Alkisah Rakyat ~ "Ma Kesen, anak kau si Kesen semakin lama semakin jahat, Semalam tatkala aku berjalan ronda, aku melihat anak itu mencuri kelapa dipekarangan Pak Djiun. Tempo itu cuma kutempeleng dan kuusir ia pulang, sebab ia masih muda. Lagi pula kasihan, jikalau sekali lagi si Kesen mencuri, tentu kutangkep ia dan bawah ke rumah Cutak, supaya anak itu dikirim ke polisie Rol". Demikian suatu hari, kurang lebih5 tahun lamanya, ada seorang pencalang Nomo kasih nasehat pada seorang perempuan tua di kampung Rawabokor (Tangerang), orang ini bernama Ma Kesen, karena anaknya perempuan tua ini si Kesen namanya, seringkali mencuri di kampung itu.
"Apa kau tidak bisa ngajar baik pada anak itu". Kata pencalang Nomo. "Bukankah kau nanti dapat susah, jikalau si Kesen dihukum? Sekarang engkau tidak ada laki dan tidak ada anak lain, siapakah nanti piara kau dihari tua?" "Saya tidak bisa bikin sesuatu apa, pak pencalang Nomo menyahut Ma Kesen. "Sering saya kasih ingat pada anak itu, tetapi selamanya ia tidak mau robah adatnya yang jahat itu". "Semua itu kau juga salah, ma Kesen? Kata Pak Nomo. Dari kecil si Kesen selalu dikasih hati dan dituruti segala kemauannya, sekarang ia tidak ada indahkan pada kau.
Ma Kesen yang berdiri diujung balai, dimana pak Nomo sudah duduk, pun tiada bicara satu perkataan, tetapi dalam hatinya anak muda ada sangat marah kepada pencalang itu, sehingga biji matanya berputar ke kiri dan ke kanan. Sekarang ia merasa sakit di pipi dan di belakangnya, semalam pencalang pukul dan tendang, maka ia pikir akan balas sakit hati kepada Nomo apabila ia sudah besar. Sesungguhnya bukan sekali ini saja si Kesen bikin susah pada orang kampung Rawabokor. Bila umurnya lima tahun adatnya si Kesen jahat sekali. Tiap hari, jikalau ibunya tiada turut ia punya mau, tentu ia pukul dan ia garuk, ia tendang dan ia lempar-lempar Ma Kesen, sehingga akhirnya orang ini mesti turut kemauannya anak jahat itu.
Memang anak perempuan bangsa anak negeri tidak bisa berlaku bengis pada anaknya, tetapi Ma Kesen sudah kasih hati pada anaknya lebih dari mesti, sehingga anak ini tiada sekali takut atau indahkan padanya. Jikalau Ma Kesen ribut pada anaknya itu dan ada tetangga mau ancam atau pukul pada si Kesen, tentu ibunya anak ini kurang senang hati dan membilang, ia juga anak cuma satu. Maka jangan dipukul atau diancam sebab jikalau anak ini sakit, ia sendiri mesti dapat susah. Oleh sebab itu orang lain tidak mau ada campur tangan hal kecindraan ilmu dan anak itu, mesti Ma Kesen diinjak oleh anaknya, pun tidak seorang yang mau menolong. Lagipun acapkali si Kesen balas jahat tentang yang campur ia juga perkara, jikalau ia tidak bunuh ayamnya ini tetangga, tentu ia buang ke kotoran di lempang padinya atau lain-lain sebagainya.
