Batu Kapal Dan Burung Kakak Tua ~ Di kawasan Indonesia bagian Timur terbentang luas satu kepulauan yang terkenal dengan nama kepulauan Maluku. Sering daerah ini diungkapkan dengan nama "Kepulauan Seribu Pulau," sebab konon kabarnya provinsi kepulauan ini terdiri dari 999 buah pulau. Daerah Maluku di bagi atas tiga daerah kultural, yaitu daerah kultural Maluku Utara, daerah kultual Maluku Tengah, dan daerah kultural Maluku Tenggara. Kepulauan Maluku Tenggara terdiri dari beberapa kepulauan, diantaranya Kepulauan Kei, Kepulauan Kei terdiri dari sekian banyak pulau antara lain pulau Kei Kecil di mana pada pulau itu terletak kota Tual ibu kota Kabupaten Maluku Tengara.
Ceritera rakyat yang berbentuk dongeng ini terdapat di pulau Kei Kecil, dimana di sana terletak negeri Revav. Di depan negeri ini terdapat sebuah pulau karang yang oleh sebagian penduduk dikenal dengan nama "Wat-Hilaai" artinya Batu Besar, sebab menurut penduduk batu tersebut merupakan batu yang terbesar di negeri atau desa tersebut. Bagian penduduk menamakan batu tersebut "Batu Kapal," karena bentuknya menyerupai sebuah kapal di tengah laut. Pulau ini panjangnya lebih kurang 12 meter dan lebarnya lebih kuang 6 meter. Di atas pulau ini hampir tidak ada tumbuh-tumbuhan kecuali beberapa anakan kayu, yang tumbuh di sana tetapi sangat merana karena pulau tersebut semata-mata pulau karang dan bilamana omak besar maka seluruh pulau tersebut dibasahi air laut.
Menurut penduduk Revav, nama yang sebenarnya dari pulau tersebut ialah "Wat-Hilaai" baru kemudian ada yang menamakannya "Wat Kaba." Dahulu kala ada sebuah kapal berlayar yang berbendera Hitam Putih. Kapal itu nampaknya berlayar dari bagian selatan pesisir Barat pulau Kei Besar menuju ke arah Utara pulau Kei Kecil. Pada saat itu berhembuslah angin Timur disertai ombak dan gelombang yang sangat menakutkan. Ketika kapal tersebut berlayar melewati laut di desa atau negeri Revav, nampaknya oleh nakhoda kapal tersebut suatu pantai yang menjorok ke dalam dimana terletak negeri Revav tersebut membentuk suatu teluk besar. Menurut perkiraan nakhoda tersebut situasi laut diteluk itu pasti tidak berombak dan pasti laut di sana cukup dalam serta aman untuk berlabuh sementara menghindarkan diri dari amukan ombak yang melanda kapal mereka.
Segera nakhoda memerintahkan mualimnya untuk mengambil haluan menuju teluk tadi, karena matahari pada saat itu sudah condong ke barat dan sebentar lagi mereka akan dicengkeram oleh kegelapan malam. Pada waktu itu air laut sedang mengalami pasang surut dan kapal tadi bergerak dengan asyiknya mencari tempat perlindungan ke arah teluk tadi. Belum lama kapal itu mengarah ke teluk itu, tiba-tiba seluruh awak kapal itu terkejut karena kapal mereka sudah karam di sekitar Wat-Hilaai. Mereka sebelumnya tidak menyangka bahwa laut di sekitar Wat-Hillai itu sangat dangkal. Nakhoda laut memerintahkan seluruh anak buahnya untuk berusaha menyelamatkan kapal mereka dari malapetaka karam tadi. Mereka berusaha keras sepanjang malam itu, namun segala usaha mereka sia-sia adanya.
Kemudian mereka berusaha memintakan bantuan dari penduduk negeri Revav untuk membantu mereka agar secara bersama-sama berusaha melepaskan kapal yang malang itu dari malapetakanya. Segala ikhitiar yang diusahakan oleh anak buah kapal tadi bersama-sama penduduk negeri Revav tidak mendatangkan hasil apa-apa malah kapal tadi bertambah rusak. Penduduk negeri Revav lalu pulang kembali ke desa mereka, sedang seluruh awak kapal tersebut tidak bersedia untuk meninggalkan kapal mereka. Dalam beberapa waktu mereka hidup dari persediaan perbekalan yang ada di kapal itu, walaupun perbekalan yang ada makin hari makin menipis, seluruh awak kapal tersebut tidak bersedia untuk turun ke daratan negeri Revav untuk menyelamatkan hidup mereka, karena mereka tidak mengerti bahasa negeri itu.
