Cerita Batu Hitam dari Pulau Yamdena

Cerita Batu Hitam dari Pulau Yamdena ~ Sekali peristiwa datanglah dari arah Barat pulau Yamdena tiga orang masing-masing bernama Ratulolun, Famela dan Iru. Mereka tinggal diatas sebuah gunung yang bernama LASYERI. Karena mereka berdiam di gunung maka tentu saja mereka tidak pernah melihat laut. Pada suatu ketika mereka berkeinginan untuk turun ke laut mencari ikan melalui sungai LOKLAKISI, yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka dan sungai itu mengalir dan bermuara di tepi laut. Mereka lalu pergi mengambil kulit kayu untuk dijadikan semacam perahu yang akan dipergunakan mengikuti aliran sungai itu sampai ke laut. Setelah segala sesuatu disiapkan maka berangkatlah mereka mengikuti aliran sungai itu menuju tepi pantai untuk menangkap ikan. Namun sebelum mereka berangkat mereka janjikan istri-istri mereka agar bilamana bulan akan terbit para istri tersebut harus menyusul mereka ke laut.


Demikianlah pekerjaan mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian ketika mereka lagi menyusuri sungai Loklakisi untuk melaksanakan tugas mereka sebagaimana biasa tiba-tiba terlihat oleh mereka seorang Tua yang bernama AU yang sementara bertugas memangkur sagu di sana sedang memotong rotan untuk membuat tumang sagu tempat mengisi tepung sagu. Au lalu bertanya kepada orang-orang dari Lasyeri itu. "Dari mana kalian dan mengapa kalian datang ke tempat ini?" Orang-orang Lasyeri itu segera menjawab bahwa mereka sudah lama berdiam di sekitar hulu sungai ini. Orang tua Au itulah lalu mengajak orang Lasyeri agar sebaiknya mereka turun dan berdiam di sekitar muara sungai itu supaya dapat melihat laut.`

Tawaran Au ini diterima dengan segala senang hati oleh orang-orang Lasyeri, sehingga pada keesokan harinya turunlah mereka semua dan berdiam di sekitar muara sungai itu dan tempat itu lalu diberi nama Loklakisi sesuai dengan nama sungai itu. Beberapa hari kemudian AU orang tua yang berasal dari Lumasebu itu mengajak orang-orang Lasyeri yang sudah turun menempati daerah Loklakisi, agar mereka sudi hidup bersama-sama dengan Au di kampungnya. Ajakkan Au kali ini ditolak oleh penghuni Loklakisi. Penolakan ini menimbulkan benih perpecahan antara penghuni Loklakisi dan penghuni Lumasebu. Perpecahan ini lama kelamaan menimbulkan peperangan antara penduduk kedua kampung itu, akibatnya banyak sekali orang-orang Lumasebu yang mati terbunuh dalam peperangan itu. Memang dalam peperangan itu banyak pula di antara orang-orang Loklakisi asal kampung gunung Lasyeri yang mati terbunuh dalam peperangan itu. Namun orang-orang Loklakisi memiliki semacam daun yang dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Bilamana daun itu diletakkan pada tubuh orang mati itu, maka ia akan segera hidup kembali.

Dengan demikian tentu saja penduduk Lumasebu akan berkurang sebaliknya penduduk Loklakisi bertambah kerena tentu ada yang lahir di samping yang sudah mati dihidupkan kembali dengan daun tadi. Hal ini belum diketahui oleh pihak musuh mereka. Pada suatu ketika ada seorang tua dari Loklakisi bernama Amppet lehernya dipancung putus oleh seorang Lumasebu, ia segera dihidupkan kembali oleh rekan-rekannya dengan menggunakan obat  sebu, sehinga mereka mengatakan bahwa orang-orang Loklakisi yang berasal dari gunung Lasyeri itu tidak baik, mereka semua adalah Suanggi yaitu orang-orang yang memiliki kekuatan-kekuatan magis dan mulai saat itu orang Lumasebu tak ingin lagi bergaul dengan orang-orang Loklakisi. Beberapa bulan kemudian terjadi peristiwa orang-orang Loklakisi pergi mencari ikan di satu tempat. Ketika ikan sudah mereka peroleh lalu turunlah mereka ke pantai di tepi sungai itu untuk memanggang ikan hasil perolehan mereka tadi. Mereka menyuruh tiga orang anak mereka menunggui ikan yang dipanggang di tepi sungai itu sedang sisanya masuk ke hutan untuk berburu babi.

