Alkisah Rakyat ~ Pada zaman dahulu ada seorang nenek bernama Sinsimonyi atau Sinsi. Nenek Sinsi selalu hidup menyendiri. Pondok tempat tinggalnya terletak di lereng gunung Dafonsoro, disebelah barat daya kota Jayapura. Dari gunung tempat tinggalnya itu ia dapat memandang jauh ke utara, ke lautan nan biru. Itulah lautan yang terkenal dengan nama Samudra Pasifik atau Lautan Teduh. Dari situ ia juga dapat menikmati pemandangan sebuah teluk yang indah. Di sekeliling teluk yang melekuk ke darat itu terdapat kampung-kampung yang bersih. Teluk itu bernama Teluk Yotefa. Dari tempat tinggal Nenek Sinsi ini dapat pula dinikmati pemandangan alam. Bukit-bukit yang tampak kebiru-biruan mengelilingi Danau Sentani yang jernih kemilau. Karena keindahan alam itulah Nenek Sinsi betah tinggal bertahun-tahun di Pegunungan Dafonsoro. Setiap hari ia menikmati pemandangan indah itu sambil membatin tentang kampung di kejauhan beserta penduduknya.
Sebaliknya, penduduk kampung-kampung di sekitar Teluk Yotefa dan Danau Sentani sangat takut, bahkan menaruh benci kepada Nenek Sinsi. Nenek itu terkenal sangat jahat karena sering membunuh bayi-bayi yang baru lahir sebagai makanannya. Setiap kelahiran bayi-bayi, Nenek Sinsi pasti mengetahuinya. Ia dapat menyihir embun dan awan untuk memberi isyarat kepadanya. Di mana ada bayi lahir, walau disembunyikan, embun dan awan selalu menunjukkan tempatnya dengan membuat tiang asap yang mengepul lurus ke langit. Awan dan embun tidak pernah salah, tepat di bawah tiang asap yang dibuatnya pasti ada seorang ibu yang melahirkan. Bertahun-tahun, sejak Nenek Sinsi mendiami daerah itu, tak seorang anak kecil pun yang kelihatan di kampung-kampung disekitar Pegunungan Dafansoro. Semua tingkah laku Nenek Sinsi itu menyebabkan orang sangat membenci dan jijik kepadanya. Walaupun demikian, tak seorang pun dari warga kampung-kampung di sana yang berani melawan atau berniat memusnahakan Nenek Sinsi. Karena nenek itu selain suka memakan bangkai, juga tukang sihir yang sakti dan licik.
Kalau Nenek Sinsi akan mengambil seorang bayi untuk santapannya, ia bertandang ke rumah ibu yang baru melahirkan. Di sana Nenek Sinsi pura-pura mengurus ibu dan bayinya yang baru lahir itu. Ia bersedia mengambilkan daun-daunan dan akar-akaran untuk diramu sebagai obat, juga memandikan dan menggendong bayi itu. Tetapi manakala si ibu lengah, maka nenek yang jahat itu segera melarikan bayi itu ke pondoknya di lereng Gunung Dafonsoro. Bayi itu kemudian dibunuh dan dimasak sebagai santapannya. Makin lama orang-orang di sekitar Pegunungan Dafansoro semakin berkurang jumlahnya. Orang-orang yang sudah tua sebentar lagi akan mati. Sedang setiap bayi yang lahir pasti pula mati ditangan Nenek Sinsi. Dengan demikian tidak akan pernah ada anak-anak kecil yang manis, yang kemudian menjadi remaja dan dewasa di daerah itu.
Tragedi Keluarga Woiy
Konon, di sebuah kampung di Teluk Yotefa tinggallah satu keluarga, yaitu Woiy dan istrinya, Moni. Oleh orang-orang sekampung mereka dipanggil "Bapa Waoiy" dan "Mama Moni". Pada waktu itu, Mama Moni baru melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan manis. Embun dan awan segera membubung tinggi memberi isyarat kepada Nenek Sinsi, yang segera tahu apa artinya. Maka segeralah ia bertandang ke rumah Mama Moni yang baru melahirkan itu. Mama Moni tidak merasa takut kepada nenek sihir itu, meskipun ia telah mendengar cerita banyak orang tentang Nenek Sinsi. Baik Mama Moni maupun Bapa Woiy, suaminya, tidak takut pada Nenek Sinsi. Oleh karena itu mereka menerima Nenek Sinsi dengan baik di rumahnya. Maka tinggallah Nenek Sinsi untuk beberapa hari bersama Bapa Woiy, Mama Moni dan bayinya. Mereka sepakat untuk menyerahkan bayi itu untuk dirawat Nenek Sinsi.
