Alkisah Rakyat ~ Gouw Wi Wean yang kurus karena berpenyakitan bertambah kesal hatinya jika memikirkan penghasilannya sebagai kuli pada bengkel Droogdok Maatschappij di Ancol. Ia tinggal bersama keluarganya di Gang Lonceng Encim Soei istrinya dan Gouw Hian Nio anak gadisnya, yang terdidik menurut adat asli Tionghoa sehingga tingkah lakunya tidak seperti kebanyakan gadis-gadis lain. Lagi pula Hian Nio berparas sangat elok, bertabiat baik.
Meskipun Wi Woen hanya bekerja sebagai tukang besi yang mendapat upah harian, tambahan pula ia sering sakit-sakit yang mengakibatkan acapkali kekurangan uang atau hidup penuh kemiskinan, akan tetapi adatnya tinggi sekali, wataknya terpuji. Ia benci kepada perbuatan jahat, memandang sesama manusia semua rata, tidak peduli hartawan, miskin, berderajat rendah, tinggi dan sebagainya serta suka akan perbuatan yang baik.
Pada suatu hari Wi Woen merasa kesal sekali. Sudah dua hari tidak masuk bekerja karena sakit. Baru saja ia akan berangkat bekerja hujan turun dengan derasnya. Ini berarti tiga hari tidak mendapat upah. Encim Soei yang masih repot didapur, dalam hati cemas memikirkan suaminya yang pasti tertimpa hujan. Ketika ia kembali ke ruang tengah dan melihat suaminya masih duduk di rumah, dengan gembira ia berkata: "Ai, baeknya kau tida pergi kerja. Tempo aku lagi masakpun, aku merasa berkuatir saja kau pergi, karena kau punya penyakit baru sembuh dan nanti jadi kambu lagi lantaran ketimpa hujan."
Ucapan isterinya telah diterima dengan salah oleh Wi Woen hingga timbullah pertengkaran. Tetapi dengan sabar Encim Soei menjelaskan isi hatinya sehingga Wi Woen menjadi sabar, lalu mereka melanjutkan percakapannya. Wi Woen tetap bertopang dagu, sedangkan istrinya sambil mengunyah sirih dan memainkan sisik tembakaunya ke kiri ke kanan. Kemudian ia menceriterakan impiannya sebagai berikut: Dalam impiannya Encim Soei melihat rumahnya dilanda banjir. Ketika Wi Woen suaminya beserta anak-anaknya Hian Nio sedang berusaha menyingkirkan/menyelamatkan beberapa alat rumah tangga, tiba-tiba dari luar menerobos seekor ular belang menerjang Hian Nio. Melihat bahaya tersebut Wi Woen segera memberikan pertolongan tanpa menggunakan sesuatu alat. Kepala ular itu tertangkap, tetapi badannya masih bisa membelit tubuh Wi Woen disekitar pinggang sehingga Wi Woen tidak dapat bergerak lagi. Melihat keadaan itu Encim Soei menjerit lalu tersadari dari tidurnya.
Wi Woen yang tidak percaya kepada takhyul, tidak percaya bahwa impian tersebut ada anaknya. Sebaliknya Encim Soei yang masih percaya terhadap takhyul hatinya tidak pernah merasa tenang apabila teringat kepada impiannya. Dibelakang rumah Wi Woen adalah sebuah kampung yang terdiri dari beberapa rumah pondok. Satu diantaranya dihuni oleh bibi Coan dengan seorang anaknya bernama Coan Hie yang sudah berumur 21 tahun. Ayahnya telah meninggal ketika Coan Hie masih berumur 7 tahun. Karen tidak terdidik dengan baik, mka Coan Hie tidak saja terkenal sebagai penjudi, tetapi juga kejam dan suka berkelahi. Ia pun menjadi tukang pukulnya seorang muda hartawan bernama Tan Siong Wie yang tinggal di Pasar Baru dan baru saja menerima warisan mendiang ayahnya yang sangat besar jumlahnya.
Siong Wie adalah seorang muda yang terkenal royal serta pemboros untuk hal-hal yang tidak pantas. Sesudah ayahnya meninggal, istrinya ditinggalkan. Seringkali ia tidak pulang ke rumahnya berpelesiran dengan bunga-bunga berjiwa atau berjudi. Kemudian ia mendirikan sebuah tempat hiburan di Kampung Baru yang diberi nama "Udara Terbuka". Pikiran-pikiran buruk Siong Wie semakin buruk karena saran-saran yang diterimanya dari tukang pukulnya, yakni Coen Hie. Pada waktu itu Siong Wie mempunyai seorang gula-gula bernama Santintan. Seorang wanita yang tidak begitu elok parasnya tetapi sangat pandai merayu berasal dari Bandung. Sebenarnya Siong Wie sudah mulai bosan terhadap Sarintan semenjak ia melihat seorang gadis cantik di Bogor.
