Alkisah Rakyat ~ Alkisah, di hutan rimba dekat kota Fakfak, dahulu tinggal seorang perempuan setengah baya. Semasa mudanya dulu ia merupakan seorang wanita yang cantik jelita. Namun sayang sekali, karena orang tuanya sangat bengis, maka wanita muda itu selalu dijauhi kawan-kawannya. Terutama para pemuda, tak seorang pun yang berani mendekatinya. Perempuan itu kemudian mengasingkan diri dari keramaian kampungnya, bersembunyi di dalam hutan. Setelah bertahun-tahun tinggal di dalam hutan, rupanya jalan ke kampungnya ia sudah lupa. Apalagi setelah orang tuanya tiada, tak seorang pun yang mengetahui gadis itu. Akhirnya ia menjadi penghuni hutan itu seorang diri. Gadis yang malang itu bernama Kania.
Bertahun-tahun lamanya Kania hidup di daerah Pegunungan Bumberi di Jazirah Onin. Tak seorang manusia pun yang mengetahui tempat tinggalnya. Sehari-hari ia hanya ditemani seekor anjing betina yang dahulu dibawanya dari rumahnya. Kedua makhluk itu saling kasih-mengasihi. Hidup mereka hanya tergantung dari alam sekitarnya. Makanannya diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan binatang yang hidup di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pada suatu hari, sebagaimana biasanya, kedua makhluk itu berjalan-jalan beriringan di dalam hutan. Mereka begitu merasa bebas dan bahagia, berlari-lari berkejar-kejaran dengan suka rianya. Tanpa disadari, keduanya telah berjalan jauh dari tempat tinggalnya. Hari terasa sangat panas karena matahari hampir mencapai puncak cakrawala. Kedua makhluk itu mulai merasa lelah. Haus dan lapar pun mulai terasa makin mendesak. Tetapi ketika diperhatikan di sekelilingnya, tak sebatang pohon pun yang ada di situ yang berbuah. Juga tak seekor binatang pun yang beterbangan atau melata di sekitar itu.
Namun Kania berusaha terus mencari sesuatu untuk mengisi perutnya dan perut sahabatnya. Sementara itu matahari mulai condong ke arah barat. Tetapi tak suatu apa pun yang ditemukannya. Akhirnya keduanya duduk terkulai lemah. Sang anjing betina, karena sangat lemahnya, lemas hampir kehabisan tenaga. Tiba-tiba terlihat oleh Kania, bahwa di sekitar tempat mereka duduk ternyata banyak ditumbuhi pandan hutan yang berduri. Kebetulan pandan-pandan itu sedang berbuah sarat. Serta merta Kania berusaha mendekati pohon pandan itu untuk memunguti buah-buah yang jatuh. Setelah mendapat beberapa buah, lalu diberikan kepada sahabatnya, sang anjing. Dengan lahapnya sang anjing mengunyah buah segar itu hingga tak bersisa. Kini ganti Kania yang menjadi lemas. Perempuan itu jatuh tak sadarkan diri. Ketika siuman, ternyata ia telah berada di pondoknya kembali. Rupanya Kania telah diseret oleh sahabatnya, sang anjing yang cerdik itu. Di dekatnya terlihat beberapa buah-buahan yang ranum dan harum. Hal itu pun, mungkin dilakukan oleh sahabatnya yang baik itu. Kemudian dengan perlahan-lahan ia bangun lalu meraih sebuah untuk dimakannya. Beberapa saat kemudian Kania pun merasa segar dan tenaganya pulih kembali.
Pada suatu hari, ketika kedua sahabat itu bangun pagi hari, terjadilah suatu keanehan. Sahabat Kania sang anjing diserang penyakit. Anjing itu merasa mual dan selalu melolong, makin terserang sakit perut. Anehnya lagi, makin lama perutnya makin membesar dan sang anjing selalu terkantuk-kantuk. Kania merasa heran bercampur sedih melihat sahabatnya yang malang itu. Dari hari ke hari perut sang anjing terus membesar, dan kelihatannya semakin gelisah. Keadaan seperti itu berlangsung berhari-hari. Namun keduanya tak dapat berbuat apa-apa. Suatu hari Kania memberanikan diri meneliti keadaan sahabatnya. Ternyata sang anjing mengandung. Setelah beberapa hari kemudian, lahirlah seekor anak anjing yang manis dan sehat. Kania begitu bersuka cita karena kini ia mempunyai satu teman lagi. Anak anjing itu sangat gesit dan tangkas. Kedua sahabat itu sama-sama menyayanginya.
