Cerita Awal Kejadian Ntondori

Cerita Awal Kejadian Ntondori ~ Galara adalah orang yang pertama memelihara manusia yang bernama Intondari, sewaktu Galara pergi dari kampung Vobo menuju Korue. Ketika dalam perjalanan tiba-tiba ada suara didengarnya, bertanya kepadanya.

"Siapakah ini?

"Jawab Galara, "Saya ini Galara.""

"Ambillah saya ini." Demikian suara itu sedang orangnya tidak kelihatan.

"Kalau mengambil saya, ambillah lima ruas bambu, bambu yang kuning." Kemudian diambilnyalah oleh Galara. Lalu suara itu berkata lagi, "Ambillah lima ruas, di bawah diambil dua ruas di tengahnya satu ruas, diatasnya dua ruas juga, kemudian barulah; saya diambil." Sesudah diambil bambu itu oleh Galara dibawanyalah berjalan. Tiba di suatu tempat malam pun telah hampir siang. Ketika itu berkatalah suara dari bambu kuning itu; "Bawalah saya pulang."

Maka dibawa pulanglah ia. Ketika mereka datang di rumah Kampung voba, maka direndamlah bambu tersebut; dan ditempatkan ditempat yang baik. Lalu bambu kuning itu dipindahkan tempatnya ke sebuah tempat yang disebut baki, seperti tempayan bentuknya. Kemudian bambu itu direndam. Tepat tujuh hari tujuh malam lamanya dirawat di tempatnya, maka pada suatu pagi hari kedengaranlah bunyi air jatuh dan mengalir di tanah. Setelah diperiksa pagi itu maka ternyata air sudah kering di tempayan.

Setelah tujuh hari lamanya kemudian barulah ternyata bahwa bambu kuning itu telah menjelma menjadi manusia yang gagah sekali. Orang itu lalu ditangkap oleh Galara, ketika ia sedang mandi. Itulah laki-laki gagah yang bernama Intondori. Ia masih kecil, sebab itu ia dipelihara oleh Galara. Sesudah mandi diberikanlah selembar kain sarung. Kain yang digunakan oleh orang-orang tua dahulu.

Sesudah menjelma menjadi manusia, pada suatu waktu Intondori melakukan perjalanan pergi ke negeri orang, yaitu ke Korue Moraego. Orang yang pergi bersama dia ada tujuh kelompok banyaknya. Namanya adalah Pimboko Mombine dan Tavavavake. Maka pergilah mereka dengan berkelompok. Setelah sampai di sana kedengaran lagi suara halus yang bertanya kepada kelompok pertama, "Adakah   Ntondori?"

Dijawab bahwa ia masih di belakang. Kemudian ditanya lagi, "Adakah Intondori!" Masih dibelakang" jawabnya.

Kelompok ketiga ditanya pula; "Adakah Intondori?" dan dijawab masih dibelakang. Kelompok ke empat dan kelima hanya begitu juga jawabannya. Mereka semua berteriak-teriak." Itulah dia." Sudah berlalu yang kelima, karena, yang ketujuh. Semuanya berseru; "Itulah dia." Yang ketujuh, "Siapakah itu? Benarkah Intondori?" "Ya saya, ambillah saya, demikianlah suara halus tadi. Orang pun mengambilnaya. Begitu diambil dan dipegang, tiba-tiba ia menjerit. "Jangan kaki saya." Diangkat dan dicabutnya, dipikul dan dibawa pergi ke Korue.

Kemudian ada caranya yang berkata kepada Intondori, "bawalah saya pulang." Maka pulanglah mereka. Setelah tiba di rumah disimpanlah di suatu tempat. Tujuh hari tujuh malam ia dipelihara dan diambilkan air. Begitulah setiap pagi hari terdengarpercik air yang dipakainya mandi. Setelah habis air mandi pun ditambah lagi. Begitulah seterusnya. Maka setelah tujuh malam berlalu diperhatikannyalah benda itu. Dengan hati-hati diintipnya, ternyata seorang perempuan yang cantik. Maka diambillah ia. Diberikan pula kepadanya sehelai kain sarung. Nama sarung itu ialah Ba'diyah. Maka ia pun sudah menjelma menjadi manusia.


Itulah kejadian raja yang namanya Banjambua. Ia sudah menjadi manusia dan ia akan mengadakan perlawanan kepada Ntondori, sementara ia direncanakan oleh orang tuanya untuk dikawinkan dengan Galara. Karena itulah berkumpullah orang-orang tua untuk merencanakan perkawinan mereka. Kalau jadi perkawinan mereka apakah yang harus dibuat. Janganlah susah hati.

