Kisah Kerajaan Mori Melawan Tentara Belanda

Alkisah Rakyat ~ Dahulu kala, jauh sebelum Belanda masuk ke Tanah Mori, Tanah Mori terdiri dari berpuluh-puluh suku bangsa atau suku kecil yang tidak mempunyai raja tertentu. Tiap-tiap suku itu mempunyai Mokole tersendiri dan tiap-tiap Mokole tidak mau takluk satu sama lain (Mokole ialah organisasi Pemerintahan dari satu suku yang dipimpin atau dikepalai oleh seorang Kepala suku yang bergelar "Mokolempalili").


Dari sekian banyak suku-suku di tanah Mori itu, ada beberapa suku yang dianggap besar pengaruhnya dan luas wilayahnya, yakni Suku Moleta bagian Mori atas, Suku Petasia dan Suku Lembo bagian Mori bawah, Suku Murungkuni, Suku Tovatu dan Suku Musimbatu. Oleh karena tidak ada raja yang mampu mempersatukan suku-suku atau Mokole-mokole itu, maka sering terjadi kekacauan dan selalu timbul peperangan antara satu Mokole dengan Mokole yang lain. Oleh sebab itu, beberapa Mokole yang besar di Tanah Mori itu mengadakan musyawarah untuk mencari dan menentukan seorang raja sebagai Raja Tanah Mori, agar dapat mempersatukan suku-suku di Tanah Mori itu.

Setelah ada permufakatan dari beberapa Mokole yang besar itu maka ditulislah dua orang Penghulu (Penghulu disebut dengan gelar Mokolempalili) yang bernama Tande Rumba-rumba dan Rarahake, untuk menghadap Datuk Palopo, guna menyampaikan dan membicarakan maksud-maksud tersebut di atas, serta mengadakan musyawarah bersama Datuk Palopo pada suatu saat yang dimufakati bersama oleh para Mokolempalili.

Pada suatu ketika, diadakanlah suatu pertemuan antara Mokolempalili-mokolempalili dengan Datuk Palopo. Dan sebagai hasil musyawarah, Datuk Palopo mengatakan, "Baiklah, ambillah saudara-saudara saya, Sungkawang dengan saudaranya yang bertempat tinggal di Desa Sokoiye, dekat danau Matane dan Pilewiti. Kemudian bawalah mereka ke negeri kamu di Tanah Mori.'" Ketika mereka sedang dalam perjalanan melewati siran tanah atau tanah perbatasan antara Palopo dan Tanah Mori, mereka mendengar suara burung berbunyi, "Meiki-meiko, meiko-meiki." Bunyi burung itu diartikan oleh mereka bahwa tanah Meiki (nama sebuah desa) ini baik ditempati oleh seorang Mokolemalili. Oleh sebab itu, maka saudara dari Sungkawawo di tempatkan di Tanah Meiki untuk menjadi "Karua." (Karua ialah gelar sebagai Mokolempalili). 

Sedangkan  Sungkawawo dan Pilewiti masih meneruskan perjalanan sampai di Tanah Mata Wundula; karena telah dimufakati oleh para Mokolempalili bahwa Sungkawawo dijadikan raja Mori, yang berkedududkan di Tanah Mata Wundula. Selanjutnya, Pileweti meneruskan perjalanan. Karena demikian lama menempuh perjalanan yang begitu jauh, maka Pilewiti merasa sangat lelah lalu berhenti pada suatu tempat dan berkata, "Yaku tojomo." artinya, "Saya sudah lelah". Oleh karena itu, maka tanah tempat perhentian Pilewiti dinamakan Tanah Tojo dan Pilewitilah yang menjadi raja di Tanah Tojo (Berdasarkan cerita Raja Pilewiti sebagai Raja Tanah Tojo, maka tanah pesisir Timur dari Kabupaten Poso menjadi satu kecamatan yang dinamakan Kecamatan Tojo). Semula Tanah Tojo itu menjadi termasuk wilayah Kerajaan Tanah Mori, dan sebelumnya menjadi bagian wilayah Kerajaan Luwu di bawah pemerintah Datuk Palopo.