Pada suatu hari Mama Moni hendak berpergian. Kepada Nenek Sinsi ia berpesan, "Nenek Sinsi, saya akan pergi ke kebun. Tinggallah bersama bayi itu di rumah."
"Baik Moni," jawab Nenek Sinsi.
Sepeninggal Mama Moni, Nenek Sinsi tersenyum gembira, Betapa tidak, karena saat yang dinanti-nantikannya kini telah tiba, yaitu untuk melakukan niat buruknya. Setelah ia membereskan pekerjaan yang belum selesai, segera Nenek Sinsi mendekati si bayi merah yang sedang tidur di dalam ayunan. Bayi itu diangkatnya lalu diletakkan di pangkuannya. Kemudian dengan sekuat tenaga leher bayi itu dicekiknya sampai mati. Nenek Sinsi menyeringai gembira, niatnya kini telah terlaksana. Ketika Mama Moni dan suaminya tiba kembali di rumah, Nenek Sinsi sedang berpura-pura menangisi bayi itu. Lalu ditanyakan oleh Mama Moni, "Ada apa dengan bayi saya Nenek Sinsi?" Nenek Sinsi tidak menjawab, bahkan bertamba keras dan sedih tangisnya. Oleh alangkah sedihnya Mama Moni setelah melihat bayinya sudah tak bernyawa lagi. Kemudian mayat bayi itu dimandikan dan dibungkus, lalu dikuburkan.
Sebetulnya semua orang sudah mengerti, itu tentu perbuatan Nenek Sinsi. Mama Moni kini baru percaya dan menyesali tindakannya yang tidak hati-hati. Tetapi tak seorang pun berani menyatakannya di depan Nenek Sinsi. Keesokan harinya, Nenek Sinsi meminta diri untuk pulang ke pondoknya. Maka, apabila hari telah gelap, ia pun segera kembali untuk menggali dan mengambil mayat bayi itu. Setelah peristiwa itu, Mama Moni dan Bapa Woiy lebih mawas diri dalam pergaulan dengan siapa saja. Mereka mulai melatih diri dengan berbagai ketrampilan mempergunakan alat-alat perang seperti tombak, parang, atau golok dan panah. Mereka juga berguru pada orang pandai.
Si Kembar
Selang dua tahun kemudian, Mama Moni melahirkan lagi. Kini bukan hanya seorang bayi, melainkan dua bayi kembar yang begitu sehat dan tampan rupanya. Kedua-duanya laki-laki. Seperti biasanya, embun dan awan pun lalu membubung tinggi untuk memberitahukan Nenek Sinsi. Nenek sihir itu segera pula datang ke rumah Mama Moni. Tetapi kini Mama Moni telah mengetahui akan niat jahat Nenek Sinsi. Maka itu, sebelum nenek sihir itu tiba, kedua bayinya telah disembunyikan. Bayi-bayi itu dimasukkan ke dalam sebuah tempayan besar, lalu disembunyikan dengan rapi di salah satu sudut kamar. Kemudian Mama Moni membalutkan rumput-rumput pada perutnya agar tetap kelihatan seperti orang hamil. Ketika Nenek Sinsi tiba, nenek itu sangat heran melihat Mama Moni ternyata masih hamil besar. Padahal embun dan awannya tidak pernah keliru. Ia merasa cemas dan bingung. Maka itu Nenek Sinsi kemudian kembali ke pondoknya dengan sangat kecewa.
Setelah merasa aman benar dan tak ada kemungkinan Nenek Sinsi akan kembali lagi, barulah Mama Moni mengeluarkan kedua bayi kembarnya itu dari temayan. Hari berganti hari musim pun berubah. Kedua bayi kembar itu terus tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang perkasa, cerdas dan tangkas. Keduanya diberi nama Monoi dan Mawai. Oleh ibu bapaknya Monoi dan Mawai dilatih dengan berbagai ketrampilan dan ketangkasan, seperti berlari, melempar tombak, memanah, dan sebagainya. Tak lupa pula ilmu mengendalikan diri. Setelah dirasa si kembar Monoi dan Mawai cukup tangkas dan trampil mempergunakan senjata, mereka lalu disiapkan untuk berlaga. Masing-masing diperlengkapi dengan busur dan anak panah, tombak, serta segulung tali yang dipintal dari serat kulit pohon melinjo. Setelah segala perlengkapannya siap, maka berpesanlah Mama Moni.
