Alkisah Rakyat ~ Alkasih beberapa abad yang lalu, di sebut kampung kecil Teluk Dalam, tinggal seorang lelaki bernama Simargolang. Ditengah-tengah pergaulan dalam masyarakatnya Simargolang sangat disenangi, tidak hanya karena budi pekertinya yang baik, tetapi juga karena ia memiliki ilmu pendekar.
Ia sering berburu ke hutan dan hasil perburuannya dia bagi-bagi kepada orang-orang sekampungnya. Kehidupan kekeluargaannya yang rukun dan sifat-sifat suka menolong orang lain mendorong orang-orang di kampung itu mengusulkan agar Simargolang bersedia menjadi pimpinan mereka.
"Sebaiknya kita cari orang yang lebih arif dan bijaksana orang yang benar-benar mampu sebagai pimpinan kita," ucapnya ketika beberapa orang tua menemuinya untuk menyampaikan hasrat mereka.
"Tidak ada pilihan lain, selain kepadamu Margolang, terimalah amanah ini, amanah kami semua," salah seorang orang tua parab utusan itu meyakinkan Simargolang.
Simargolang dinobatkan jadi raja, penduduk memanggilnya dengan Raja, dan rakyatnya hidup makmur. Demikianlah pada suatu hari di dalam memimpin masyarakatnya, sang Permaisuri melahirkan seorang puteri yang cantik dan oleh Raja Simargolang puterinya diberi nama Sri Pandan. Sebagaimana kebiasaan raja yang suka bekerja keras, beliau juga melatih puterinya untuk bekerja, sehingga Sri Pandan yang parasnya cantik juga pandai menganyam tikar, membuat penampi dan membuat perhiasan-perhiasan rumah lainnya.
Bersama-sama teman sebayanya waktu menumbuk padi, alu Sri Pandan seolah-olah berirama sehingga enak didengar. Bermain-main pada waktu bulan purnama Sri Pandan selalu menjadi tumpuan perhatian teman-temannya karena kelincahannya bergaul dan kemerduan suaranya.
Apabila Sri Pandan duduk sendirian di taman muka rumahnya dia sering melagukan lagu yang merdu hingga pemuda di kampung itu secara sembunyi-sembunyi menikmati suara sang puteri. Konon kecantikan Puteri Sri Pandan dan budi pekertinya yang terpuji itu tidak hanya menimbulkan simpati pemuda kampung Teluk Dalam saja, tetapi juga telah tersohor ke daerah lain. Puteri Raja Simargolang adalah puteri tercantik di kawasan itu dan wajarlah bila sang raja mengharapkan puterinya akan dipersunting oleh Putera Mahkota dari daerah lain.
Impian itu akan terwujud menurut Raja Simargolang, karena pada suatu hari utusan Raja Aceh datang hendak melamar sang puteri Sri Pandan. Rombongan Raja Aceh disambut dengan acara kebesaran dan setelah berbasa-basi serta memakan sirih sebagai lambang persahabatan niat dan maksud disampaikan, Sri Pandan hendak dijadikan permaisuri Putera Mahkota Raja Aceh. Raja Simargolang yang arif dan bijaksana walau lamaran sudah bersedia dinikahkan, utusan akan dikirim ke negeri Aceh memberitahukan.
Berita lamaran Raja Aceh telah tersebar di negeri itu membuat banyak pemuda yang harap-harap cemas. Cemas karena diantara para pemuda kampung itu ada yang sempat jatuh cinta dengan sang puteri dan bergembira mendengar berita itu, merasa bangga sang puteri raja mereka dipersunting Putera Mahkota.
Tetapi Sri Pandan, sejak datangnya utusan Raja Aceh itu sering termenung, hatinya gelisah dan sering mengunci diri di dalam kamar, berbaring sambil berurai air mata. Suatu ketika.
"Anakku Sri Pandan, engkau kini telah meranjak dewasa dan selama ini engkau telah dilatih dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan sudah tiba saatnya engkau untuk menaiki jenjang rumah tangga,' demikian kata pembukaan Raja Simargolang ketika puterinya dipanggil untuk menghadap.
"Sebagai seorang raja di daerah ini, kami menginginkan agar engkau dapat dipersunting seorang calon raja dan keinginan itu terkabul, kau pun tentu sudah tahu, utusan Raja Aceh telah datang ke Kerajaan ini untuk melamarmu." Sejenak Raja Simargolang menghentikan kata-katanya dan menatap wajah puterinya.
Puteri Sri Pandan masih menunduk, butir-butir air matanya jatuh satu-satu seperti manik-manik putus pengikat dan dia biarkan butir-butir itu jatuh ke pipinya.
"Sekarang katakanlah bahwasanya kau telah dapat menerima pinangan raja Aceh itu," ucap Raja Simargolang membujuk puterinya Sri Pandan mengangkat kepalanya, menatap Raja Simargolang dengan mata basah dan berkata.
"Ayahanda, maafkanlah anakanda jika akhirnya nanti apa yang anakanda katakan ini menusuk hati ayahanda. Terus terang, anakanda tidak dapat menerima pinangan itu, sebab," hingga di sini Sri Pandan tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya.