Setelah tanah Mori mempunyai seorang raja tertentu maka diaturlah pembagian wilayah pemerintahan tiap-tiap Mokole, yang dikepalai oleh para Mokolempalili, sehingga dengan mudah pula diatur penyelesaian "Upeti atau Pajak" kepada Raja Mori dan lain-lain. Dengan demikian maka tiap Mokolempalili pada setiap membawa Upeti kepada Raja, Sungkawawo. Dari beberapa Mokolempalili, antara lain Mokolempalili dari Moleo'a membawa Upeti kepada raja, berupa satu bungkus beras putih yang dibungkus dengan pelepah pinang yang dalam bahasa mereka disebut "bungkusi" dan satu bungkus kecil atau satu botol Saguer pahit yang disebut dalam bahasa Mori "Tutubaru."

Demikianlah berlaku setiap tahunnya. Pada waktu itu kehidupan rakyat Mori aman dan tentram di bawah pemerintahan Raja induk Mori Sungkawawo. Kemudian dengan memperhatikan kehidupan rakyat yang semakin meningkat dan urusan-urusan atau kepentingan rakyat yang semakin banyak, terutama urusan keamanan, maka raja melantik seorang yang bergelar Bonto yang tugasnya sebagai Penghubung antara raja dengan para Mokolempalili di Tanah Mori. Setelah Raja Mori yang bernama Sungkawawo mangkat, maka ia digantikan putra istana Raja Sungkawawo yang bernama “MARUNDUH". Di dalam istana raja ada dua orang kepercayaan Raja yang bernama Tanki dan Tapo, sebagai pembantu Raja dalam urusan-urusan pribadi Raja dengan tiap-tiap Mokole, yang biasanya diutus ke Mokole di Tanah Mori.

Tetapi lama kelamaan, kedua orang kepercayaan Raja itu banyak melakukan perbuatan yang melanggar hukum di Desa Meleoa' sehingga banyak rakyat keberatan dengan Mokolempalili Meleoe' yang tinggal di Desa Endemburate. Maka Mokolempalili di Moleoa' memutuskan bahwa Tanki dan Tapo harus dibunuh. Putusan pembunuhan Tanki dan Tapo telah dilaksanakan. Dengan kematian dua orang tersebut, maka terjadilah perselisihan besar antara Raja dengan Mokolempalili Moleoa' selama 8 (delapan) tahun sampai menjelang datangnya Belanda di Tanah Mori. Dalam masa perselisihan besar antara Raja Mori Marunduh dengan Mokolempalili itu, maka pernah terjadi peristiwa perebutan kekuasaan Raja Marunduh oleh salah satu Mokolempalili yang dipimpin oleh seorang wanita cantik yang bernama “Moleaono” bersama dengan beberapa orang Mokolempalili pengikut. Moleono adalah satu Mokolempalili yang cukup berwibawa dalam lingkungan beberapa Mokolempalili lainnya di Tanah Mori. Moleono yang didukung oleh beberapa Mokolempalili sebagai pengikutnya senantiasa berusaha menjatuhkan Marunduh sebagai Raja Mori.

Pada suatu saat, Moleono bersama pengikut-pengikutnya menggunakan kesempatan dengan cara membujuk beberapa Mokolempalili serta rakyat Petasia, supaya jangan lagi tunduk kepada Raja Marunduh, melainkan harus tunduk dan mengikuti Moleono yang bertekad menjadi Raja Mori. Beberapa Mokolempalili telah menyetujui keinginan Moleono dan mengikuti keinginan Moleono untuk menggantikan Marunduh sebagai raja Mori. Pada suatu saat, Moleono mulai mengatur siasat dengan memerintahkan kepada beberapa Mokolempalili, agar lesung-lesung tempat menumbuk padi kepunyaan Raja Marunduh diisi dengan kotoran kerbau. Beberapa Mokolempalili dengan segera melaksanakan perintah Moleono, sehingga hampir semua lesung kepunyaan Raja Marunduh berisi kotoran kerbau. Tetapi pada saat itu Raja Marunduh belum berbuat apa-apa, selain mengatur siasat bersama beberapa Mokolempalili penduduknya. Terlebih dahulu Raja Marunduh berusaha memperkuat benteng pada istananya dengan bantuan beberapa Mokolempalili yang tetap setia. Maksud Raja Marunduh untuk memperkuat benteng istananya itu, adalah untuk memperkuat pertahanannya untuk menghadapi perlawanan akan dilakukan oleh Moleono dengan pengikut-pengikutnya.