Setelah anak anjing itu dianggap dapat melakukan perjalanan jauh, ia pun diajak. Kania bersama sang anjing dan anaknya mulai berjalan-jalan lagi ke tempat yang jauh. Tanpa disadarinya, mereka telah tiba lagi ke dekat hutan pandan berduri yang sedang berbuah lebat. Serta merta Kania memungut buah itu sebanyak-banyakya untuk dibawa pulang. Setelah dianggap cukup banyak untuk persediaan beberapa hari, maka kembalilah mereka ke pondoknya. Kini, untuk beberapa hari lamanya, mereka dapat beristirahat. Buah pandan sudah tersedia untuk makanan mereka. Didekat pondok mereka mengalir kali kecil yang dapat diminum airnya. Mereka sangat bergembira. Terutama Kania, ia merasa sangat bahagia. Ia selalu bermain dengan anak anjing yang manis itu.
Lahir Tanpa Ayah
Anak anjing sahabat Kania bertambah besar, menjadi seekor anjing yang cerdas dan tangkas. Ia dapat menangkap binatang-binatang kecil di sekitar tempat tinggalnya, sebagai makanan tambahan. Selang beberapa hari, persediaan makanan mereka yang ada, yaitu buah pandan berduri, telah habis. Kania berniat besok harinya ia akan pergi mengambil buah pandan lagi, karena buah itu enak rasanya. Tapi esok harinya, ketika fajar telah menyingsing, Kania belum juga bangun. Sang anjing dan anaknya merasa gelisah. Ternyata Kania tak mampu bangun dari tempat tidurnya. Kepalanya terasa pening sekali dan badannya terasa tak bertenaga. Keadaan itu mengingatkannya pada keadaan sang anjing sahabatnya beberapa bulan yang lalu. Benarlah, sekarang keanehan itu terjadi pada dirinya sendiri. Kania perempuan setengah baya itu mengandung.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan musim pun terus bertukar. Perut Kania kian membesar. Sang anjing sahabatnya, seakan-akan mengerti apa yang dirasakan oleh Kania. Setiap saat ia selalu di sampingnya dan berusaha memenuhi apa yang dikehendaki Kania. Pada suatu pagi, ketika fajar mulai menyingsing, sang anjing menggonggong gembira menyambut kelahiran anak sahabatnya. Kania telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Kemudian bayi itu diberi nama Kweya. Kedua sahabat itu lalu sama-sama membesarkan anak-anak mereka dengan penuh kasih-sayang. Kania sadar bahwa anak-anak yang lahir tanpa ayah itu membutuhkan perlindungan. Oleh karenanya, kedua sahabat karib itu berusaha agar anak-anak mereka tumbuh dengan sehat dan cerdas. Terutama Kweya, yang telah lahir sebagai anak manusia. Dari tahun ke tahun Kweya bertambah menjadi besar. Sekarang ia telah menjadi seorang pemuda yang tampan. Ketangkasannya menggunakan panah dan tombak di perolehnya secara alamiah. Tak ada orang yang mengguruinya. Dengan kepandaian dan ketangkaan yang dimilikinya itu, ia membantu ibunya.
Pada suatu ketika, Kweya berusaha membuka hutan untuk berkebun. Namun tak ada alat yang memadai untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik. Ibunya, Kania memiliki sebuah pahat yang disimpannya sejak lama. Pahat itu diberikan kepada Kweya. Dengan alat itulah ia berusaha untuk menebang pohon. Tetapi pahat itu ternyata terlalu kecil, sehinga Kweya hanya dapat menebang sebatang pohon setiap harinya. Ibunya turut membantu dengan membakar daun-daunan dari pohon yang telah rebah agar tempat itu menjadi bersih. Hampir setiap hari pekerjaan itu mereka lakukan tanpa mengenal lelah. Kedua anak beranak itu berusaha keras agar hidup mereka bisa berubah. Lebih-lebih Kania, ia ingin agar kelak anaknya dapat hidup wajar sebagai manusia biasa yang pernah ia rasakan di kampungnya dahulu. Mempunyai rumah, memiliki kebun, dan bergaul dengan sesama manusia. Setiap hari Kweya merobohkan sebatang pohon, dan setiap hari pula ibunya membakar daun-daunan dari pohon-pohon yang tumbang itu. Pembakaran daun-daunan itu menimbulkan kepulan asap yang membubung tinggi ke langit. Hal itu terjadi setiap hari. Ibu dan anak itu sendiri tidak menyadari, bahwa kepulan asap dari perbuatan mereka telah menarik perhatian orang di tempat jauh.