Sepeninggal mereka masuk ke hutan maka bergolaklah air tadi lalu keluarlah dari  dalam sungai tadi seekor ikan yang sangat besar lalu naik ke tepi sungai itu seraya tiba, tiba-tiba berubah menjadi seorang perempuan tua. Perempuan tua itu mengambil semacam daun lalu disentuhkan pada ikan-ikan yang sedang dipanggang itu lalu melompatlah ikan-ikan itu ke dalam sungai semuanya yang telah hidup kembali. Ketika sungai tadi bergelora dan sebelum ikan besar yang berubah menjadi perempuan tua tadi keluar dari sungai itu, ketiga anak yang menunggui ikan yang dipangang itu sudah melarikan diri. Yang seorang bersembunyi disela-sela akar sebuah pohon besar dan yang dua lagi memanjat pohon pinang. Dari sana mereka menyaksikan peristiwa yang ajaib itu. Setelah perempuan tua itu menghidupkan kembali ikan-ikan yang sedang dipanggang itu ia lalu berjalan keliling sambil berkata di dalam hatinya; siapakah  gerangan yang mempunyai ikan-ikan  panggang yang telah dihidupkan kembali itu.

Tiba-tiba nampaklah oleh perempuan itu kedua anak yang sedang bersembunyi di atas pohon pinang tadi. Kedua anak itu lalu diajak turun oleh nenek tua itu, namun karena kedua mereka takut, maka mereka tidak mau turun. Nenek tua itu terus memaksa kedua anak itu agar mereka turun dari atas pohon pinang, dan akhirnya mereka turun dari pohon tersebut. Sementara kedua anak itu turun di mana mereka baru sampai pada pertengahan pohon itu, perempuan tua itu lalu mengambil tongkatnya dan disentuhkan pada ujung cawat (semacam celana) kedua anak tadi langsung keduanya berubah menjadi dua ekor Kusu (Kus-Kus). Kemudian nenek (perempuan tua) itu menghilang tak tahu kemana perginya. Tak lama kemudian datanglah orang-orang yang berburu babi ke hutan. Di sana tak kelihatan seorang pun dari ketiga anak yang ditugaskan untuk menunggu ikan mereka yang sementara dipanggang itu. Jangankan anak-anak itu, ikan panggang itu pun tidak kelihatan bekasnya lagi. Ketika mereka sedang sibuk mencari ikan panggang tiba-tiba terdengar suara berkata:

"Mulai dari saat ini sampai seterusnya turunan kita tidak boleh makan kusu (kus-kus) sebab kami berdua telah dijadikan kusu (kus-kus) oleh seorang perempuan tua yang keluar dari dalam sungai ini." Sementara mereka sedang terpesona mendengar suara itu, tiba-tiba keluarlah anak yang bersembunyi di balik akar pohon besar itu, lalu berlari dengan kencang menuju ayahnya sambil memeluk ayahnya itu seraya menangis tersedu-sedu. Ia lalu menceriterakan semua peristiwa yang telah menimpa kedua saudaranya. Selesai beritera itu, maka mereka pun pulanglah kembali  ke kampung mereka LOKLAKISI. Beberapa hari kemudian anak kecil tadi mengajak ayahnya pergi untuk mencoba kebenaran daun yang dipakai oleh perempuan tua yang mincul dari sungai tadi. Permintaan anak itu dikabulkan oleh ayahnya. Maka pada keesokan harinya berangkatlah anak itu bersama-sama ayahnya menuju tempat di mana dahulu ikan-ikan itu dipanggang.