Di samping melancarkan propaganda, Moleono adalah wanita cantik yang memiliki banyak ilmu gaib yang membuat ia berwibawa di kalagan rakyat dalam lingkungan beberapa Mokolempalili. Kegiatan propaganda dan siasat-siasat serta usaha-usaha dari pihak Moleono, sebagian dapat dikatakan berhasil antara lain dengan banyaknya rakyat dalam lingkungan beberapa Mokolempalili telah membawa upeti kepada Moleono. Rupanya semakin  bertambah banyak rakyat yang takluk kepada Moleono. Dengan menggunakan kekuatan ilmu gaib serta dengan kecakapan dan kelihaiannya. Moelono dapat membingungkan orang lain dengan cara menipu pandangan mereka, sehingga dengan mudah orang-orang menjadi teperdaya dan merasa takut kepada Moleono.

Sekali peristiwa, Moleono menunjukkan kelihaiannya, yakni memasukan beberapa ekor kucing ke dalam sebuah keranjang besar, lalu digantungnya beberapa keranjang yang berisi beberapa ekor kucing itu diatas loteng rumah. Selain itu, ditangkapnya kunang-kunang banyak-banyak, lalu ditampungnya pada suatu kelambu yang sangat tipis, agar orang-orang yang melihat diwaktu malam bisa terheran. Dengan bunyi kucing-kucing dalam keranjang besar yang digantung di loteng ditambah pula dengan cahaya kunang-kunang dalam kelambu di waktu malam, maka rakyat yang masih primitif pada zaman dahulu kala itu, menjadi teperdaya bercampur takut, sehingga mereka mengakui bahwa Moleono patut disembah sebagai raja.

“Meleono” dengan rambutnya yang sangat panjang itu, selalu berdaya upaya agar para Mokolempalili pengikut Raja Marunduh menjadi terpikat dan teperdaya, sehingga dengan mudah dikuasai agar dengan mudah pula Moleono menjalankan siasatnya untuk membunuh Raja Marunduh. Dan jika berhasil maka Moleonolah yang akan menggantikannya. Tetapi Moleono belum mengetahui, bahwa masih banyak Mokolempalili yang tidak setuju jika Moleono menjadi Raja Mori, karena masih banyak Mokolempalili yang memihak Marunduh sehingga Marunduh merasa lebih kuat dari pada Moleono. Suatu ketika, ada seorang pemuda yang gagah perkasa, bernama “Titi” yang berasal dari Mokole Moleoa. ‘Titi’ adalah pendukung utama Marunduh. Titi berusaha mempertahankan dan membela Raja Marunduh dari serangan dan tipu daya Moleono yang hendak menggulingkan Marunduh sebagai Raja Mori. Oleh karena itu Titi berdaya upaya sampai berhasil membunuh Moleono. Suatu ketika, Titi mengetahui Moleono, wanita cantik itu, jatuh cinta kepadanya. Titi berpikir dan memperhitungkan, bahwa kalau benar Moleono mencintai Titi, maka Titi akan mudah menggunakan kesempatan untuk memikat dan menjalankan siasat hingga berhasil membunuh Moleono. Suatu ketika, sebelum Titi pergi menemui Moleono, terlebih dahulu Titi pergi menemui Raja Marunduh untuk mempelajari situasi dan hal ihwal pihak Moleono bersama pengikut-pengikutnya, serta untuk mengatur siasat.