Setelah si Kesen besar, ia mulai mencuri nasi di dapur tetangganya, kain yang dijemur dan segala buah-buahan di kebon. Meski begitu, tiada seorang berani bilang dengan terang si Kesen sudah mencuri, sebab dari ia kecil semua orang pada takut kepada anak jahat ini. Bukan saja segala anak-anak temannya adu jangkrik dan adu ayam, ada takut pada si Kesen, pun orang-orang tua ada takut pada bangsat itu, yang dirasa di kemudian hari bakal menjadi jago. Orang kampung Rawabokor sudah ceritera tentang si Kesen memang ada keturunan jago, bukan dari asal keturunan orang tuanya Ma Kesen atau Pak Kesen, tetapi dari sesuatu rahasia bagaimana diceriterakan di bawah ini :
Lewat 20 tahun ada suatu kawanan perampok yang sembunyi serta tinggal di hutan kampung Rawabokor. Di kampung ini melainkan ada satu jalanan kecil yang dari hutan terus menuju ke pasar di Mauk, maka siapa yang mau pergi ke pasar mesti lewat hutan tersebut. Dan perampok-perampok yang sembunyi di hutan itu membegal orang-orang yang mau pergi ke pasar Mauk itu. Ada banyak orang lelaki yang lewat hutan ini, setelah dirampok uangnya serta barangnya. Dan kalau orang perempuan dipaksa berbuat perkara hina dengan itu penyamun, tetapi selamanya ini ia orang tiada dibikin sakit atau diganggu lain rupa.
Akhirnya orang kampung Rawabokor sudah tahu kalau mau ke pasar Mauk lewat di hutan tersebut baiknya pada waktu siang dan berkawan. Begitu sampai ia orang ditahan berandal, siapa orang berani jalan seorang diri dihutan itu tentu dapat cilaka. Tatkala itu Ma Kesen baru menikah 5 tahun dan ia masih muda. Sewaktu hari ia turut orang-orang kampung pergi ke pasar Mauk, tetapi pada waktu orang-orang lain sudah berangkat pulang. Ma Kesen mesti tinggal dulu dipasar, sehingga kemudian ia mesti berjalan pulang sendiri. Dan pulangnya itu ia harus melewati hutan. Setelah pada saatnya sampai di hutan, tiba-tiba dari belakang pohon-pohonan keluar seorang Selam yang perawakannya tinggi serta besar badannya. Sambil tersenyum orang-orang laki-laki itu minta kepada Ma Kesen supaya turut padanya, dengan diancam akan ditembak, jikalau ia tidak mau turut kemauannya itu.
Dari sebab sangat takutnya, Ma Kesen turut padanya dan masuk ke dalam hutan yang sepi.... Dan beberapa jam kemudian Ma Kesen keluar dari hutan dan terus menangis berceritera kepada suaminya, tadi ia sudah diserang oleh penyamun di dalam hutan, sehingga barang perhiasannya ia semuanya dirampas habis-habisan. Tetapi ia tidak cerita satu perkataan dari hal ia turut satu penyamun masuk ke dalam hutan ditempat yang sepi itu. Sembilan bulan belakangan ini Ma Kesen melahirkan satu anak lelaki yang tidak ada saudaranya lagi. Anak ini diberi nama Si Kesen dan memang rupanya anak ini ada perbedaan jauh dari orang tuanya, sedang Pak Kesen badannya kecil dan anak ini ada besar perawakannya. Maka tidak salah lagi jikalau si Kesen ini adalah anaknya penyamun yang tinggi besar itu, yang sudah antar Ma Kesen masuk ke dalam hutan di tempat yang sepi itu, sehingga pantas anak ini menjadi jago.
Apabila 2 tahun dari waktu pencalang Pak Nomo bicara pada Ma Kesen, bagaimana sudah diceriterakan, si Kesen sudah umur dewasa serta menjagoin tiada saja ia jago berkelahi, pun pada segala orang perempuan muda ia ada jagonya. Sementara itu Pak Nomo sudah menikah dengan seorang perempuan muda yang cantik parasnya. Si Kesen dapat cinta pada perempuan muda ini dan seboleh-boleh ia ingin dapat isteri pencalang Nomo itu. Bukan karena cuma buat menyampaikan cinta birahinya, tetapi juga buat membalas sakit hati pada Pak Nomo dahulu sudah pukul padanya. Suatu hari si Kesen ketemu dengan istrinya Pak Nomo, Muna namanya, digalengan sawah dekat kampung Rawabokor. Si Kesen lantas mendehem, seraya berkata sambil tersenyum: "Empok Muna, diwaktu malam jikalau bapak Pencalang berjalan, apa saya boleh datang buat temenin Empok".
