Alkisah Rakyat ~ Dahulu kala ada seorang janda yang sudah tua lagi pula sangat miskin. Dia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ceceng. Janda tua tersebut tinggal di sebuah gubug yang sudah tua dan reot yang didirikan di atas tanah yang disewanya dari seorang Tuan tanah yang terkenal kikirnya. Setiap hari sebelum subuh mereka yaitu emak Ceceng dan si Ceceng sudah berangkat ke hutan mencari kayu bakar. Setelah kayu bakar tersebut terkumpul, sebagian besar dijual ke pasar sedangkan sebagian kecil ditinggal di rumah untuk persediaan sendiri. Emak si Ceceng pulang dahulu ke rumah sedangkan si Ceceng ke pasar untuk menjual kayu bakar tersebut. Hasil penjualan kayu itu dibelikan beras dan lauk pauk sedangkan sisanya ditabung yang nantinya dibayarkan kepada tuan tanah sebagai sewa tanah.
Hari itu udara sangat dingin, sebab semalaman hujan turun terus menerus. Si Ceceng berangkat ke hutan seperti biasanya untuk mencari kayu. Sedangkan emaknya karena baru tidak enak badan, dia tinggal di rumah. Karena semalaman hujan, maka kayunya basah, dengan sendirinya kurang laku untuk dijual. Uang hasil penjualan sangat sedikit. Setelah membeli beras lalu dia pulang. Sesampai di rumah dilihatnya ibunya tidur dan kelihatan pucat, hatinya sangat cemas. Didekatinya emaknya. Kiranya emaknya sakit betul-betul. Lalu dipanggilnya dukun untuk mengobatinya. Uang tabungan yang sedikit itu dibelikan obat dan sebagian untuk ongkos dukun tersebut. Esoknya dia bingung, sebab kalau tidak ke hutan untuk mencari kayu bakar dia tidak bisa makan, tetapi kalau pergi dia kasihan melihat ibunya yang masih sakit. Akhirnya dipaksanya hatinya untuk meninggalkan ibunya sebentar perlu ke hutan untuk mencari kayu. Setelah terjual kayunya di pasar, si Ceceng buru-buru pulang, dia amat terperanjat karena melihat amaknya menangis.
"Mak, mengapa mak menangis?" tanyanya.
"Tidak apa-apa nak, emak hanya merasa kasihan melihat kau membanting tulang sendirian saja. Emak tidak dapat membantumu nak," katanya.
"Janganlah Emak memikirkan Ceceng, Ceceng masih kuat. Tenangkanlah saja hati emap supaya lekas sembuh."
Emak si Ceceng tak sampai hati untuk memikirkan hal yang sebenarnya. Beberapa jam sebelum Ceceng pulang, tuan tanah datang untuk menagih uang sewa. Dijawab belum ada, uangnya baru untuk beli obat, untuk mengobati sakitnya. Diberi tahu seperti itu tuan tanah tidak mau mengerti, tetapi malahan marah-marah.
Hal itulah yang menjadikan emak si Ceceng menangis. Emak si Ceceng makin hari sakitnya makin keras. Badannya kelihatan sangat kurus. Si Ceceng merawatnya tiap-tiap hari dengan hati yang lapang. Namun demikian, sakitnya tidak berkurang, malahan makin bertambah. Kiranya Tuhan telah menentukan bahwa umatnya akan diambil kembali. Emak si Mamad sudah tidak bisa ditolong lagi, dia meninggal dunia. Tinggallah sekarang Si Ceceng seorang diri, menjadi anak yatim piatu.
Belum hilang sedih hatinya memikirkan kepergian emaknya, datanglah tuan tanah untuk menagih uang sewa sesuai dengan perjanjian dengan emaknya dulu. Dengan terus terang dijawabnya bahwa dia tidak bisa membayar. Bukan main marahnya tuan tanah mendengarnya. Maka si Ceceng disuruh mengerjakan sawahnya, sebagai ganti pembayaran sewa tanah. Permintaan tuan tanah disanggupinya. Memang tak ada jalan lain kecuali itu.