Dalam pembicaraan bersama Raja Marunduh, Titi berkata bahwa ia akan berangkat dengan membawa seorang temannya yang berjiwa kesatria bernama Tondolabu; dengan membawa senjata atau senapan yang dinamakan Banggobeno dan untuk menguji kekuatan Moleono, ia akan meletuskan senapan Banggobene itu satu kali, dan kalau benar bahwa Moleono adalah dewa, maka senjata itu tidak hancur, maka berarti Moleono bukan seorang dewa dan Titi akan pergi membunuh Moleono. Titi seorang pemuda yang gagah perkasa dihadapan Raja Marunduh telah menunjukkan sikap yang bersemangat dan jiwa yang berani meneruskan tekad serta daya juang pantang mundur menghadapi kekuatan Moleono bersama pengikut-pengikutnya. Sebelum berangkat, Titi terlebih dahulu mempersiapkan diri bersama temannya Tondolabu. Titi menguji senjatanya dengan mencoba meletuskan satu kali, ternyata senjata Banggobene itu tetap seperti biasa. Lalu berangkatlah Titi dengan Tondolabu menuju tempat dimana Moleono berada bersama pengikut-pengikutnya.

Tatkala Titi  bersama Tondolabu telah sampai di dekat rumah Moleono. Titi dengan segera  memerintahkan kepada Tondolabu supaya dengan cepat naik ke loteng rumah Moleono untuk membunuh kucing-kucing dalam keranjang yang tergantung di loteng dan melepaskan semua kunang-kunang yang terkurung dalam kelambu, sedangkan Titi sendiri langsung masuk menemui Moleono. Setibanya dalam rumah Moleono, Titi disambut dan diterima oleh Moleono dengan ramah sekali, karena Moleono memang jatuh cinta kepada pemuda Titi.

Sebagaimana adat kebiasaan dalam menyambut tamu, pertama-tama tamu disambut dengan suguhan sirih dalam dulang kecil. Sementara makan sirih, kesempatan ini dipergunakan oleh Titi, dengan cepat dan dengan cekatan Titi langsung memegang kuat-kuat rambut Moleono yang panjang itu, lalu dipancungnya Moleono hingga tidak berdaya. Dan pada saat itu juga kucing-kucing dan kunang-kunang telah dilepaskan serta dibunuh Tondolabu. Seketika itu juga, Titi bersama temannya Tondolabu, segera pergi kembali ke istana Raja Mori, Marunduh. Setelah Titi bersama Tondolabu tiba dengan selamat di tempat istana Raja Mori. Marunduh, mereka dengan segera pergi mengeluarkan semua kotoran kerbau yang berada dalam lesung-lesung kepunyaaan Raja Marunduh, sampai bersih lesung-lesung itu sebagaimana keadaannya semula. Dengan demikian, Titi berhasil menggagalkan usaha Moleono kekuasaan Raja Mori Marunduh, sehingga kekuasaan Marunduh sebagai Raja Mori, tetap dengan utuhnya.

Peperangan raja Mori Marunduh Melawan Tentara Kompeni Belanda

Beberapa saat kemudian, Kompeni Belanda telah masuk ke daerah Poso dan menjelajahi wilayah Daerah Poso, sampai di wilayah Tanah Mori. Pada suatu ketika, datanglah ke Tanah Mori Tuan Nayoan bersama-sama dengan dua regu tentara Kompeni Belanda yang dipimpin oleh seorang Letnan sebagai Komandan yang bertolak dari Poso. Rombongan Tuan Nayoan  bersama Letnan Belanda itu, setelah tiba disalah satu tempat Mokolempalili di Tanah Mori, maka mereka mengajak seorang Mokolempalili bernama Papa Lantiuna untuk mengadakan pertemuan dengan Raja Mori Marunduh, yang berkedudukan di wilayah Tanah Mori Bawah yang disebut Petasia, yakni desa Mata Pundula. Dalam pertemuan itu, Tuan Nayoan mengingatkan supaya Marunduh dan para Mokolempalili jangan mengadakan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, karena Belanda tidak bermaksud untuk membunuh orang, tetapi akan memberikan perlindungan kepada rakyat demi kelangsungan hidup mereka dan karena itu, janganlah takut kepada Kompeni Belanda.

