Alkisah Rakyat ~ Teman-teman mari kita mengenal sebuah dongeng dari Pulau Sawu yang berjudul "Menghilangnya Dua Putra Raja." Dongeng ini banyak diceritakan oleh orang-orang tua masyarakat Timor, Rote, Sumba dan Sawu. Biasanya mereka bercerita kepada anak-anaknya ketika waktu senggang. Dongeng "Menghilangnya Dua Putera Raja," adalah sebagai berikut.
Dahulu kala hiduplah sebuah keluarga yang sangat miskin. Keluarga itu terdiri dari pasangan suami -istri dua orang anak yang masih kecil. Kehidupan keluarga hanya mengandalkan sebidang tanah warisan yang tidak luas. Tanah warisan itu sudah ditanami turun temurun, maka tanah itu sudah tidak subur lagi. Untuk membantu orang tuanya, kedua anak yang masih kecil itu bekerja. Pekerjaan yang mereka lalukan adalah menjadi pengembala kambing milik raja.
Pada suatu sore, ketika mereka hendak mengandangkan kambing -kambing milik raja, turun hujan yang sangat lebat. Keduanya berlari untuk berteduh di sebuah pondok reyot. Pondok itu berantakan, diterjang angin kencang. Akhirnya, keduanya berlari berlindung ke dalam sebuah gua dekat kandang kambing milik Raja.
Kedua anak gembala kecil itu masih terperangkap oleh hujan hingga hampir pukul sepuluh malam. Tiba-tiba Dimu yang berusia 9 tahun menarik lengan kakaknya, Lomi yang berusia 11 tahun.
"Lihat, Kak Lomi, ada dua orang berdiri didekat pagar istana. Kedua orang itu sangat mencurigakan, pasti mereka adalah pencuri. Wah, mereka datang ke arah kita, aku takut, Kak!"
“Ssst, dian. Jangan sampai mereka tahu kita ada disini. Mereka pasti orang yang berniat jahat. Lihat, mereka melangkah sambil mengintip -intip ke arah istana!".
Benar saja kedua sososk hitam itu berhenti tak jauh dari tempat Dimu dan Lomi bersembunyi. Kedua anak itu menahan nafas sambil menempelkan tubuh mereka ke dinding gua.
"Bagaimana, Mak. Aku rasa sudah aman," kata yang laki-laki seraya mengencangkan ikat kepalanya.
"Betul, Pak! " sahut isterinya. "Keadaan sudah sepi. Seisi istana pasti sudah terbuai mimpi semua.Kita berada pada posisi yang tepat. Kita jauh dari penjaga yang sudah terkantuk-kantuk digardu pintu depan!" "Sebenarnya tinggal berapa korban lagi, sih?" tanya isterinya ingin tahu.
"Seluruh syarat yang dituntut ada seratus kepala anak-anak Raja. Mak. Sampai saat ini baru terkumpul delapan puluh sembilan. Berarti masih sebelas kepala lagi tebusnya!"
"Dan sebentar lagi kita akan mendapatkan dua kepala lagi, ya pak?" kata isterinya. Tangaku sudah gatal-gatal. Tak sabar menunggu imbalan yang akan kita terima."
Setelah itu keduanya terpekur. Suaminya komat-kamit membaca mantera-mantera. Keduanya terbang ringan seperti kapas dan hinggap diatas atap istana. Anehnya mereka sampai diistana tanpa mengeluarkan sesuat bunyi apapun.