Beritahukan kepada masyarakat di kampung nanti malam, bahwa besok semua orang membawa tempat. Ada sebatang enau yang namanya Maliara. Diambil isinya. Hanya dilobang batangnya Maliara itu apalagi batangnya sangat besar. Kemudian tempat yang dibawa oleh orang banyak itu diletakkan dibawahnya, lalu dipikul batangnya, maka penuh semua tempat itu.

Maka kata orang-orang tua, bahwa makanan yang dimaksud sudah banyak dan dibawa pulanglah semuanya. Setelah dibawa pulang, bertanyalah orang-orang tua, apakah yang dijadikan lauk perkawinan itu diberitahukan kepada orang banyak di kampung bahwa harus Padang dipagari. Pemagarannya keliling, Pemegaran dilakukan selama tiga hari oleh tiga kampung. Kemudian diberitahukan kepada orang-orang tua, sudah tiga hari lamanya selesai dipagar keliling.

Setelah tiba malam Jumat, barulah dilanjutkan pembicaraan. Begitu malam Jumat tiba, maka berkumpullah mereka bertepatan dengan datangnya angin ribut, hujan lebat. Mereka tetap juga bwerkumpul. Begitulah siang dan malam, dengan tidak disangka-sangka yang dipagar tersebut penuh dengan kerbau yang putih dan belang. Demikianlah berarti yang dibuat untuk lauk-pauk sudah ada. Kerbau sudah ada. Tidak diketahui dari mana datangnya. Begitulah ceritanya. Karena sudah ada bahan yang diperlukan baik beras maupun untuk dijadikan lauk-pauk, maka dilaksanakan pesta perkawainan Intondori dengan Banjambua.

Singkatnya selesailah pernikahan mereka. Tiada berapa lama mengidamlah perempuan itu. Setelah sampai bulannya maka melahirkanlah perempuan itu seorang anak perempuan. Anak tersebut diberi nama Kacamanila. Anak itu dipelihara sampai besar dan akhirnya menjadi dewasa. Setelah ia dewasa dinaikkanlah anak tersebut di loteng rumah sebagai tempatnya. Perempuan tersebut tidak pernah turun ke tanah, sehingga air untuk mandi semuanya harus diambilkan dan keloteng. Perihal perempuan ini kemudian di dengar oleh Toligoe. Toligoe ini adalah seorang yang mempunyai kerbau besar yang diberi nama Belembuanga.

Suatu ketika ia pergi berjalan-jalan sambil menunggang kerbaunya. Toligoe adalah seorang raja. Tujuannya ke negeri Vobo. Ketika ia sampai di negeri Vobo, ia bertemu dengan seorang anak perempuan yang sedang mengambil air. Dengan perlahan-lahan ia bertanya; "Hai anak perempuan, dimana tinggal raja?" Maka dijawab oleh anak itu bahwa raja ada di loteng. "Kalau dalam keadaaan terang janganlah naik ke atas, dan kalau keatas harus memakai tangga. Tangganya dari bambu bulu batu. Sebab bambu itu tinggi" kata anak itu. Maka dikatakannya kepada anak tersebut. "Kalau saya naik sebentar, ikatlah kerbau saya, dan kalau kerbau itu buang kotoran, tiap pagi sapulah dan buanglah kotorannya agar tidak diketahui bahwa saya menunggang kerbau.

Kemudian ditanyakanlah keadaannya, lalu ia kembali. Dua malam kemudian ia datang kembali. Diketemukannya anak tersebut sedang mengambil air. Begitulah perbuatannya sampai tujuh kali berulang-ulang. Singkatnya setelah tujuh kali ia datang, maka anak tersebut dapat mempengaruhi perempuan yang ada di loteng itu. Anak itu sudah menjadi budaknya. Maka diambilnya air untuk mandi perempuan di loteng itu, perempuan tunangan raja. Maka diketemukannya cincin di dalam air. "Yang cincin siapakah ini?" Kemudian diketahuinya bahwa cincin itu pemberian raja yang mempunyai kerbau besar. Saat itulah baru diketahui oleh perempuan itu bahwa raja itu berasal dari Vonggo.

Pada akkhirnya bertunanganlah mereka berdua. Sampai dua kali mereka bertemu tanpa diketahui oleh orang lain. Karena kelincahannya menaiki loteng tempat perempuan tersebut, tidak diketahui oleh orang tuanya. Akhirnya perempuan tersebut  yang ada di loteng sudah mengidam. Gejala-gejala mengandung sudah nampak. Perempuan tersebut sudah sakit-sakit, agak lemah badannya menandakan bahwa ia sudah mengandung. Walaupun perempuan tadi sudah mengandung namun laki-laki itu masih tetap juga datang dan sempat berbicara dengan bayi dalam perut ibunya, namanya Lagaligo, bahwa ayahnya adalah raja. Ia berpesan. "Kalau engkau datang kembali menjenguk, janganlah datang bilamana ada tanda syarat."