Konon, ada seorang lelaki yang pekerjaannya selalu turun ke laut mencari ikan. Hampir setiap hari lelaki itu pergi ke laut. Pada suatu ketika ia sangat tercengang melihat kepulan asap yang membubung tinggi ke langit di kejauhan. Seolah-olah tiang asap itu menghubungkan hutan belantara yang hijau dengan bentangan langit yang biru. Pemandangan seperti itu sangat indah. Dia tertegun memikirkan, bagaimana dan siapakah gerangan yang membuat tiang asap di tengah hutan itu. Untuk menyaksikan pemandangan indah itu, setiap hari ia turun ke laut. Sampai pada suatu hari timbul niatnya untuk mencari tempat terjadinya asap itu. Terdorong oleh perasaan ingin tahunya itu, maka ia memutuskan untuk pergi mencari tempat itu ke tengah hutan. Kemudian ia mempersiapkan diri dengan bekal secukupnya. Ia berangkat dengan bersenjatakan sebuah tombak dan kapak. Perjalanannya cukup jauh. Berhari-hari ia berjalan melewati hutan dan lembah tanpa menghiraukan lelah. Setelah seminggu ia berjalan, barulah asal kepulan asap itu terlihat dari kejauhan. Segera ia bergegas ke tempat asal terjadiya asap itu. Ketika matahari telah berada di atas kepalanya, barulah ia melihat seonggok daun-daun dan ranting-ranting pohon yang terbakar. "Rupanya inilah yang menyebabkan kepulan asap itu," pikirnya.
Kemudian ia lebih mendekat dengan perlahan-lahan karena mendengar ada bunyi seperti orang mengerjakan kayu. Akhirnya terlihatlah dan tahulah ia, dari mana sumber bunyi itu. Di bawah teriknya panas matahari, seorang pemuda sedang berusaha menebang pohon hanya dengan menggunakan sebuah pahat. Melihat hal itu lelaki asing itu lalu mendekati. Diam-diam ia mengagumi keuletan anak muda itu. Setelah beberapa saat ia lalu memberi salam dalam bahasa daerahnya, "Weing, Weinggiha pohi!" ("Selamat siang, anak muda!"). Dengan sangat terperanjat Kweya menoleh ke arah datangnya suara itu. Ia sangat heran melihat ada orang asing di situ. Sejak lahir ia tak pernah mengenal orang lain selain ibunya, sehingga timbul perasaan yang tidak menentu. Setelah beberapa saat barulah ia membalas salam orang asing itu yang disambutnya dengan perasaan suka cita. Kemudian kedua orang laki-laki itu terlibat dalam pembicaraan akrab, "Dari mana Bapak ini sehingga bisa sampai di tempat kami?" tanya Kweya.
"Saya datang dari tempat yang jauh, karena tertarik pada tiang asap yang Anak buat," jawab laki-laki asing itu. Kemudian lelaki itu pun bertanya pula.
"Untuk apakah pohon-pohon itu ditebang, dan dengan apakah Anak menebangnya?"
"Saya inging berkebun, maka pohon-pohon itu saya tebang dengan menggunakan pahat ini. Setiap hari saya dapat menebang sebatang pohon, kemudian daun-daun dan ranting-rantingnya dibakar," Kweya menerangkan.