Hari itu udara kelihatan mendung. Namun dengan hati yang tabah dan gembira si Ceceng seperti biasanya pergi ke sawah. Sampai di sawah ia mulai mencangkul dengan rajinnya. Tidak berapa lama hujan mulai turun. Mulanya kecil-kecil saja, tapi makin lama makin deras. Ceceng tetap saja mencangkul. Tiba-tiba datang halilintar, geledeg mulai terdengar begitu kerasnya. Ceceng masih belum beranjak dari situ. Entah karena apa, seperti ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk tetap mencangkul dalam keadaan hujan yang sederas itu.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesuatu yang tak begitu jauh dari tempat dia mencangkul. Dia melangkah maju untuk mengamat-amatinya. Ternyata seekor binatang. Seekor keong. Ya seekor keong. Tidak seperti keong biasa, keong yang didapatnya itu adalah keong yang bercahaya. Kelihatan bercahaya seperti emas. Keong itu lalu diambilnya dan terus dibawa pulang. Sampai dirumah keong tersebut ditempatkan di dalam tempayan lalu ditutupnya. Dia kembali lagi ke sawah, meneruskan pekerjaannya. Baru sore harinya dia pulang. Sampai di rumah, heranlah ia melihat keadaan lain di dalam rumahnya. Halaman rumah, lantai rumah sudah disapu bersih. Di atas meja sudah tersedia makanan dan minuman yang enak-enak. Ditelitinya seisi rumah dengan diam-diam, kalau-kalau orang yang telah mengerjakan segalanya di rumahnya masih ada disitu. Tapi tak didapatinya. Bekas-bekas untuk masak pun tak tampak. Lalu dia menuju meja tempat disediakan makanan tadi. Mula-mula dia ragu-ragu mau memakannya. Tetapi berhubung lapar sekali, maka dilahapnya semuanya sampai habis.
Esok harinya dia berankat bekerja lagi. Sore hari baru dia pulang. Anehnya setiap dia pulang, seperti hari-hari sebelumnya pasti serba sudah rapi dan makanan sudah siap di meja. Tak habis-habisnya dia berpikir, siapakah gerangan orangnya. Maka dia bertekad untuk menyelidikinya. Pada suatu hari seperti biasanya dia membawa cangkul dan peralatan lainnya yang diperlukan di sawah, keluar rumah. Tetapi hari itu dia tidak berangkat ke sawah tetapi bersembunyi di balik rumah. Dari situ dia dengan hati penuh harap ingin tahu mengintip ke dalam rumah lewat lobang dinding. Di dalam rumah kelihatan sepi-sepi saja. Agak lama dia menunggu. Tiba-tiba dilihatnya sesuatu yang bergerak-gerak di dalam tempayan tempat keong diletakkan. Tutup tempayan itu bergerak tidak lama kemudian terbuka dan muncullah dari dalam tempayan itu seorang wanita yang sangat cantik parasnya. Segala gerak-gerik wanita tersebut selalu diikuti oleh si Ceceng. Mula-mula dia menyapu rumah dan membersihkan bangku dan balai-balai. Setelah rapi baru dia menuju ke dapur untuk memasak. Tidak tahu dari mana asalnya bahan-bahan masakan itu datangnya, setahu Ceceng semuanya sudah tersedia dan wanita itu mulai memasaknya.
Melihat itu semuanya Ceceng lalu masuk ke rumah. Begitu melihat orang masuk wanita yang sebetulnya penjelmaan bidadari itu melompat masuk ke dalam tempayan. Tetapi sudah didahului oleh si Ceceng dan terus saja tempayan itu dipecahnya. Menangislah wanita itu dan dengan masih tersedu-sedu dia menceritakan riwayat hidupnya kepada Ceceng. Dia adalah seorang bidadari yang kena kutuk oleh dewa dan dijadikannya seekor keong.
Cerita punya cerita akhirnya putri keong tadi menjadi istri si Ceceng. Mereka hidup rukun saling sayang menyayangi dan saling mencintai. Setahun kemudian dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat elok. Diberi nama Sri Nawangsih.
Pada suatu hari sewaktu ibu si Nawangsih membersihkan rumah, dibalai-balai tempat emak si Ceceng dulu tidur, di bawah tikar didapati seperangkat pakaian. Setelah diamat-amati ternyata pakaian tersebut adalah pakaian sendiri, yaitu pakaian bidadari. Mungkin sudah takdirnya bahwa sudah sampai masanya untuk kembali ke kayangan. Maka dipakainya pakaian itu dan dengan rasa berat ditinggalkannya anak dan suaminya. Dia terus terbang ke kayangan tempat bidadari-bidadari tinggal.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
loading...
0 Response to "Cerita Putri Keong"
Post a Comment