Tuan Nayean, mengajak Papa Lantiuna dan tampaknya Mokolempalili Milea' menuruti dan menyetujui maksud Tuan Nayoan bersama Kompeni Belanda untuk membicarakan hal perdamaian dengan Raja Mori Marunduh.

Setelah mereka bertemu, semula nampaknya Raja Marunduh agak takut karena merasa ragu akan maksud mereka. Tetapi Tuan Nayoan dan Papa Lantiuna menjelaskan maksud mereka kepada raja Mori, sehingga Raja Marunduh akhirnya dapat memahami tanpa rasa takut lagi. Di samping itu Tuan Nayoan bersama Tentara Kompeni Belanda yang dipimpin oleh Tuan Letnan, ingin sekali melihat Permaisuri Raja marunduh, karena selama tujuh hari mereka tinggal di Mata Fundula tidak pernah melihat Permaisuri Raja Marunduh. Sehingga Tuan Nayoan dan Tuan Letna meminta kepada Raja Marunduh memanggil permaisurinya. Ketika Permaisuri Raja yang bernama Jelaina keluar dan bertemu dengan Tuan Nayoan bersama Tuan Letnan, mereka saling berkenalan dan berjabat tangan.

Raja Mori, tatkala melihat permaisurinya berjabat tangan dengan Tuan Letnan dan Tuan Nayoan nampak merasa tidak senang. Raja Mori memang merasa tidak senang melihat permaisurinya dipegang-pegang orang pada saat berjabatan tangan, kecuali hanya sekedar berjabatan tangan saja. Disamping itu raja Mori merasa curiga dan ragu, karena mungkin kesempatan berjabat tangan itu mereka gunakan sebagai siasat dengan maksud-maksud lain. Mungkin memancing perasaan Raja atau mungkin pula sebagai siasat untuk melemahkan sifat keras dari Raja Mori terhadap mereka melalui permaisuri. Karena Permaisuri telah berkenalan dengan mereka sehingga Permaisuri dapat mempengaruhi Raja Marunduh agar Raja Marunduh tidak menentang tentara Kompeni Belanda. Itulah sebabnya Raja Marunduh semakin merasa tidak senang bilamana berjumpa dengan Tentara Kompeni Belanda; dan pula sebabnya, sehingga Raja Marunduh tidak bersedia melanjutkan pertemuan dengan Tuan Nayoan, Tuan Letnan yang bermaksud mengadakan perdamaian. Dengan begitu berarti Raja Marunduh tidak bersedia mengadakan perdamaian dengan Tentara Kompeni Belanda.

Dalam usaha mengatasi keadaaan yang gawat itu, segera Raja Marunduh mengadakan rapat dengan beberapa Makolempalili yang kuat. Dalam hal ini Papa Lantiuna, termasuk kelompok Mokolempalili Moleoa'. Keputusan rapat dengan tegas dinyatakan oleh Raja Marunduh. Bahwa Tentara Kompeni Belanda harus dibunuh sampai habis dari tanah Mori." Keputusan Raja Marunduh yang demikian tegas itu disetujui oleh para Mokolempalili.

Dalam usaha pelaksanaan perlawanan terhadap Tentara Kompeni Belanda, maka Raja Mori Marunduh bersama para Mokolempalili yang kuat, mulai mengatur posisi. Beberapa Mokolempalili memperlihatkan bahwa sebagian Tentara Kompeni Belanda masih ada di Mata Fundula dan sebagaian lagi kembali ke Moleoa. Beberapa saat kemudian, Raja Marunduh memerintahkan PapaLantiuna supaya tentara Kompeni Belanda yang menuju ke Moleoa, harus dibunuh. Dan Tentara Belanda yang tinggal di Mata Fundula, Raja Marunduh yang akan membunuhnya.