Kemudian kedengaranlah orang yang menangis. Toliligoe merencanakan akan pergi lagi. Dinaikinyalah kerbaunya, karena berjanji akan datang. Maka datanglah ia pada malam harinya yaitu saat perjanjiannya. Kerbau itu enggan berjalan, di rawa-rawa itu juga yang menghalangi sehingga kerbau itu malas berjalan.

Ditengah jalan yakni di kampung Koleda, kerbau itu enggan mau berjalan lagi sedang waktu yang dijanjikan sudah dekat. Kerbau tersebut dipaksakan harus berjalan, namun hanya bisa sampai di Halutera. Air yang sedang mengalir semuanya tertahan akibat kerbau itu yang berkubang karena tidak mau berjalan. Akhirnya air yang mengalir ke sawah tertutup sampai meluap. Lalu ada dua orang yang membongkar. Jalan air yang buntu itu di sebelah kanannya. Dua orang lagi membongkar di Halutera. Semua yang bekerja dengan membawa bekal. Mereka bekerja dengan gesitnya. Air pun sudah mulai mengalir. Karena air itu mengalir serentak, akibatnya air itu melanda kampong Kapiroe.

Ketika air sungai tadi meluap, sungai pun menjadi kecil. Maka diketemukan seekor belut sebesar batang enau. Karena air sungai menjadi kecil akhirnya menjadi kering. Kerbau yang berkubang tadi telah pergi pula. Karena sebahagian belut itu tidak diketemukan orang, tertinggallah ia mati lalu menjadi busuk. Itulah sebabnya diberi nama Tovau di Bungasana; karena bau busuk belut yang mati itu. Dan seekor belut diketemukan tujuh buah perhiasan (Tinggoro) yang namanya mata dako; itu adalah tau lolondo dan sambukara. Sekarang masih disimpan. Itulah yang diketumukan pada perut belut. Tinggoro tujuh buah itu dipakai orang sampai sekarang.

Mulailah kerbau itu berjalan pula walaupun perlahan-lahan. Karena halangan yang merintangi raja di perjalanan, maka waktu yang dijanjikannya itu pun tidak dapat ditepati oleh raja itu. Karena itu ia tidak lagi berjumpa dengan perempuan itu. Karena ia sudah meninggal. Meninggal pada waktu bersalin. Adapun bayi yang dapat diharapkan dapat lahir rupanya tidak dapat keluar dari perut ibunya. Ibunya sudah meninggal tetapi bayi dalam kandungan masih tetap hidup. Raja akan dilumu. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya dilumu. Pelaksanaan ini biasa disebut Lali Patamponga. Batang kayu dibuat untuk keperluan itu, nanti sesudah empat puluh malam barulah dikemukakan.

Baru saja kira-kira dua puluh malam meninggalkannya, kedengaranlah suara. Mendekati empat puluh malam, lebih ribut suara yang kedengaran itu. Begitu diadakan pembukaan lamu, maka keluarlah bayi dari perut ibunya tadi. Itulah yang diberi nama Tulunjagu. Maka duduklah bayi tersebut. Orang banyak terkejut melihat kejadian itu, rupanya dengan bayi itu membawa keuntungan bagi kampung, lingkungan tidak berbau busuk. Kemudian bayi tersebut dipelihara dan akhirnya menjadi besar, bayi tersebut sudah mulai merangkak. Pada suatu ketika dikumpulkanlah sebanyak tujuh orang raja. Yakni raja Wonggo, Karabenete. Nama-nama raja itu tidak diketahui lagi. Dengan maksud untuk mencari siapa sebenarnya ayah dari anak itu.

Kemudian setelah raja-raja sudah terkumpul semua dan duduk  berkeliling. Toliligoe juga hadir dan memegang sesuatu. Adapun bayi itu didudukkan di tengah-tengah raja yang sedang duduk berkeliling itu. Kemudian dilaksanakan suatu acara untuk mengetahui siapa sebenarnya ayah dari anak tersebut. Dalam acara itu anak tadi diberi kesempatan menunjukan seseorang dan siapa yang ditunjuk maka itulah ayahnya. Sementara anak di tengah lingkaran raja-raja itu, maka anak tersebut tiba-tiba menunjuk Toliligoe dan terus dipeluknya. Ialah ayahnya. Baru pada saat itulah Toliligoe mengaku bahwa dialah sesungguhnya ayah dari anak tersebut. Kerbau yang dipergunakannya tetap saja di tungganginya, dan baru mati setelah sampai di Napu.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tengah
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Awal Kejadian Ntondori Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Awal Kejadian Ntondori Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Awal Kejadian Ntondori"

Post a Comment

Cerita Lainnya