"Oh, menyahut si Muna, apa kira aku sudah suka main gila, seperti lain orang perempuan?"
Sambil bicara begitu, si Muna melirik sambil tersenyum pada si Kesen, yang memang ia ada cinta. Pak Nomo suaminya si Muna, memang sudah tua tetapi si Kesen masih muda serta cakap, maka tidak pun heran, si Muna mau jalan serong pada seorang muda itu, melainkan ia tidak mau bilang yang memang ia suka pada si Kesen. Tetapi si Kesen dapat mengerti bagaimana pikirannya perempuan muda itu, maka ia berkata lagi :
"Empok Muna mesti ingat, perahu jalan diatas air, dimana ada bekasnya. Dan lagi empok mesti ingat, Empok Muna ada begini muda, tentu Empok kurang senang dapat laki-laki begitu tua. Sekarang Empok dengar perkataan saya, jikalau suatu tempo diwaktu malam, di pekarangan bapak pencalang kedengaran suara burung kutilang, itu tandanya saya datang, akan temenin pada empok Muna. Ingat betul hal itu, Empok Muna!"
Dengan tidak menyahut satu perkataan si Muna berjalan terus, tetapi saben-saben ia balik muka serta memandang pada si Kesen sambil tersenyum. Tiga hari kemudian kira-kira jam sembilan malam, tatkala Pak Nomo berjalan ronda dan hampir semua orang kampung Rawabokor sudah tidur, tiba-tiba si Muna dapat dengar suara burung kutilang. Hati perempuan muda ini memukul keras, karena ia ingat, apa yang si Kesen sudah janji padanya. Separo takut, separo girang si Muna buka pintu rumahnya dan tidak lama kemudian si Kesen sudah meniru suara burung kutilang, lantas masuk ke dalam rumahnya si Muna.
Seketika itu dua orang muaskan hatinya dengan senang, tidak satupun orang yang mengganggunya. Berapa bulan lamanya si Kesen bisa menyampaikan cinta birahinya pada si Muna dan tiada satu orang dapat tahu rahasianya dua orang muda itu.
Pada suatu malam si Kesen datang ketemu jantung hatinya itu, bagaimana biasanya, sedang Pak Nomo ronda. Si Muna tidak pasang lampu didalam rumahnya dan cuma pakaian sarung, yang dilihat di dadanya bagaimana biasanya orang perempuan kampung yang mau tidur. Sedang dua orang ini bercinta-cintaan turut hawa nafsunya yang keras, tiba-tiba si Muna bilang ia mau pergi ke belakang akan buang air, si Kesen nunggu dipintu, sebab ia khawatir tetangga-tetangganya nanti dapat tahu rahasianya dan nanti dikasih tahu pada pencalang Nomo.
Meski begitu, diam-diam si Kesen ikut Muna dari belakang. Setelah perempuan muda itu jongkok di pekiwan, dengan mendadak si Kesen peluk padanya dari belakang. Dengan terkejut si Muna bangun berdiri kemudian berteriak sangat keras, karena kainnya tersangkut dipaku dan terlepas dari badannya. Tempo itu ada beberapa ekor bebek dipekarangan tetangganya Pak Nomo, yang jadi kaget dan bersuara sangat ribut, sehingga si Muna takut tetangganya dapat tahu rahasianya yang tidak baik, maka ia berteriak: "Maling! ada maling!"
Tidak berapa lama kemudian orang-orang kampung Rawabokor keluar semua dan terus jalan menuju di rumahnya si Muna, tetapi si Kesen sudah melarikan dirinya. Orang-orang ronda yang datang menolong, dapat lihat si Muna berdiri di pekiwan, tidak pakai kain atau baju dan kainnya ada di tanah.