Selanjutnya Raja Marunduh memerintahkan kepada para Mokolempalili, bahwa perlawanan harus dilaksanakan dengan serentak, pada hari yang sama, baik yang ada di Mata Fundula, di Moleoa serta yang ada di Petasia. Akan tetapi sebelum Tentara Kompeni Belanda kembali ke Moleoa, maka Papa Lantiuna bersama pengikutnya seorang Juru Bahasa laki-laki bernama Maradi terlebih dahulu pergi ke Kanta, tanpa melalui jalan ke jurusan Moleoa'. Papa Lantiuna bersama pengikut-pengikutnya tinggal di Kanta elama beberapa hari. Kemudian Tuan Letnan bersama tentaranya menyusul ke Moleoa' sedangkan Tuan Nayoan telah kembali ke Poso.

Tetapi rombongan Papa Lantiuna merasa tidak senang tinggal di Kanta, sehingga dalam waktu dekat mereka mencari tempat lain yang lebih baik. Mereka pergi ke Ranoitole dekat desa Korontaduha, yang kira-kira tiga kilometer jaraknya dari desa Tomata. Di sanalah mereka membuat asrama dan di sanala Papa Lantiuna mengatur posisi perlawanan untuk melaksanakan perintah Raja Marunduh akan melakukan pembunuhan terhadap Tentara Kompeni Belanda. Papa Lantiuna bersama pengikutnya mengatur posisi perlawanan terhadap tentara Belanda bertempat di Ranoitole, sebagai berikut :
  1. Papa Lantiuna memerintahkan kepada rakyat, terutama pengikutnya, supaya mengumpulkan semua senjata, pedang disuatu tempat yang tertentu.
  2. Supaya semua orang kuat tiap Mokolempalili terutama yang ada di Moleoa, segera berkumpul pada satu tempat di Ranoitole untuk mendengarkan perintah-perintah selanjutnya.
  3. Supaya tiap pasukan, harus ada satu sampai dua orang yang terkuat sebagai pengawal dengan membawa senjata pedang tajam.
  4. Di samping rakyat sibuk membersihkan perkampungan mereka, supaya makanan harus diatur dengan sebaik-baiknya serta memotong babi sebagai persediaan makanan tersebut mereka selama mengadakan perlawanan di Ranoitole.
Beberapa saat kemudian, Papa Lantiuna pergi memata-matai keadaaan Tentara Belanda; ternayata Tentara Belanda dalam keadaan lengah dan tidak mempunyai persangkaan apa-apa pada rakyat Mori. Papa Lantiuna dengan segera mempergunakan kesempatan itu untuk mempersiapkan pasukannya lengkap dengan senjata, kemudian menyatakan komando serentak untuk menyerang sekaligus membunuh Tentara Kompeni Belanda sampai habis semuanya. Pada saat berlangsungnya serangan perlawanan terhadap Tentara Kompeni Belanda, juru bahasa yang bernama Maradi melarikan diri sehingga ditangkap dan kemudian ditawan oleh Belanda di dekat Londi wilayah Kolonadale. Juru bahasa yang bernama Maradi itu tidak dibunuh oleh Tentara Belanda. Kira-kira sebulan kemudian Tentara Belanda datang ke Kolonadale untuk melakukan serangan pembalasan memerangi Raja Marunduh yang gigih mengadakan perlawanan di Fulanderi (Fulanderi terletak kira-kira 10 Km jauhnya dari Desa Kolaka di wilayah Kolonadale yang dinamakan Tanah Mori Bawah, yang sekarang dinamakan Kecamatan Petasia).

Pada pertempuran Fulenderi banyak Tentara Kompeni Belanda yang tewas, sedangkan Raja Mori Marunduh sendiri selamat. Menurut cerita beberapa orang tua yang sekarang masih hidup dan berada di Kecamatan Mori Atas, bahwa Raja Marunduh mempunyai kura-kura emas yang kecil  sebagai azimatnya. Akhirnya Tentara Kompeni Belanda mengetahui rahasia kura-kura emas sebagai azimat Raja Marunduh itu, maka Tentara Belanda mencari akal bagaimana caranya untuk dapat mengalahkan Raja Marunduh.