"Sebab apa!" bentak Raja Simargolang," Sebab engkau telah mencintai seorang lelaki? Tidak ada pilihan lain untukmu, selain mencintai Raja Aceh itu dan kau harus tahu, persoalan ini adalah persoalan martabat, masalah nama baik ayahanda seorang raja." Sri Pandan dengan rasa hiba kembali berkata.
"Ayahanda, kasihanilah diri anakanda ini, hati telah tertambat dan janji sudah dipadu. Laki-laki itu seorang yang hina ayahanda, tetapi jurang perbedaan kedudukan telah ditimbun oleh kasih sayang."
"Katakan siapa dia," bentak Raja Simargolang seolah-olah tidak sabar lagi mendengarkan alunan suara puterinya.
"Laki-laki itu pasti ayahanda kenal, dia dekat dengan kita, pembantu yang setia.... si Hatoban," ujar puteri.
"Keparat," Raja Simargolang bagaikan kena sangat kalajengking, bangkit sambil menghentakkan kakinya dengan muka merah padam dia berguman.
"Kalau Sri Pandan telah berani mencorengkan arang di mukaku dan.... kau harus menjauhkan diri dari di Hatoban. Dan si Hatoban akan....," Raja Simargolang tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.
Pertemuan yang menegangkan itu telah merisaukan pikiran Raja Simargolang. Ia sangat gelisah di tempat tidurnya dan masih terniang di telinganya kata-kata Sri Pandan.
"Ayahanda adalah seorang yang adil dan bijaksana yang memerintah kerajaan ini dengan baik. Semua orang ayah pertahankan dengan kewajiban dan hak yang sama. Si Hatoban adalah juga manusia yang berhak atas perlakuan yang sama. Dia mempunyai budi pekerti yang baik, dan salahkah anakanda kalau kebetulan mencintainya?"
Tetapi kata-kata ini kemudian hilang, karena Raja Simargolang ingat akan harga dirinya dan keinginannya untuk menikahkan Puteri Sri Pandan dengan Putera Mahkota. Hatinya makin bertambah panas, ketika dia ingat lagi bahwa yang menghalangi perkawinan itu nanti adalah ulah si Hatoban. Ia makin geram dan berkata.
"Si Hatoban akan segera disingkirkan...," Dikamarnya, Sri Pandan menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti teriris-iris mendengar penghinaan ayahandanya terhadap si Hatoban kekasihnya. Terbayang di pelupuk matanya wajah si Hatoban yang tampan, hidungnya yang mancung, matanya yang tajam dan tutur katanya yang sopan. "Kekasihku, kau dengarkah apa yang telah terjadi antara aku dengan ayahanda raja?', demikian dia berkata pada dirinya sendiri seolah-olah didengar oleh Hatoban. Kiranya Puteri Sri Pandan telah menentukan sikap, dia telah berketetapan hati dan telah menemukan cara untuk mengatasi kemelut yang menimpa dirinya ini.
Ditengah kegelapan malam itu dia bangkit dari tidurnya ingin menemui sang kekasih untuk menjelaskan hal yang terjadi. Dengan berjalan mengendap-endap, dia akhirnya sampai di kamar Hatoban dan mengetok pintu si Hatoban. Si Hatoban terkejut kedatangan sang Puteri di tengah malam yang gelap gulita itu dan bertanya.
"Apa yang perlu?' Dengan berurai air mata Sri Pandan menceritakan apa yang terjadi. Setelah mengerti apa yang telah terjadi, si Hatoban berkata.
"Kekasihku Sri Pandan, dari dulu sudah kukatakan bahwa Tuanku Raja, tidak akan merestui hubungan kita ini, tetapi engkau tetap berkeras akan melanjutkannya, tuanku puteri tidak sadar adanya tembok pemisah di antara kita berdua."
Sri Pandan kembali ke kamarnya. Kini dia sudah berketetapan hati untuk menempuh jalan mengatasi kemelut yang sedang dihadapi. Kekasihnya pun sudah diberitahu mengenai rencana ini. Ia pun mulai mengemasi barag-barangnya, emas, pakaiannya dan barang-barang berharga lainnya. Ia bungkus barang-barang itu semua, dan sekali lagi dia pergi pamit kepada si hatoban.
"Selamat tinggal kekasihku, aku akan menunggumu dengan setia di sana, di lubuk itu," barulah ia berangkat meninggalkan istana tempat dia dibesarkan.
"Selamat tinggal semuanya...." Ia kini makin mendekat ke sebuah lubuk di pinggir sungai Asahan. Dengan rasa hati yang tetap puteri Sri Pandan menjatuhkan barang-barangnya ke dalam lubuk itu dan berkata. "Tidak akan ada lagi anak perempuan secantikku di kerajaan ini di kemudian hari." Ia pun melompat ke dalam lubuk itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung Raja Simargolang bangkit dari peraduannya; diperintahkannya hulubalang untuk memanggil para pengetua untuk berkumpul di istana.