Dari gugupnya sebab mau tolong dirinya, si Muna mengaku, sedang ia reba dibale, dengan mendadak si Kesen berdiri dihadapannya, akan minta uang. Si Muna menyahut ia tidak ada uang, maka si Kesen pegang kain serta rambutnya. Si Muna tidak berani melawan ia cuma ikut si Kesen berjalan keluar sambil berteriak minta tolong. Nyata si Kesen menjadi takut, maka ia lari dan tinggalkan kainnya si Muna dipinggir pagar.
Sedang begitu, pencalang Nomo dengan orang ronda periksa rumahnya, akan cari keterangan, bagaimana si Kesen sudah masuk di rumah itu, tentang ia tidak dapat lihat atau pagar yang rusak, padahal si Muna tetap bilang, ia kunci rapi pintu rumahnya. Setelah orang ronda periksa pekarangan belakang, si Muna bikin rusak pintu depan, sehingga tatkala orang-orang balik ke depan, ia lihat pintu ini sudah rusak dan dikira si Kesen sudah bikin rusak pintu ini. Pencalang Nomo dapat cemberutan dari perkara ini dan ia mengira juga, istrinya sudah main gila sama si Kesen, tetapi pencalang itu ada cerdik, ia takut jikalau ia bilang bininya sudah taruh cinta pada si Kesen, tentu ia dapat malu dan jadi si Kesen belum dihukum.
Maka ia kasih tahu pada mandor, si Kesen sudah masuk dirumahnya dengan bongkar pintu serta minta uang dengan paksa pada si Muna, betul bagaimana ceriteranya ini orang penyamun. Dengan segera, mandor pergi tangkap si Kesen, yang lantas dibawa ke rumah demang, akan diperiksa lebih jauh perkaranya. Tiada saja si Muna sudah mengaku, ia kenalin betul si Kesen yang sudah masuk dirumahnya akan mencuri, pun orang ronda yang sebenarnya tidak melihat si Kesen, kemudian ia bilang ia lihat betul si Kesen sudah lari keluar dari pekarangan pak Nomo. Tatkala itu perkara periksa di Landraad, si Kesen mungkir keras dari halnya yang ia didakwa, juga ia tidak mengaku, ia sudah berbuat hal yang dilarang dengan si Muna.
Meski begitu si Kesen sudah dihukum satu tahun kerja paksa diluar rante, sebab sekalian saksi sudah bikin berat kesalahannya. Si Kesen dengar putusan ini dengan sabar, tetapi sebelum menjalankan hukumannya, ia lari dari rumah bui. Ia tidak pulang ke kampung Rawabokor, dimana ia ada musuh dan lagi ia tidak ada sanak saudara di kampung itu. Tatkala si Kesen masih duduk di penjara, ibunya meninggal dunia dan ketika orang tua ini masih hidup, ia sudah menjual rumah pekarangan serta sawahnya, akan tolong anaknya yang ada di penjara, tetapi meski Ma Kesen sudah keluarkan banyak uang, akan ongkos carikan saksi, yang meski bikin enteng dalam perkaranya si Kesen dan lain-lain, tidak luput si Kesen sudah dihukum.
Sesudah si Kesen lari beberapa bulan, ia berkawan dengan beberapa penyamun, yang mengangkat si Kesen menjadi kepalanya. Tidak lama ini kepala penyamun menjadi termashur, karena ia gagah berani serta ia tidak bisa ditangkap, meski ia sering merampok didaerah sekitar wilayah Tangerang. Orang-orang di daerah Tangerang yang percaya pada takhyul sudah cerita si Kesen ada mempunyai jimat yang mustajab dan dipakai dipinggangnya, sehingga penyamun itu tidak bisa luka dan ia bisa cipta dirinya menjadi lain makhluk.
Semakin lama namanya si Kesen semakin tersohor, dan satu tempo ia ingat, mau balas sakit hati pada pencalang Pak Nomo. Pada waktu malam minggu si Kesen berkumpul dengan 9 orang kawannya kumpul dirumahnya penghulu di kampung Rawabidang, yang sudah ada satu kali kumpul dengan segala penyamun. Sesudah si Kesen kasih tahu kepada kawan-kawannya bagaimana ia mesti masuk ke dalam rumahnya Pak Nomor, yang dikasih tahu juga dimana duduknya, kepala penyamun ini pesen lagi pada kawannya, akan jangan ganggu kepada si Muna dam ia si Kesen nanti urus hal Pak Nomo.