Pada suatu ketika. Tentara Belanda menemukan alat dan cara yang dapat mengalahkan kekuatan azimat Raja Marunduh, Tentara Belanda mempersiapkan peluru emas sebanyak-banyaknya serta mempersiapkan beberapa pasukan khusus pembawa senjata yang berisi peluru emas yang dari Papa Lantiuna tidak dikerahkan untuk menyerang dan menembak Raja Marunduh pada salah satu bukti di Fulanderi telah dapat diketahui dengan jelas oleh Tentara Belanda. Perlu dengan segera diatur pengepungan dan pasukan khusus dengan senjata berpeluru emas langsung dikerahkan menuju tempat pertahanan Raja Marunduh. Pada saat pasukan khusus Tentara Belanda melihat dengan jelas Raja Marunduh ditempat pertahanannya, maka pasukan khusus segera mengempur dan menembak langsung Raja Marunduh. Akhirnya Raja Marunduh pun telah tewas karena sasaran peluru emas. Di Fulanderi itulah, tempat Raja Marunduh tewas dengan seorang kemenakannya yang bernama Lafolio.

Setelah Raja Marunduh tewas, maka datanglah ke Fulanderi, Tuan Nayoan bersama-sama dengan Tuan Letnan Tentara Belanda mencari Papa Lantiuna di Tobumpada, karena disitulah tempat Papa Lantiuna melarikan diri sewaktu Tentara Belanda menggempur Fulanderi; yang berarti Papa Lantiuna tidak turut serta mengikuti Raja Marunduh pada tempat pertahanan Raja Marunduh di Fulanderi, pada saat penggempuran terakhir dari Tentara Belanda. Sebelum Tuan Latenan menemukan Papa Lantiuna, maka terlebih dahulu Tuan Nayoan menemui Papa Lantiuna, dengan maksud memberitahukan tentang apa-apa yang harus dikerjakan kalau Tuan Letnan Tentara Belanda telah menemukan  Papa Lantiuna di Tobumpada. Tatkala Tuan Letnan Tentara Belanda telah tiba di Tobumpada, maka Papa Lantiuna dengan cepat menyambut dan memeluk kaki Tuan Letnan seraya mencium ujung sepatu Tuan Letnan dengan ucapan minta ampun.

Kemudian tibalah saatnya Papa Lantiuna diperiksa oleh Tuan Letnan yang didampingi oleh Tuan Nayoan. Pada saat dilakukan pemeriksaan, maka Tuan Letnan mengajukan beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
  1. Apa sebabnya engkau membunuh tentara Belanda ?
  2. Apakah engkau mampu mengumpulkan tulang-belulang Tentara Belanda yang telah dibunuh itu?
  3. Apakah engkau mampu mengumpulkan semua senjata Tentara Belanda yang telah terbunuh itu?
Kemudian Papa Lantiuna menjawab sebagai berikut :
  1. Saya membunuh Tentara Belanda atas perintah Raja Marunduh. Karena Marunduh maka saya sendiri yang akan dibunuh.
  2. Saya sanggup mengumpulkan semua tulang belulang Tentara Belanda yang telah terbunuh.
  3. Saya mengaku, bahwa saya sanggup mengumpulkan semua senjata Tentara Belanda yang telah terbunuh itu.
Dengan jawaban dari Papa Lantiuna itu, maka Tuan Letnan berkata. ”Hiduplah engkau!" Dan pada saat itu juga, Papa Lantiuna telah menunjukkan kesanggupan atau kemampuannya dalam memenuhi perintah Tuan Letnan Tentara Belanda. Papa Lantiuna adalah salah seorang Mokolempalili di Tanah Mori yang besar pengaruh dan wibawanya dalam lingkungan rakyat di Tanah Mori. Oleh karena itu orang-orang atau sebagian besar rakyat di Tanah Mori, taat melaksanakan perintah-perintah dari Papa Lantiuna untuk mengumpulkan tulang-belulang serta mengembalikan senjata-senjata tentara Belanda yang telah tewas itu.