Mendengar keterangan Kweya itu, maka tanpa pikir panjang lelaki asig itu menyerahkan kapaknya kepada Kweya, seraya berkata, "Pergunakanlah kapak ini, maka engkau dapat menebang beberapa pohon dalam sehari." Kweya menerima kapak itu dengan ucapan terima kasih dan wajah yang berseri-seri. Setelah memperhatikan kapak pemberian orang asing itu, Kweya lalu mencobanya pada sebatang pohon yang terdekat. Karena tenaganya demikian kuat, sehingga dalam beberapa saat saja pohon itu telah roboh. Betapa gembiranya hati Kweya menyaksikan hal itu. Matahari mulai condong ke arah barat, pohon-pohon lebih banyak yang tumbang ditebang Kweya. Ibu Kweya yang berada di pondoknya heran mendengar bunyi gemuruh dan melihat pucuk-pucuk pohon yang roboh bertindih-tindihan. Ia keluar dari pondoknya, berjalan ke arah di mana Kweya berada. Sesudah dekat ia pun bertanya, "Dengan apakah engkau menebang pohon itu, sehingga begitu cepat robohnya?"
Kweya ingin merahasiakan tamu yang baru datang itu dari ibunya. Dengan jenaka ia menjawab, bahwa dengan sebelah tangannya banyak pohon yang roboh dalam waktu yang singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria asing itu percaya bahwa apa yang dikatakan Kweya adalah benar. Hari mulai menjelang petang ketika Kweya menghentikan pekerjaannya menebang pohon. Badannya terasa letih benar. Lalu ia kembali ke pondoknya untuk beristirahat. Kweya juga minta disiapkan makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak-banyaknya agar Kweya dapat makan sekenyang-kenyangnya. Melihat makanan yang telah disiapkan ibunya, Kweya bermaksud mengajak lelaki asing tadi untuk makan bersama dan agar dapat diperkenalkan kepada ibunya. Kweya lalu pergi ke tempat ia menebang pohon tadi dan mengundang lelaki asing itu ke pondoknya. Dalam perjalanan mereka menuju pondok, Kweya memotong sejumlah batang tebu lengkap dengan daun-daunnya. Sesudah itu ia minta kesediaan lelaki asing itu untuk dibungkus dengan batang-batang tebu, kemudian digotong ke pondoknya.
Setibanya di depan pondok, bungkusan tebu itu diletakkan dan Kweya terus masuk ke dalam rumah. Setelah berada di dalam rumah ia berbuat seolah-olah haus sekali, dan meminta kepada ibunya untuk mengambil sebatang tebu sebagai penawar dahaganya. Ibunya memenuhi permintaan anak yang dicintainya itu. Ketika ibunya membuka bungkusan tebu itu, ia sangat terkejut karena mendapatkan seseorang di dalam bungkusan tebu itu. Ia menjerit sangat ketakutan sambil berteriak-teriak memanggil Kweya. Dengan segera Kweya datang, lalu berusaha menenangkan ibunya. Kemudian ia menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya. "Mama, saya mohon maaaf. Sayalah yang membuat akal ini. Saya berharap Mama mau menerima Bapak ini sebagai teman hidup. Bapak ini telah berbuat baik kepada kita. Ia telah memberikan kapaknya kepada saya, dan yang sangat berguna bagi kita," penjelasan Kweya. Sang ibu merenung sejenak, memikirkan kata-kata anaknya. Akhirnya ia menerima pikiran anaknya itu. Sejak saat itu mereka bertiga tinggal bersama-sama. Kini lelaki asing itu menjadi suami Kania dan sekaligus ayah bagi Kweya.
Munculnya Burung Cenderawasih
Kini Kania dan anak serta suaminya hidup tenteram. Pekerjaan mereka sehari-hari berkebun, di samping berburu untuk memperoleh makanan tambahan. Suami Kania sangat menyayangi Kweya sebagai anaknya sendiri. Begitu pula Kweya terhadap ayah dan ibunya. Setelah beberapa lama, lahirlah beberapa orang anak ke tengah-tengah keluarga kecil itu. Kweya, sebagai anak sulung Kania, sangat menyayangi adik-adiknya. Ia seorang pemuda yang sabar, baik hati, dan bersifat mendidik kepada adik-adiknya. Dua orang adik laki-lakinya dan seorang adik perempuannya dibimbingnya dengan penuh kasih sayang. Itulah sebabnya Kweya sangat disayangi oleh kedua orang tua mereka. Diam-diam kedua saudara laki-laki Kweya menaruh perasaan iri hati dan dengki terhadapnya. Pada suatu hari ketika orang tua mereka tidak ada di rumah, kedua saudaranya bersepakat mengeroyoknya. Mereka menangkap Kweya dan mengikatnya pada tiang penyanggah rumah. Kemudian tabuhnya diiris-iris hingga darahnya bercucuran.