Pada suatu hari ia mengajak Coan Hie ke Bogor untuk "menangkap" gadis idamannya. Tetapi sayang keluarga mereka sudah pindah dari tempatnya semula dan tiada seorangpun tahu kemana. Siong Wie sangat masgul dan bersedih hati, karena sukar sekali melupakan gadis impiannya. Coan Hie berusaha keras menghibur majikannya, dan akhirnya ia mencoba mengalihkan perhatian Siong Wie kepada Hian Nio, anak Wi Woen di Gang Lonceng. Setelah Siong Wie melihat paras Hian Nio, mendadak sontak lupalah dia kepada gadis Bogor, berubah tergila-gila kepada gadis miskin di Gang Lonceng.
Atas nasehat Coan Hie, Siong Wie minta pertolongan Encim Leng, seorang janda yang mahir berbicara tetapi jujur, diminta untuk melamarkan Hian Nio. Encim Leng yang jujur itu tidak mungkin untuk tidak mengatakan kepada Encim Soei (ibu Hian Nio), bahwa Siong Wie sudah beristri. Dengan kata lain Encim Leng menjelaskan bahwa Hian Nio akan dijadikan istri kedua. Lamaran Siong Wie dengan tegas oleh si miskin Wi Woen ditolak, cemas jika anaknya dijadikan permainan. Bukan main sakit hati Siong Wie, akan tetapi tak terhingga pula hancur luluh hati Siong Wie, sehingga sudah tak enak makan tidur. Kesehatan dirinya semakin memburuk. Kembali Coan Hie memberikan sarannya, bagaimana cara yang terbaik untuk mempersunting Hian Nio. Siong Wie timbul lagi harapannya lalu menyerahkan uang sebanyak f. 50 kepada Coan Hie, yang esok paginya menuju Cirebon dengan kereta api. Lalu naik dokar ke arah gunung Ciremai, masih dilanjutkan lagi dengan jalan kaki selama dua jam, barulah ia sampai dirumah seorang dukun yang dikabarkan sangat manjur dan mustajab segala mantranya. Namun kemudian ternyata pula bahwa segala guna-guna dan kemat mantra dari dukun tersebut tidak berdaya sekali untuk memenuhi keinginan Siong Wie.
Disebabkan oleh usaha dan daya upayanya selalu gagal, dalam hati Siong Wie timbul dendam terhadap Wi Woen dan memikirkan cara-cara bagaimana agar bisa mencelakakannya. Dengan sendirinya Siong Wie tidak melupakan Tjoen Hie. Berdua mereka mencari tempat yang sepi untuk merencanakan niat jahatnya. Akhirnya mereka sepakat untuk menfitnah Wie Woen sebagai penjual candu gelap. Sebungkus apyun akan ditaruh dirumah Wi Woen secara gelap, kemudian melaporkannya kepada polisi, yang pasti akan segera menangkap Wi Woen dan memenjarakannya. Benarlah, tidak lama sesudah orang suruhan Siong ie yang meletakkan candu dikolong dipan dirumah Wi Woen pergi, polisi yang menerima surat gelap datang ke rumahnya, menggeledah dan menemukan candu yang dicarinya. Pukul lima sore mantri polisi datang lagi menangkap Wi Woen.
Penganiayaan terhadap diri Wi Woen sudah menjadi buah tutur orang banyak, menjalar sekeliling kota Betawi, dan sampai juga ke telinga Oeji Ho Liang, seorang pemuda yang berhati mulia yang senang sekali menolong sesama manusia tanpa memandang bangsa dan keturunan. Ho Liang adalah anak Oeji Coei Hong, seorang saudagar gula yang berniaga di Pintu Kecil dan hartawan serta dermawan. Oleh karena anaknya sudah cukup umur maka segala urusan perdagangan diserahkan oleh ayahnya kepada si anak.
Selain budiman, Ho Liang juga seorang pemuda yang pintar lagi berparas tampan. Rasa keadilan bertahta dalam hatinya, serta benci terhadap segala macam perbuatan jahat. Ketika ia mendengar ceritera Wi Woen yang teraniaya dan bagaimana kesengsaraan yang dialami oleh ibu dan anak yang ditinggalkan hatinya terus saja tergugah dan berniat hendak memberikan pertolongan. Tetapi ia masih berpikir-pikir bagaimana dan dengan perantaraan siapa ia akan menolong Encim Soei dan anaknya karena ia sama sekali belum kenal dengan keluarga itu.