Lomi dan Dimu menahan nafas tak percaya. Suami- isteri itu tiba -tiba menghilang entah kemana. Sesaatkemudian suami -isteri itu tampak kembali. Masing-masing memanggul sebuah buntelan sebesar guling. Mereka melesat pergi menuju ke hutan lalu hilang ditelan kegelapan. Keesokan harinya istana gempar. Putera Biridoko dan Puteri Mine hilang begitu saja dari tempat tidur mereka. Puter Biridoko berusia 6 tahun dan puteri Minea berusia 4 tahun. Segera prajurit-prajurit diperintahkan untuk mencari keduanya ke seluruh pelosok negeri. Namun upaya itu sia-sia, kedua putera raja itu tidak diketemukan. Seminggu setelah peristiwa itu, pihak kerajaan mengadakan sayembara. Barang siapa yang berhasil menemukan kedua putera raja akan diberikan hadiah yang sangat istimewa. Berduyun-duyunlah para pendekar dan pemberani mendaftarkan diri.
Lomi dan Dimu meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk mengikuti sayembara itu. Terlebih dahulu mereka menceritakan apa yang mereka lihat pada malam terjadinya penculikan. Walaupun berat hati kedua orang tua Lomi dan Dimu mengizinkan anaknya mengikuti sayembara. Petugas istana menggeleng-gelengkan kepala ketika Lomi dan Dimu mendaftarkan diri. Dengan gigih kakak beradik ini meyakinkan kepada petugas bahwa mereka sanggup menemukan putera raja. Akhirnya petugas istana menerima Lomi dan Dimu mengikuti sayembara. Dengan bekal seadanya kakak beradik itu melangkah ke arah hutan tempat suami-isteri jahat itu menghilang. Petang harinya sampailah mereka di tengah hutan. Tiba-tiba keduanya mendengar rintihan orang meminta tolong. Bulu tengkuk kedua anak itu berdiri.
Dimu sudah siap angkat kaki, tetapi kakaknya segera menangkap lengannya. Sungguh tergugah hati Lomi mendengar rintihan yang memilukan, apalgi suara seorang tua tak berdaya. Benar, ternaya ada seorang kakek, kaki kirinya tertindih batang pohon. Dengan sekuat tenaga keduanya berusaha mengangkat batang pohon itu. Kemudian memapah kakek ke pondoknya yang tak jauh dari tempat itu. Sang kakek dan isterinya sangat berterima kasih atas kebaikan Lomi dan Dimu. Sang nenek menahan mereka untuk bermalam dipondoknya. Alangkah terkejutnya kakek dan nenek itu ketika mengetahui bahwa Lomi dan Dimu mengemban tugas kerajaan.
"Apakah cucu berdua sudah tahu masalahanya? Ini masalah yang sangat pelik. Aku dan nenek yang tua renta ini, sejak dulu sangat memahami riwayat Negeri Tasisabu yang durhaka itu." Gumam Kakek Pajilomi yang ternyata orang sakti. "Durhaka?", terdengar desaham Lomi.
"Betul cucu," Nenek Pajilomi menimpali. "Raja Tasisabu yang memerintah saat itu merupakan Raja yang paling kejam di bumi ini. Namun rakyatnya tetap bersabar dan prahatin. Ternyata segala rintihan dan keluhan mereka didengar oleh Dewata. Dengan murkanya, dataran tersebut mendapat kutukan dan tenggelam ke dasar Laut Sabu."
Nenek diam sejenak untuk mengambil nafas, Kakek Pajilomi melanjutkan. "Dasar Raja takabur yang berhati syetan. Di dasar lautpun dia memuja Penguasa Kegelapan yang menguasai dunia laut. Kepada Raja Syetan itu dia meminta pertolongan. Dia memohon agar Kerajaan Tasisabu dikembalikan ke atas permukaan laut seperti sediakala. Raja Syetan mau membantu dengan imbalan seratus kepala putera dan puteri raja sebagai korban."
Lomi dan Dimu mendengarkan hampir-hampir tidak bernafas.
"Maka selama beberapa puluhan tahun ini, mereka menculik putera-puteri raja. Putera-puteri raja itu dari kerajaan-kerajaan Sawu, Timor, Rote dan Sumba," jelas Nenek Pajilomi.
"Dimana putera-puteri raja itu dikumpulkan, Nek? Ataukah mereka langsung dikorbankan?" tanya Lomi ingin tahu.
