Cilitan, dengan singgah sebentar di tempat pertunjukkan topeng menjemput 4 orang teman Bahram yang sudah disebut dimuka, sehingga pada kia-kira pukul sepuluh malam mereka bertujuh sudah sampai di Cililitan dan berkumpul dirumah Bahram ditepi kali Ciliwung. Waktu itu keadaan sangat sepi, lebih-lebih karena rumah Bahram memang terpencil letaknya.
Selanjutnya mereka membicarakan rencana pencurian ke rumah nyonya S. di Gambir dan bersepakat untuk membalas dendam kepada Tan Atjong. Malam itu juga mereka melakukan niatnya mencuri ke rumah S dan berhasil membawa bermacam-macam barang emas, intan dan uang kontan, yang semuanya berjumlah kira-kira f 20.000 dengan jalan membobol tembok di samping rumah. Sesudah selesai melakukan pencurian, mereka tidak kembali lagi ke Cililitan, melainkan langsung menuju ketempat persembunyian di salah satu gua yang besar di hutan Jelambar. Tidak ada seorangpun penghuni rumah nyonya S. yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa itu, karena segala sesuatunya sudah dikerjakan dengan rapi sekali.
Kemudian mereka membicarakan perihal pembalasan kepada Tan Atjong. Mereka sepakat untuk menangkap hidup-hidup keluarga Tan Atjong, yakni nyonya Oeji Kim Nio, yang sudah menjadi istri Atjong, In Nio adik Tan Atjong dan Tan Atjong sendiri, semuaya akan dibawa ke gua Jelambar. Dengan menyamar sebagai polisi, penjahat-penjahat itu berhasil menggiring Tan Atjong sekeluarga ke hutan Jelambar. Nyonya Kim dan In Nio ditangkap perjudian di daerah pasar Glodog dalam waktu yang tidak sama. Sesudah sampai di gua Jelambar kedua orang perempuan itu dimasukkan ke dalam kamar yang terkunci. Kemudian para penculik berunding untuk melanjutkan usahanya menangkap Tan Atjong. Semuanya berangkat ke Pasar Glodog kecuali Rajak yang diberi tugas menjaga tawanan di dalam gua.
Ketika Rajak mengantarkan buat kedua tawanan, ia sudah dapat melihat dengan tegas wajah In Nio yang cantik. Dalam hatinya mulai timbul keinginan untuk merebut gadis itu dari kemungkinan diperistri oleh Bahram. Ia lalu membujuk In Nio supaya jangan menangis dengan perkataan yang lemah lembut. In Nio yang mempunyai pikiran cerdas dan sedang memikirkan suatu upaya bagaimana ia dapat melepaskan diri dari tawanan, sudah mendapatkan pikiran yang bagus setelah melihat Rajak datang membujuk kepadanya. Dengan berpura-pura bersikap manis Tan In Nio sudah berhasil memperdayakan Rajak. Bahkan ia bersumpah bersedia menjadi istri Rajak asal saja Rajak mau menolong melepaskan dirinya dari tawanan. Rajak bersedia untuk menolong dengan jalan akan memanggil polisi kehutanan Jelambar sesudah Bahram dan Musin pulang dari Meester Cornelis. Tidak lama kemudian Bahram dan Musin datang membawa kambing yang akan dipakai buat selamatan. Rajak segera menyatakan kepada Bahram bahwa ia akan menyusul kawan-kawannya menangkap Tan Atjong tetapi sebenarnya ia langsung ke Betawi memberitahukan kepada polisi tentang persembunyian para perampok dan tawanannya dihutan Jelambar.
Dalam pada itu orang-orang yang mendapat tugas menangkap Tan Atjong sudah berhasil membawa keluar dari tempat perjudian dengan alasan bahwa Tan Atjong dipanggil oleh jaksa yang pada waktu itu sudah berhasil menyelamatkan istri dan adiknya. Dari tempat perjudian Atjong dibawa ke Angke, kemudian dinaikkan ke dalam sebuah perahu oleh penculik yang menyamar sebagai opas polisi. Baru setelah mereka agak jauh mengarungi sungai Angke, Tan Atjong sadar bahwa ia sudah ditangkap oleh dua orang musuhnya yakni Dul dan Kainun yang siap dengan senjata terhunus sehingga Tan Atjong tidak berani untuk minta tolong.
Malam itu gua dihutan Jelambar terang benderang oleh sinar lilin. Semuanya sudah berkumpul disana, kecuali Rajak yang belum juga datang. Bahram yang tidak lain adalah Li Koe Nyan duduk sambil bertelekan pada tangan kirinya. Kemudian dia bangkit mengambil tiga batang lidi hio dan ditaruh dalam gelas yang sudah diisi dengan beras. Semua kawannya merasa heran akan perilakunya tetapi tidak seorangpun yang berani bertanya. Kemudian gelas berisi hio itu diletakkan diatas sebuah batu besar yang dipergunakan sebagai meja sembahyang orang mati bangsa Cina. Di sebelah kanan meja berdiri si Dul dan Kainun, dan dibelakang kedua orang ini berdiri si Dul dan Kainun, dan dibelakang kedua orang ini berdiri Jenal dan Saban. Disebelah kiri meja berdiri Tan In Nio, Oeji Kim Nio dan Tan Atjong yang dijaga oleh Musin.