Kebetulan sekali pada suatu hari datanglah seorang sahabatnya yang bernama Coa Kong Cauw, juga seorang pedagang gula kecil-kecilan yang hatinya juga mulia. Mereka berdua tak luput membicarakan juga persoalan Wi Woen. Kong Cauw menyatakan seandainya ia seorang hartawan, pasti ia akan menolong Wi Woen sekeluarga. Akhirnya kedua pemuda itu sepakat untuk meminta pertolongan seorang advocaat yang akan membela Wi Woen dalam pengadilan kelak. Selain itu Ho Liang juga mengirimkan uang sebanyak f 50 kepada nyonya Wi dengan perantaraan Kong Cauw. Semula nyonya Wi tidak mau menerima perantaraan itu, tetapi setelah Kong Cauw menjelaskan dengan cermat dan terang siapa dan bagaimana perangai orang yang mengirimkannya dan dengan maksud apa ia menolong, maka barulah uang itu diterima. Berkat pembelaan dari advocaat Wi Ho Liong, akhirnya Wi Woen dibebaskan dari segala tuduhan memperdagangkan candu secara gelap. Penghidupan yang sangat susah sudah menjadi saksi yang nyata betapa muslihatnya ia melakukan perbuatan serupa yang dituduhkan kepadanya oleh surat gelap kepada polisi. Hal itu pasti hanya merupakan fitnahan dan aniaya belaka.
Ketika Encim Soei beserta anaknya menjemput suaminya ke pengadilan, mereka bertemu dengan Kong Cauw dan Ho Liang. Perkenalan pertama antara Ho Liang dengan Hian Nio sudah menimbulkan kesan yang tidak baik diantara keduanya. Terlebih-lebih setelah mereka bersama-sama pergi ke rumah Wi Woen, semakin tertariklah Ho Liong terhadap Hian Nio. Secara ringkas dapatlah dituturkan bahwa pada akhirnya Ho Liang menikah dengan Hian Nio, meskipun semula ayah Ho Liang menghalang-halanginya. Mereka hidup berbahagia, dan Wi Woen pindah pekerjaan ke tokonya Ho Liang.
Sekarang marilah kita ikuti kembali keadaan Siong Wie dan Coan Hie yang telah menganiaya Wi Woen, akan tetapi usahanya gagal karena campur tangan Ho Liang. Mereka merasa sakit hati, akan tetapi tidak berani untuk membuat pembalasan, karena mengetahui bahwa sang penolong bukan tandingannya, baik dalam hal harta maupun pengaruhnya. Lebih sakit lagi hati Siong Wie setelah mengetahui bahwa Hian Nio kawin dengan Ho Liang.
Bolehlah dikatakan keadaan Siong Wie ibarat : orang habis besi binasa. Hartanya semakin menipis karena dihabiskan dimeja judi. Dan nasib selanjutnya dapatlah dikatakan sebagai : Sudah jatuh dihimpit tangga. Betapa tidak? Sarintan yang merasa tersia-sia selama Siong Wie menginginkan gadis Bogor dan memburu Hian Nio, kini setelah melihat babahnya bangkit lalu mulai bertingkah, seolah-olah hendak membalas dendam. Ia lalu mengadakan hubungan gelap dengan lelaki lain, meskipun pada lahirnya ia masih setia kepada Siong Wie. Lama kelamaan hubungan gelap dengan lelaki lain ketahuan juga, sehingga Siong Wie berunding dengan Coan Hie, mencari daya untuk mencelakakan Sarintan dan kekasihnya.
Pada suatu hari Siong Wie dan Coan Hie berpura-pura pergi ke Bandung untuk beberapa hari lamanya. Pagi-pagi benar mereka sudah berangkat meninggalkan Udara Terbuka, tetapi sebenarnya hanya bersembunyi disekitar tempat itu. Sarintan yang menduga bahwa Siong Wie bersama Coan Hie benar-benar pergi ke Bandung serta merta memanggil kekasih gelapnya supaya datang ke Udara Terbuka. Selagi mereka berdua becengkerama di dalam kamar, tiba-tiba Siong Wie dan Coan Hie datang menangkap basah Sarintan dan kekasihnya.
Ketika kekasih Sarintan ditarik keluar dari kolong tempat tidur, Siong Wie sudah tidak dapat menahan nafsu amarahnya. Ia mencabut pistolnya dan menembak Sarintan dan kekasihnya sehingga kedua-duanya terkapar ditanah dan mati seketika itu juga. Kebetulan sekali sewaktu Siong Wie melepaskan tembakan, ada serombongan polisi ronda lewat di depan rumah itu. Dengan segera polisi-polisi itu menerobos masuk dan menangkap Siong Wie dan Coan Hie yang sudah tidak bisa memungkiri perbuatan jahatnya. Setelah diperiksa perkaranya, hakim memutuskan hukuman penjara dua puluh tahun dalam perantean terhadap Siong Wie dan Coan Hie.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
loading...
0 Response to "Kejahatan Nafsu"
Post a Comment