"Raja Syetan itu tidak mau menerima seratus kepala putera-puteri raja secara diangsur," jawab nenek. "Karena itu putera-puteri raja yang sudah diculik mereka tawan di sebuah pulau yang dikelilingi oleh ribuan buaya ganas sebagai pengawal. Itulah salah satu rintangan yang harus kalian hadapu. Karena itu aku dan Kakek usulkan agar kalian mengurungkan rencana ini!"
"Oh, tidak!' sergah Lomi dan Dimu serentak. "Kami tak akan mundur lagi, walaupun nyawa kami taruhannya. Kami rela mati untuk menyelamatkan putera-puteri raja yang akan dikorbankan itu!"
"Baiklah, kalau itu pendirian kalian berdua!" ucap kedua orang tua renta itu. Kami akan membantu. Sebenarnya kami menyepi di tengah hutan ini dengan harapan suatu saat dapat menemukan pahlawan. Pahlawan yang berani menumpas kejahatan Raja Angkara MUrka itu. Rupanya kalian berdualah pahlawan-pahlawan yang kami tunggu!"
Sang Kakek membekali kedua anak itu dengan mantera untuk menguasai bahasa buaya. Selaian itu, Lomi dan Dimu dibekali sebuah kalung berwarna merah. Sang nenek membekali sehelai daun sieih, sebuah pinang dan sebutir kecil kapur sirih. Masing- masing dengan kegunaannnya sendiri-sendiri. Lomi dan Dimu pun pamit untuk melanjutkan perjalanan tak lupa mereka mengucapakan terima kasih.
Sampailah mereka di temapt yang dicari-cari. Menghadapi pengawal-pengawal Tasisabu, kakak beradik itu memercikkan kapur sirih. Mata para pengawal menjadi perih tak berdaya lalu saling membunuh membabi buta. Sampailah mereka di tepi laut. KUlit pinang yang sudah dibelah dua oleh Sang Kakek di jadikan perahu. Perahu malaju menuju ke dasar laut, tempat Kerajaan Tasisabu berada. Menghadapi pengawal perbatasan, Lomi dan Dimu menutup kepalanya dengan lembaran daun sirih. Ternyata keduanya tidak kelihatan siapapun.
Keduanya menyelinap di antara para pengawal tanpa terlihat oleh para pengawal itu. Dimu segera menarik lengan kakaknya ketika tampak sebuah datran yang tak seberapa besqr. Lomi dan Dimu melihat ada gelang-gelang raksasa yang bergerak mengitari dataran. Keduanya terbelalak dan bergidik.
"Itulah sasaran kita!". Lomi menjelaskan pada adiknya. "Benar seperti kata Kakek kata Kakek Pajilomi. Ribuan buaya mengawal tempat tawanan tersebut. Bagaimana putera-puteri raja dapat meloloskan diri dengan penjagaan ketat seperti itu. Benar-benar kejam. Ayo mari Dimu, kita berangkat!"
Dimu menarik lengannya hingga lepas dari tarikan Lomi. "Tidak kak. Aku tidak berani, hewan-hewan buas itu ribuan banyaknya, Kak, kak, apakah kita dapat menghilangkan diri dari penglihatan mereka? Bagaimana kalau kita gunakan daun sirih penghilang wujud, Kak Lomi?"
"Tidak mungkin Dimu. Itu cuma untuk mausia, bukan untuk hewan. Menghadapi buaya-buaya itu, kita gunakan mantera-mantera seperti pesan kakek, Ayo cepat!"
Dengan berat hati Dimu melangkah sambil diseret oleh kakaknya yang agak jengkel. Mereka tiba di ujung tanjung yang berdekatan dengan tempat tawanan. Buaya-buaya itu segera melihat lalu menggelepar buas. Beramai-ramai meluncur ke arah kedua kakak-beradik itu.