Mereka pergi dengan membawa dua ekor anjing, yang satu berwarna merah dan yang satu berwarna hitam. Setibanya mereka di tempat itu, keluar ekor anjing itu dibelah oleh ayahnya, kemudian belahan anjing hitam ditempelkan pada belahan anjing merah, kemudian daun itu diambil lalu diperas pada belahan-belahan anjing tadi. Tiba-tiba kedua anjing itu hidup kembali di mana masing-masing anjing itu sebelah berwarna hitam dan sebelah berwarna merah. Sesudah itu anak kecil tadi bersama ayahnya pulang kembali ke rumah mereka di Loklakisi. Sesampai di rumah ibu sang anak tadi menjadi heran melihat kedua anjing mereka itu, lalu sang ayah pun menceriterakan hal ini kepada istrinya.

Mulai saat itu bilamana ada orang kampung yang meninggal, maka mereka segera dihidupkan kembali dengan menggunakan daun tadi, sehingga penduduk di sana bertambah banyak dan tidak pernah berkurang. Perkembangan kampung itu berjalan terus, sehingga pada suatu ketika timbullah satu perundingan antara penduduk Loklakisi dengan penduduk Waturn agar mereka dapat hidup berdampingan. Dalam perundingan itu kedua belah pihak setuju lalu berpindahlah mereka ke suatu tempat yang baru bernama "ANGAMPUIN." Ketika mereka sudah hidup di tempat yang baru itu, pada satu hari seorang perempuan bernama "REMSORI", pergi mencuci pakaian di tepi pantai. Ketika ia tiba di tempat itu dilihatnya seekor ikan besar terdampar di tepi pantai. Peristiwa ini segera diberitahukan kepada penduduk kampungnya. Mereka segera datang berbondong-bondong dengan membawa panah, parang dan sebagainya. Setibanya di tempat itu ikan hendak dibunuh, tiba-tiba ikan tersebut berkata: "Jangan bunuh saya, bawa saya ke kampung."

Orang lalu berkemas mencari tali yang kuat-kuat sekaligus dengan kayu pemikulnya agar ikan itu diikat serta dipikul ke kampung. Ketika ikan itu sudah diikat dan akan dipikul maka putuslah tali-tali pengikat itu serta patahlah kayu pemikul itu semuanya. Keadaan ini menimbulkan kemarahan yang luar biasa dari orang-orang kampung itu. Sebahagian diantara orang-orang itu lalu berteriak "Potong saja ikan itu di sini." Kemudian keluarlah suara dari ikan itu berkata: "Saya jangan dipotong, ambil tali dari semacam rumput yang melata dan pemikul dari pelepah rumbilah atau gaba-gaba."

Oang-orang itu lalu mengikuti petunjuk yang diberikan oleh ikan itu. Mereka lalu mencari tali dari semacam rumput melata lalu ikan itu diikat. Kemudian mereka mencari pemikul dari gaba gaba atau pelepah rumbia, lalu ikan itu dipikul pulang ke kampung, dan diletakkan pada satu halaman. Keesokan harinya ketika penduduk kampung itu bangun pada pagi hari ditemukan ikan itu telah berubah menjadi sebuah "batu hitam" besar dan penuh keramat. Hingga saat ini batu itu tetap ada dan tetap keramat. Menurut ceritera untuk menghilang pemikiran magis dari penduduk di sana oleh Pendeta maupun Pastor pernah berusaha untuk mengangkat batu itu melalui satu upacara agama, namun usaha ini sia-sia belaka. Dan hingga saat ini sifat keramat dari batu hitam itu masih diakui oleh penduduk setempat.

Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Maluku oleh Depdikbud
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Batu Hitam dari Pulau Yamdena Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Batu Hitam dari Pulau Yamdena Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Batu Hitam dari Pulau Yamdena"

Post a Comment

Cerita Lainnya