"Wahai anak-anakku, busur dan anak panah yang mama berikan kepadamu itu adalah untuk membunuh nenek Sinsi, si nenek sihir yang jahat itu. Pergilah kalian dan carilah ia ke pondoknya di lereng Gunung Dafonsoro itu. Dialah nenek jahat yang telah membunuh kakakmu dahulu dan semua bayi di sekitar daerah Dafonsoro ini. Ketika kamu masih bayi, mama menyembunyikan kalian di dalam tempayan hingga selamat sampai kini dan menjadi besar. Dapatkah anakku berdua membunuh nenek sihir itu?" "Kami sanggup membunuhnya, Mama !" kata Monoi dan Mawai hampir serempak dengan bangganya. "Berilah kami doa dan pegangan!"
Mama Moni begitu terharu dan bangga terhadap kedua anak kembarnya itu. Oleh karena itu dengan penuh rasa kasih Mama Moni berkata, "Bila demikian anak-anakku, dengarlah pesan mama. Berangkatlah sekarang juga. Peganglah terus ujung tali pintalan ini dalam perjalananmu. Sementara kalian berjalan, mama akan mengurai buntalannya. Bila kalian dapat membunuh Sinsimonyi, maka tali ini akan bergerak dan dengan demikian mama tahu bahwa Sinsimonyi telah musnah di tangan kalian.
Pembalasan
Setelah mendengar mamanya berkata demikian, kedua pemuda kembar itu segera memegang ujung tali. Lalu berangkatlah mereka dengan hati-hati ke arah pondok Sinsimonyi. Dari jauh Mama Moni berdoa dan tetap berharap agar kedua anaknya berhasil. Ketika si kembar itu tiba di pondok Nenek Sinsi, nenek itu sedang tidur nyenyak. Setelah mereka dapat menyaksikan wajahnya dari dekat, mereka tak dapat lagi menahan rasa dendamnya. Keduanya segera menyiapkan busur dan anak panah. Kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka menarik busur, dan terlepaslah anak panahnya. Hampir serempak kedua anak panah itu mengenai pada dada Nenek Sinsi.
Nenek Sihir itu meraung-raung kesakitan. Kesaktiannya tak dapat lagi dikerahan. Darah mengucur dengan deras dan tubuhnya mulai melemah. Tahulah ia bahwa ajalnya akan segera tiba. Maka ia berpesan pada si kembar, "Wahai pemuda-pemuda yang gagah, kini ajalku hampir tiba. Aku tahu kalian anak yang tangkas lagi jujur. Aku memang banyak berbuat dosa. Tapi kumohonkan, agar mayatku jangan dikuburkan. Bakarlah dengan kayu rauh, yaitu sejenis kayu gabus. Kemudian taburkanlah antara pondokku ini sampai ke kediaman Moni dan Woiy orang tua kalian." Sesudah berkata demikian matilah Nenek Sinsi, si tukang sihir yang jahat itu.
Sementara itu di rumah Mama Moni, tali pintalan yang ujungnya sedang dipegang oleh anak-anaknya tiba-tiba bergerak kuat sekali. Maka tahulah ia bahwa Nenek Sinsi telah mati. Ia sangat bersuka cita. Begitu pula Bapa Woiy, suaminya. Kabar gembira itu lalu cepat tersiar ke seluruh daerah Dafonsoro. Maka semua orang pun bersuka ria, menari-nari dan menyanyi. Kedua pemuda kembar itu kemudian melakukan apa yang diminta oleh Nenek Sinsi. Mayatnya dibakar, abunya disebarkan di antara pondok Sinsimonyi dengan pondok tempat tinggal mereka. Tetapi alangkah terkejutnya kedua pemuda kembar itu atas hasil pekerjaannya itu. Tiba-tiba terjadi sesuatu diluar dugaan mereka. Semua orang yang pernah dibunuh oleh Sinsimonyi hidup kembali. Satu demi satu mereka berjalan menuju kampung dan mencari sanak-saudaranya. Begitu juga dengan kakak kedua pemuda kembar itu.
Untuk menampung orang banyak itu, maka seluruh penduduk kampung beramai-ramai bekerja, bergotong-royong membanguan rumah-rumah baru, sehingga kampung-kampung kecil itu menjadi kampung yang besar. Sekarang anak-anak kecil dapat bermain-main sendiri. Bayi-bayi dilahirkan tanpa rasa takut. Bahkan semua orang tak perlu merasa takut lagi karena Sinsimonyi, si nenek sihir itu telah mati berkat kepahlawanan pemuda kembar Monoi dan Mawai. Akhirnya kedua pemuda kembar itu diangkat oleh warga kampung menjadi panglima perang.
Oleh G. Azayni Ohorella
loading...
0 Response to "Sinsimonyi Si Nenek Sihir (Cerita Rakyat Sentani)"
Post a Comment