"Pejamkan matamu Dimu!" Lomi lalu mengucapkan mantera yang diberikan oleh kakek. Suara riak dan gejolak air yang terdengar tadi oleh geleparnya para buaya, tiba-tiba menjadi hening. Selesai mengucapkan mentera Lomi dan Dimu membuka mata.
Tujuh ekor buaya sangat besar berdiri diam bagaikan terpekur dihadapan Lomi dan Dimu. Buaya terdepan yang paling bear mengangkat kepalanya menatap kedua anak itu. Entah bagaimana, LOmi dan Dimu dapat berbicara dengan hewan-hewan itu.
Persiapan untuk membebaskan para tawanan pun dibuat sebaik mungkin. Pagi-pagi seluruh Kerajaan Tasisabu menajdi gempar. Malapetaka terjadi disana. Raja syertan penguasa laut menjadi murka atas lenyapnya korban yang akan dipersembahkan padanya.Dia menumpas ini istana Raja Tasisabu karena dianggap pembohong dan penghianat yang tidak dapat dipercaya.
Sebaliknya, Limo dan Dimu telah membawa kembali putera-puteri raja dengan armada buayanya. Putera-puteri raja yang sakit diusap dengan buah pinang. Dalam sekejap saja mereka sembuh.
Sampailah mereka di pantai dekat istana raja. Orang-orang menyambut dengan bangga dan takjub atas keperkasaan dan keberhasilan bocah penggembala kambing raja. Mereka terbelalak ngeri melihat ribuan buaya yang meliuk dan berbaris. Kemudian dari punggung-punggung buaya itu turunlah putera-puteri raja. Buaya-buaya itu segera berjemur ke atas pasir. Sambutan kepada kakak beradik ini lama kelamaan makin sepi, karena orang-orang ketakutan melihat buaya. Ditambah dengan bau amisnya yang tidak tertahankan.
"Aku juga sudah mau muntah," kata Lomi, "Tapi bersabar sampai semuanya sudah turun dari punggung-punggung buaya. Nah, itu Putera Biridoko dan Puteri Minea. Kau antar keduanya pada ratu. BIar dia senang dan tak sampai muntah. Pertemuan tampak sangat mengharukann dan penuh dengan air mata bahagi dan sukacita.
Segera Lomi menghampiri buaya yang paling besar yang merupakan panutan buay-buaya lainnya. Kemudian mengalungkan tali kalung brwarna merah yang diberikan oleh Kakek Pajilomi. Sebentar saja buaya-buaya itu telah berubah wujud menjadi manusia. Betapa gemparnya suasanan saat itu.
"Ya, kami adalah rakyat Kerajaan Tasisabu yang ikut terkutuk kerena ulah raja kami yang lalim. Kami berterimakasih kepada kedua pahlawan cilik dan pemberani dari Karajaan Sabu ini.
Hadiah yang diberikan kepada Lomi dan Dimu adalah sangat istimewa. Bila Dimu dewasa, ia akan dijadikan Panglima Perang Kerajaan, sedangkan Dimu akan dijadikan Hulubalang Pengawal Istana. Mulai saat itu Lomi dan Dimu beserta kedua orang tuanya tinggal di istana dan hidup berbahagia.
Nah, teman-teman, selesailah dongeng tentang "Menghilangnya Dua Putera Raja. " Banyak pelajaran yang dapat diambil dari gongeng itu. Salah satunya adalah tentang kesabaran dan sikap pantang menyerah. Dengan kesabaran dan sikap pentang menyerah, akhirnya Lomi dan Dimu bahagia, ingin tahu lebih banyak tentang orang Sawu? Yuk kita lihat bagian berikutnya.
Sumber : Seri Pengenalan Nusantara, Kisah Rai Hawu Di Nusa Tenggara Timur
loading...
0 Response to "Dongeng Dari Negeri Sawu: Menghilangnya Dua Putra Raja"
Post a Comment