Selanjutnya Tuan Letnan memerintahkan kepada Papa Lantiuna agar tiap orang sebagai penanggung yang kuat, harus membayar dua rupiah setengah sebagai denda. Kemudian Tuan Letnan memerintahkan pula kepada Papa Lantiuna agar segera diatur rakyat dari tiap-tiap suku di Tanah Mori untuk membuka kembali perkampungan-perkampungan, dimulai dari Kolonadale dan seterusnya dalam lingkungan Tanah Mori. Selanjutnya Tuan Letnan memerintahkan lagi kepada Papa Lantiuna agar tulang belulang atau tengkorak Tentara Belanda yang telah tewas dalam pertempuran, segera dibawa oleh rakyat Suku Mori yang akan membuka perkampungan di Kolonadale dan menguburkannya kembali di Kolonadale. Sampai sekarang ini, kuburan tulang  belulang dan tengkorak Tentara Belanda serta merta orang-orang suku Mori yang telah tewas dalam pertempuran, masih ada tetap terpelihara dengan baik di Kolonadale.

Selain itu Papa Lantiuna mendapat perintah lagi agar rakyat Mori melaksanakan pembuatan jalan dan pembukaaan perkampungan secara teratur serta mengatur perpindahan penduduk dari tiap-tiap suku di Tanah Mori itu ke Kampung-kampung atau desa-desa yang baru dibuka juga supaya rakyat hidup membuka persawahan untuk menjamin kelangsungan hidup mereka bersama keluarganya. Papa Lantiuna berhasil melaksanakan dan membuktikan kemampuannya sebagai seorang pemimpin, seorang Mokolempalili yang santai besar pengaruh dan wibawanya dalam lingkungan rakyat diseluruh wilayah Tanah Mori.

Mengenai pengantaran perpindahan penduduk dari tiap-tiap suku di Tanah Mori, Papa Lantiuna mengaturnya dengan sebagai berikut:
  1. Suku Moleoa' yang tinggal digunung-gunung seperti dari Sungke Lemba dipindahkan pada tanah rata di Desa atau Kampung Kasingoli dan Korokonta.
  2. Suku dari Tavaangoli dipindahkan pada desa atau Kampung Tanah Sumpu dan di Korolemo.
  3. Suku dari Desa Lemborori dipindahkan di Desa Tepaku.
  4. Suku dari Desa Tanjongkuni dipindahkan di Desa Londi.
  5. Suku dari Salemboi dipindahkan di Desa Taendeh
  6. Suku dari Desa Wana dipindahkan di Desa Ensah
  7. Suku dari Ndointobu dipindahkan di Desa Kolaka.
  8. Suku dari Desa Endemborate dipindahkan di Desa Tomata. (Tomata sebagai tempat kedudukan ibu kota wilayah Kecamatan Tanah Mori Atas sekarang ini)
  9. Suku-suku lainnya diperintahkan mencari dan mengatur tempat perkampungan masing-masing yang mereka senangi keadaan alamnya.
Dengan perpindahan Suku-suku di Tanah Mori sebagaimana disebut di atas, maka terbentuklah organisasi Pemerintahan Kesatuan Desa dari suku-suku tersebut, menjadi satu nama suku, yaitu "Suku Mori" dan satu nama kesatuan daerah, yakni Tanah Mori. Perlu diketahui, bahwa Tanah Mori adalah daerah yang terluas wilayahnya dalam lingkungan Daerah Tingkat II Kabupaten Poso.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Kisah Kerajaan Mori Melawan Tentara Belanda Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Kisah Kerajaan Mori Melawan Tentara Belanda Sebagai sumbernya

0 Response to "Kisah Kerajaan Mori Melawan Tentara Belanda"

Post a Comment

Cerita Lainnya