Kweya tidak mengerti mengapa kedua saudaranya berbuat demikian. Kweya merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa atau pun melawan. Setelah ia berhasil melepaskan ikatannya, lalu menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah. Di tempat itu ia duduk sambil memintal tali dari kulit pohon pogah-nggein (sejenis pohon melinjo). Dari saat ke saat, makin cepat ia memintal tali dan menghasilkan banyak tali dengan warna-warna yang indah. Ketika kedua orang tua mereka kembali dari kebun, ditanyakanlah di mana Kweya berada. Tak seorang pun yang berani menjawab. Kedua saudaranya takut menceritakan kejadian yang telah mereka lakukan. Tetapi adik perempuannya, yang menyaksikan peristiwa itu tanpa diketahui kedua saudaranya, menceritakan hal itu kepada orang tua mereka. Mendengar itu Kania memanggil-manggil Kweya agar keluar dari tempat persembunyiannya. Tetapi yang datang bukan Kweya, melainkan hanya suatu suara yang berbunyi, "Eak, eeak,eek. Weeaak!" Sambil menyangkut Kweya menyisipkan tali-tali pintalannya ke bawah ketiak, lalu melompat ke atas bubungan atau atap rumah. Wujudnya secara perlahan-lahan berubahlah menjadi seekor burung. Ia terus meloncat ke atas pohon yang ada di dekat rumah mereka. Melihat kejadian itu ibunya sangat sedih, lalu menangis tersedu-sedu. Ia berusaha memanggil anaknya dengan bersyair, yang artinya kira-kira sebagai berikut:
Kweya anakku malang
Mama ikut bersamamu, sayang
Masihkah ada tali pintalan
Biar mama turut terbang
Kweya yang telah berubah menjadi seekor burung ajaib itu lalu menyahut, bahwa untuk ibunya telah disiapkan seikat tali pada kaba-kaba (semacam payung tikar) di sudut rumah. Ibunya segera mencari kaba-kaba. Setelah menemukan tali-tali pintalan itu, kemudian disisipkan pada ketiaknya, lalu meloncat menyusul anaknya ke atas pohon. Ibu dan anak itu kini berubah menjadi dua ekor burung yang bertengger di atas pohon sambil berteriak dengan suara "Weing Woong, wong. Wong, Weak. Wiik-eak!" Sejak itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi. Burung cenderawasih jantan sangat indah dan panjang, disebut siangga. Sedang cenderawasih betina disebut hanggam. Adik-adik Kweya yang menyaksikan kejadian aneh itu merasa sangat menyesal dan saling menuduh. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu dapur sehingga wajah dan tubuh mereka berubah menjadi kelabu hitam. Kemudian wujud mereka pun berubah menjadi burung-burung yang tidak menarik dan terbanglah mereka menuju hutan rimba.
Ayah mereka yang menyaksikan semua peristiwa itu sangat kecewa dan sedih. Kini ia tinggal sebatang kara. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya, di daerah pantai. Kemudian ia melompat ke dalam sungai yang ada di situ agar segera sampai ke muara di tepi pantai. Tetapi malang baginya, sekali lagi terjadi peristiwa ajaib pada dirinya. Konon laki-laki itu berubah menjadi seekor ikan yang oleh penduduk di Jazirah Onin disebut “kat duudur”. Demikianlah, seluruh anggota keluarga itu telah lenyap kerena masing-masing berubah wujudnya. Burung cenderawasih bulunya indah kemilau, di antara burung-burung hitam kelabu. Sampai sekarang penduduk Irian Jaya di Jazirah Onin menganggap cenderawasih adalah penjelmaan Kweya dan ibunya, Kania. Di daerah ini pulalah terdapat burung cenderawasih yang lebih banyak, yang konon kemudian menyebar ke seluruh Pulau Irian dan sekitarnya.
Oleh G. Azayni Ohorella
loading...
0 Response to "Munculnya Burung Cenderawasih (Cerita Rakyat Fak-Fak)"
Post a Comment