Si Kesen dan dua penyamun lagi membawa 2 pistol, lain-lain kawannya cuma pakai senjata golok. Penghulu Rawabidang tiada turut pergi dengan penyamun ini tetapi ia mesti dapat bagian dari barang yang nanti rampas. Dengan membawa obor, 10 orang jahat ini, berjalan menuju kampung Rawabokor. Kurang lebih pukul 24.00 10 orang penyamun itu masuk di pekarangan rumahnya Pak Nomo dimana keadaannya sangat sepi sekali. Si Kesen ketok dinding kamar tidur Pak Nomo sebelah luar serta manggil begini: "Pak Nomo, ayo bangun buka pintu, kasih saya masuk!"
Pada waktu itu si Kesen dapat dengar dari dalam rumah pak Nomo suara orang bicara pelahan, kemudian api lampu di dalam dipadamkan, tetapi tidak ada satu orang yang berani buka pintu, barangkali Pak Nomo kenal suaranya si Kesen, maka pencalang Nomo ini tidak berani keluar dari dalam rumahnya. Si Kesen perintah kawannya pasang obor, akan membikin terang dirumahnya itu, kemudian ia pasang pistolnya dan bikin rusak pintu rumah ini dengan kampak. Kepala penyamun itu masuk ke dalam rumah, dimana ia melihat pencalang Nomo berdiri dengan gemetar dan si Muna kemurub di bale, sambil tutup mukanya dengan kedua tangan.
Si Kesen pukul pada Pak Nomo, sehingga jatuh ditanah dan lantas diikat, tetapi si Muna tidak diganggu. Sembilan penyamun itu buka semua peti dan lemari serta curi segala barang berharga, sementara si Kese duduk dengan tenang dahar sirih di meja pada tempat yang terang. Setelah penyamun ini sudah pergi jauh dari rumahnya pencalang Nomo, baru ramai kedengaran orang pukul lumpang tandanya ada rampok, sehingga orang-orang kampung serta polisi datang ke rumah itu.
Di dalam rumah Pak Nomo mengaku, ia kenalin si Kesen sudah rampok dirumahnya, si Muna mungkin keras dan bilang ia tidak melihat si Kesen, meski suaminya dan polisi paksa ia mengaku perkara itu. Padahal si Muna dengar suaranya kepala penyamun itu, dan lagi diam-diam sudah melirik pada bekas gelasnya. Sudah tentu sekalian penyamun itu sudah melenyapkan dirinya, tetapi sekarang demang ada marah kasar pada si Kesen dan perintah mandor oppasnya yang bernama : Ardawis dengan 5 oppas lainnya, semuanya dikasih senapan, akan tangkap si Kesen serta kawan-kawannya sekalian.
Mandor Oppas Ardawis pun gagah berani serta cerdik, maka ia boleh bawa pada si Kesen yang kesohor tanggu. Sedang orang lelaki sangat takut kepada si Kesen orang perempuan banyak yang cinta kepada kepala penyamun itu, maka dalam beberapa waktu lamanya Ardawis tidak bisa tangkap si Kesen, yang senantiasa pindah tempat sembunyi, dan apabila ia mau ditangkap, lebih dulu ia sudah mendengar kabar dari orang perempuan sehingga ia bisa menyingkirkan ke tempat lain.
Meski begitu, si Kesen tidak senang sama sekali, karena ia mesti dikejar-kejar kesana kemari. Pada suatu hari ia dapat kabar yang mau tangkap padanya, ia menumpang dirumahnya pak Nomo, yang pada waktu itu ia mendapat pangkat mandoor. Si Kesen mengumpulkan sekalian kawan-kawannya lalu diajak pergi kerumah mandoor Nomo, dimana kepala penyamun itu berteriak begini: "Dimanakah adanya oppas Ardawis, yang mau tangkap aku?" Sekarang aku datang disini untuk bertemu dengan Ardawis".