Nona In Nio tidak diikat, tetapi Tan Atjong dan Kim Nio terikat kaki tangannya dan disandarkan pada sebuah tiang kayu. Mukanya sangat pucat, sedang tubuhnya gemeteran, keringat dingin mengalir diseluruh tubuh. Sesudah beberapa saat berlutut didepan meja batu dan mengucapkan kata-kata yang tak dapat didengar oleh orang lain, Bahram lalu berdiri didepan Atjong dan berkata "Engkau sendiri barangkali bisa kira, Atjong, yang takeran dosamu sudah penuh hingga ini hari ajalmu sudah sampe". Dengan suara gemetar Atjong menjawab: "Aku tidak merasa sudah berbuat dosa same engkau atawa sama lain orang dan lagi aku tidak kenal engkau siapa?".
Bahram lalu menceritakan riwayat hidupnya secara gamblang, dan menutupkan dengan kata-kata: "Li Koe Njan tidak mati dibunuh atau membunuh diri, dan orang tidak tau dimana ia sudah pergi, kerna sebenarnya ia sudah menumpang tinggal di rumahnya haji Muhamin di kampung Celilitan. Ini haji sudah piara si Koe Njan seperti anak sendiri dan dikasih masuk Islam, ia punya nama sudah diganti lain yaitu... si Bahram!" Sambil berkata begitu ia sudah membuka ikat kepala, baju dan sarungnya, sehingga kelihatan memakai celana orang Cina, serupa pakaian yang dipakainya tatkala Li Asam masih hidup. Bahram benar-benar sudah kembali menjadi Li Koe Njan, hanya ia tidak mempunyai taucang (kuncir) sebagaimana galibnya orang-orang Cina pada masa itu.
"Ampun Koe Njan!" demikian teriak nyonya Kim Nio yang sudah mengenali anak tirinya. Sedangkan Dul dan Kainun yang sekian lamanya tenang-tenang mendengar ceritera si Bahram, sekarang sudah bergerak mau melarikan diri, karena mereka juga merasa tak akan selamat. Tetapi baru saja bergerak, dari belakang tangannya sudah ditangkap oleh Saban dan Jenal yang sudah menerima isyarat dari Bahram, yang dengan cepat mencabut goloknya. Berganti-ganti kepala Dul dan Kainun jatuh ke tanah. Darahnya menyembur ke segala barang dan makanan yang teratur diatas meja persembahyangan. Kemudian Tan Atjong, lalu Oeji Kim Nio berturut-turut putus lehernya oleh golok Koe Njan.
Baru saja lenyap gema ceriteranya Kim Nio, pintu gua mendadak terbuka dan muncullah Rajak berlari masuk dengan golok terhunus ditangannya, diikuti oleh assistent residen dan beberapa orang polisi. Mendengar jeritan Nona In Nio. Rajak berteriak "Bahram jangan engkau ganggu nona In Nio, kerna aku nanti bunuh engkau sekalian". Dengan cepat Musin menubruk Rajak dengan golok, tetapi ia kalah gesit, sehingga golok Rajaklah yang singgah dipinggangnya dan robohlah Musin menghembuskan nafasnya. Baru saja Rajak hendak mencabut goloknya yang tertancap ditubuh Musin, golok Bahram sudah sampai dibatang lehernya sehingga putuslah jiwanya seketika itu juga.
Assistent residen menyarankan agar Bahram menyerahkan diri, tetapi Bahram tidak memperdulikannya, malahan ia berkata kepada kedua orang temannya yang masih hidup: "...tinggal dua perkara yang kita boleh pilih, menyerah atau membunuh diri. Aku sendiri sudah puas hidup di dunia ini, tetapi aku tidak nanti serahkan diriku pada polisi, karena aku tidak mau mati oleh senjata lain orang atau ditiang gantungan". Engkau berdua boleh pilih sendiri apa yang kau suka berbuat". Sesudah berkata begitu, si Bahram lantas tikan dirinya sendiri dengan golok. Jenal dan Saban sudah mengikuti teladan itu karena mereka berdua tidak mau bersah dengan si Bahram dari hidup sampai mati.
Beberapa waktu sesudah tragedi di hutan Jelambar, Tan In Nio sudah kawin dengan tunangannya yang ada di Bogor. In Nio sebenarnya sudah hidup beruntung dengan suaminya dan sudah melahirkan dua orang anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Meskipun demikian ia masih juga kadang-kadang duduk termangu-mangu seperti orang bingung dan mencucurkan air mata. Meskipun sudah berlangsung lama, namun ia belum juga dapat menghilangkan penyesalannya mengapa ketika di hutan Jelambar ia sudah membujuk Rajak untuk berbuat khianat yang menyebabkan matinya Li Koe Njan karena bunuh diri. Ia tidak dapat melupakan wajah Koe Njan yang sudah berpakaian seperti orang Cina sambil memegang golok dikala itu. Sebenarnyalah ia sudah jatuh cinta dengan sangat mendalam ditambah perasaan sesal yang tak terhingga.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
loading...
0 Response to "Satu Pembalasan"
Post a Comment