"Beri tahu mereka pagi ini ada sidang penting," demikian perintahnya kepada hulubalang.
Manakala para pengetua kerajaan itu telah hadir. Raja Simargolang menyuruh tangkap si Hatoban untuk dihadirkan dalam sidang itu. Belum sampai si Hatoban menyembah kepada Raja Simargolang. Raja telah membentaknya dengan suara menggeledek.
"Hatoban keparat" tidaknya, "Sungguh berani engkau bermain asmara dengan puteriku, kau memang tidak tahu diri. Dari sekarang Sri Pandan telah tiada di istana lagi, kau pasti tahu kemana dia pergi dan jelaskanlah segera mengenai hubungan kalian."
Dengan bibir yang gemetar si Hatoban berkata.
"Tuanku, ampunkanlah hamba yang hina ini telah berani menaruh cinta kepada Tuanku Sri Puteri. Berkali-kali hamba telah jelaskan apa yang mungkin timbul akibat hubungan ini, namun Tuanku Sri Puteri tetap berkeras untuk melanjutkannya. Demikian kerasnya hati Sri Pandan, tadi malam sesudah Tuanku Raja dan Permaisuri membujuknya, dia mendatangi hamba yang hina ini menjelaskan situasi yang terjadi. Begitu pun hamba tetap berusaha agar Sri Pandan menerima lamaran raja Aceh karena hal tersebut menyangkut martabat, harga diri Tuanku Raja dan kerajaan ini." Semua hadirin terdiam, dan si Hatoban melanjutkan.
"Tetapi, Tuanku Puteri telah bertekad mengakhiri suasana ini dengan....." si Hatoban seolah-olah tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.
"Dengan apa?" bentak raja dengan muka berapi-api.
"Tuanku, Puteri Sri Pandan telah memutuskan bunuh diri dilubuk di Selatan itu."
"Puteriku bunuh diri?" Raja Simargolang terpekik, dunia menjadi gelap seketika baginya dan bajunya basah karena keringat.
"Oh, anakku Sri Pandan. Sampai hati kau berbuat begitu sampai hati meninggalkan ayahanda dan bunda," kata Raja Simargolang setengah meratap. Tetapi kemudian dia bangkit, bagaikan singa lapar dia menampar, menerjang si Hatoban. Raja Simargolang memerintahkan orang-orang yang hadir untuk memukul dan meninjak - injak tubuh si Hatoban.
Walaupun semuanya mereka sudah capek memukul si Hatoban, dia tidak mati dan masih dapat duduk dengan tenang. "Tuanku Raja," demikian si Hatoban berkata.
"Aku memang harus bertanggung jawab atas meninggalnya Tuanku Puteri Sri Pandan. Untuk itu hentikanlah pukulan-pukulan itu tetapi tolong Tuanku suruh orang mengambil tembakau, rendam ke dalam air, lalu peraskanlah air tembakau itu ke atas pusat hamba. Hamba akan segera menyusul kekasihku Sri Pandan." katanya.
Peristiwa meninggalnya Sri Pandan telah menggemparkan kerajaan Simargolang. Seluruh penghuni kerajaan berkabung atas meninggalnya puteri raja yang tercinta. Sejak peristiwa matinya Puteri Sri Pandan di dalam lubuk itu, maka penduduk menamakan lubuk itu Lubuk Emas, sebab Puteri Sri Pandan masuk ke dalam lubuk bersama emasnya.
Beberapa lama setelah peristiwa itu dan kerajaan Raja Simargolang hilang, orang-orang berusaha untuk mengambil emas sang puteri. Tersebutlah pada suatu ketika ada seorang pemancing yang berusaha mengambil emas tersebut. Pemancing itu berhasil memperolehnya sedikit demi sedikit. Tetapi dasar tamaknya, meskipun dia sudah banyak mendapat emas, dia tidak mau berhenti memancing.
Akhirnya seekor burung murai berkata dari atas pohon, "Gotaphon, ngaloloi" (putuskanlah, sudah cukup itu), tetapi tidak diindahkannya. Akhirnya bala pun tiba, sampannya karam dan emas serta sampannya tertelan lubuk emas. Lubuk Emas masih ada sampai sekarang di kampung Teluk Dalam Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan. Luasnya dua rantai atau kira-kira 800 meter persegi dengan kedalaman 15 meter. Air sungai Asahan mengalir melalui lubuk itu, dan biarpun air sungai ini keruh, segera akan menjadi jernih di lubuk ini.
Bagi penduduk yang keputusan uang, dengan niat yang baik mereka akan mendapat ikan bila memancing di lubuk emas ini. Sering orang yang mempunyai hajat yang tertentu meminta berkat dari Lubuk Emas, selalu dengan menyediakan sesajean antara lain beras, kunyit, bunga rampai, bunga cempaka putih sebagai persembahan kepada Puteri Sri Pandan. Lubuk Emas adalah bukti pengorbanan seorang Puteri Raja akan janjinya terhadap seorang pembantu rumah tangga yang dicintainya sendiri.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara
loading...
0 Response to "Kisah Lubuk Emas"
Post a Comment