Enam oppas yang mau tangkap padanya, melihat orang jahat itu, maka ia orang tutup pintu rumah, dalam tempo itu untuk mengisi senapannya. Tetapi dengan cepat si Kesen ambil golok dan merusak pintu kemudian ia pasang Revolvernya 4 kali. Tetapi dalam hal ini tidak mengenai sasarannya pada enam oppas itu. Ardawis itu juga sudah siap pasang senapannya, yang mana ditujukan pada si Kesen kepala penyamun itu. Tetapi sekarang ada seorang kawannya kepala penyamun itu dan segera pegang mulutnya senapan itu, yang terus dipasang sehingga bangsat itu yang mau tolong si Kesen sudah di tembak dadanya.
Si Kesen dengan lain-lain kawannya tidak melawan lagi dan melarikan dirinya, dikejar oleh enam oppas itu sambil menembak dan mengenai sasarannya pada si penyamun itu. Tetapi si Kesen sendiri tidak dapat ditangkap, maka penduduk negeri Tangerang menjadi semakin takut pada kepala penyamun itu. Sehingga akhirnya dimintakan pertolongan pada satu Schout di Betawi, untuk menangkap orang jahat yang termashur itu. Schout dari Betawi itu memang terkenal gagah berani dan perkasa, ia kejar si Kesen dimana-mana tempat bangsat itu bersembunyi. Karena si Kesen merasa ia tidak bisa disingkirkan dirinya selama-lamanya, maka pada suatu hari ia menyerahkan dirinya kepada polisi lalu ia dikirim kerumah bui di Tangerang, untuk menunggu perkaranya diperiksa itu.
Pada suatu hari yaitu hari senin pagi, cipier bui bangun anak-anak negeri Tangerang dan justru hari itu adalah hari naas karena pada waktu malam hari cipier bermimpi, semua penjaga bui itu dilempar-lempar dengan batu, kemudian cipier itu mendusin dan dengan cepat ia bangun dan setelah melihat matahari sudah tinggi. Oleh sebab itu, maka hatinya cipier rasanya tidak enak sekali, sehingga ia duduk bengong sambil berpikir apakah ia bakal mendapat bahaya. Apakah tuan Asistent Resident itu nanti datang untuk memeriksa orang-orang tawanan yang betul dan jeleknya? Apa barangkali orang-orang hukuman mau pada lari, atau ada lain hal yang kurang baik? Hari itu mesti ada bahaya, dan tentu bahaya apa yang akan terjadi nanti.
Toh pagi itu tidak ada kecidrahan sesuatu apa. Beberapa orang hukuman pikul air dan beberapa orang pula menyapu batu serta digosok pakai air (mengepel). Dari segala kamar yang pintunya terbuka, dan segala tahang tempat membikin bersih halaman penjara, sambil berjalan mondar-mandir kesana-sini dengan bicara atau menyanyi dan lain sebagainya. Ada juga yang berdiri dibawah pohon diperalatan bui yang berada di depan pintu, yang mana pintu itu tidak ada yang jaga sama sekali. Semua orang tahanan yang membikin bersih batu rumah bui, dan sudah melakukan pekerjaan ini sambil tertawa dan menyanyi dan bersuit, dengan diiring suara sesapu, yang dipakai sapu air dibatu dan suara rantai besi, yang dipakai untuk tarik timba air dari dalam sumur. Dengan mendadak kamar nomor 9 kedengaran orang berteriak, kemudian kedengaran serupa barang jatuh dibatu.
Semua orang yang dalam rumah bui ini sudah memandang dengan kaget ke pintu no 9 yang mana sudah terbuka. Tetapi tidak ada orang yang berani masuk kedalam kamar itu. Dimana si Kesen suatu kepala penyamun yang termashur dan yang dalam waktu 2 tahun sudah bikin banyak susah pada penduduk negeri Tangerang serta polisi Tangerang dan Schout dari Betawi. Pun cipier bui yang masih duduk dikamarnya, sudah dengar suara orang berteriak itu. Dengan sangat terkejut cipier bui ini bangun berdiri dari duduknya serta berpikir, tentu sekali ini ia dapat celaka. Maka hatinya berdebar-debar lalu cipier itu berjalan keluar dan ketemu dengan si Kesen, yang pakai baju putih dan celana hitam, sambil tersenyum serta pegang seekor ayam ia jalan dengan senang seperti juga ia tidak ada perkara sesuatu apa.
"Cipier", kata si Kesen, "si Ali sudah dapat celaka dikamar saya". Tadi sewaktu saya tidur, si Ali masuk ke kamarku dan mau curi saya punya sesosok nasi. Dengan kaget saya mendusin dan pegang sosokan nasi ini, yang mana si Ali terus menariknya. "Dalam hal ini sebenarnya saya tidak mau membikin rusuh, maka saya lepas barang itu, tetapi si Ali yang tarik sosokan nasi itu dengan keras, sampai ia jatuh di batu, barangkali sekarang ia mati". Cipier itu menyahut, tetapi ia tersua masuk ke kamar si Kesen, dimana ia menampak si Ali dan terus jatuh di batu, disebelahnya ada sosokan nasi. Setelah cipier panggil beberapa kali dan si Ali tidak menyahut, cipier itu angkat kepalanya orang ini maka dapat ketahuan bahwa si Ali sudah tidak bernyawa lagi, dan hidungnya ada sedikit darah, tetapi tidak ada luka lain.
Cipier itu lekas panggil tuan dokter dan tuan asisten Resident, cipier ini perintah kepada si Kemit. Sedang si Kemit ini pergi melakukan perintahnya cipier, semua orang pada tutupan melihat mayat si Ali itu. Dengan tidak bicara sesuatu apa ia berjalan kepelataran bui, sambil omong berbisik pada kawan-kawannya. Melainkan seorang hukuman bangsa Cina yang bernama Hok Tjoen berdiri dekat si Kesen serta memandang jago ini dari kepala sampai dikakinya. Si Kesen hampirkan pada Hok Tjoen serta berkata: "Siapa berani buka rahasiaku, ia nanti dapat begini, seperti si Ali". Orang Cina itu menjadi kaget, maka ia hampirkan lain-lain orang hukuman dengan tidak omong satu perkataan. Tuan Asisten Resident datang dipenjata bersama tuan dokter dan cipier kasih tahu halnya si Ali, yang sudah mati dikamarnya si Kesen.
Semua orang sudah ditanya, siapa yang bisa kasih keterangan. Apa sebab si Ali bisa mati di dalam kamarnya si Kesen. Tetapi tidak seorangpun yang mau kasih keterangan itu, maka tuan Asisten Resident perintah tetap si Kesen dikamar gelap. Dokter yang periksa mayat si Ali, tidak bisa kasih keterangan betul, apa orang ini sudah mati lantaran jatuh apa lantaran ia dilempar dibatu oleh orang lain, sehingga lenyap nyawanya. Setelah si Kesen di Landraat Sambang di Tangerang, si Muna tidak mau mengaku, yang penyamun itu sudah datang merampok di rumah pak Nomo.
Dalam hal ia melawan dan mau bunuh oppas polisi, yang mau tangkap padanya, ada saksi dan keterangan yang cukup. Begitupun dalam perkara membunuh si Ali di dalam rumah bui, karena didepan hakim saksi Hok Tjoen dan Saibin mengaku, sudah lihat si Kesen pukul si Ali sehingga mati. Hakim Raad Sambang sudah hukum si Kesen selama 20 tahun kerja paksa didalam rantai. Begitulah ceriteranya kepala penyamun di Tangerang. Jikalau sekali lagi bisa lari dari tempat hukumannya, tentu ia menjadi lebih tersohor serta lebih ditakuti. Tidak beda seperti si Gantang yang sudah lama tidak bisa ditangkap.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
loading...
0 Response to "Cerita Si Kesen "Satu Kepala Penyamun di Tangerang""
Post a Comment