Tatkala perbekalan sudah menipis maka semua awak kapal tidak lagi mendapat makan. Hal ini disebabkan karena pada kapal yang malang itu turut serta istri dan seorang anak kecil yang berumur tiga bulan dari nakhoda kapal tersebut, di mana persediaan perbekalan yang ada hanya dikhususkan kepada istri dan sang bayi tadi. Dengan demikian satu demi satu awak kapal itu meninggal karena lapar dan dahaga, termasuk nakhoda kapal tadi, sehingga kini yang masih tinggal dan hidup di kapal itu hanyalah istri nakhoda dan bayinya saja. Ketika nakhoda kapal itu meninggal, maka sang istri dengan air mata yang bercucuran terpaksa menghanyutkan mayat suami tercintanya di laut sekitar kapal tersebut karam.
Beberapa hari sesudah kepergian sang nakhoda tadi, pada satu malam nakhoda itu menampakkan diri di dalam mimpi kepada istrinya sambil berkata: "Sebaiknya engkau bersama anak tercinta kita berusaha meninggalkan kapal yang malang ini, agar kau dan anakku tidak akan direnggut oleh maut, dan biarlah saya sendiri yang menunggu kapal ini, saya tidak akan pergi meninggalkan kapal ini, saya akan senantiasa berada di atas kapal ini. Bilamana engkau ingin melihatku besok pagi engkau harus naik ke atas pulau batu itu dan di sana engkau akan melihat saya di pohon yang paling besar diantara pohon yang ada di sana di mana aku akan menyelubungi seluruh tubuhku dengan bendera yang berwarna hitam putih sebagaimana bendera kapal kita.
Keesokan harinya sang istri pagi-pagi sekali sudah terbangun dari tidurnya, ia lalu mengenangkan kembali seluruh isi mimpinya yang indah itu. Ia lalu bertekad untuk pergi mendapatkan sang suami tercinta sesuai petunjuk mimpi semalam. Segera ia menyuapi anaknya serta menidurkannya, maka ia lalu bergerak menuju pulau karang tadi (Wat- Hillai). Di sana ia berusaha untuk mendapatkan di tengah -tengah pulau karang itu pohon yang paling besar di antara pepohon dimana suami tercintanya berada sesuai petunjuk mimpi semalam. Ketika ia bergerak mendekati pohon yang paling besar di antara pepohonan di sana, nampaklah olehnya seekor ular laut yang berwarna "hitam Putih," sedang melingkar dengan bagusnya pada pangkal pohon tersebut. Melihat ular yang berwarna hitam-putih itu sadarlah ia sekarang bahwa suami tercintanya kini telah menjelma menjadi seekor ular laut yang berwarna hitam putih. Sesudah itu ia lalu kembali ke kapal untuk menemukan anaknya, dengan penuh kegembiraan karena ia sudah bertemu dengan suaminya walaupun dalam wujud dan bentuk seekor ular laut.
Kini barulah ia sadar bahwa hanya ia dan anaknya saja yang masih berada di atas kapal itu, itulah sebabnya ia harus pergi bersama anaknya meninggalkan kapal itu agar mereka selamat sesuai saran suami di dalam mimp itadi, sebelum persediaan makanan mereka habis. Segala ikhitiar di usahakan agar dia bersama anaknya dapat menjangkau negeri Revav. Keesokan harinya tersebut bersama anaknya berhasil mendarat di pantai Negeri Revav dan terus pergi menghadap pemerintah negeri itu sambil melaporkan diri ia minta sebidang tanah untuk berkebun sebagai usaha mempertahankan hidup mereka. Kehadiran sang Nyonya bersama anaknya diterima dengan baik oleh pemerintah negeri itu dan permintaannya diterima dengan gembira dimana ia bersama anaknya diterima menjadi warga negeri tersebut dan kepada mereka diberi sebidang tanah untuk berkebun.
Sesudah itu nyonya tersebut menanami tanah tadi dengan berjenis-jenis sayur-mayur, ubi dan lain-lain tanaman umur pendek mengingat agar kebun tersebut sudah harus memberikan hasil sebelum sisa persediaan makanan yang dibawa dari kapal itu habis. Sehari-harian dari pagi sampai petang sang nyonya itu bekerja keras di kebunnya. Akibatnya sang anaknya tadi sepanjang hari beliau tingalkan dirumah sendirian tanpa ada orang yang menunggunya di rumah. Anak tadi adalah seorang anak perempuan yang kian lama beranjak menjadi besar. Ketika sang anak tadi sudah menjadi besar, ia merupakan seorang gadis kecil yang perhatiannya sangat terarah kepada berjenis-jenis burung yang beterbangan disekeliling kebun mereka. Setiap burung yang terbang melewati kebun mereka senantiasa diperhatikan seraya meniru burung-burung itu terbang dengan menyepakkan tangan dan kakinya, serta meniru suaranya. Begitulah pekerjaan gadis cilik itu setiap hari sambil menemani ibunya bekerja di kebun.
Pada suatu hari ketika gadis cilik itu sementara bermain disekitar kebun itu, datanglah seekor burung Kakaktua hijau mendekati sang gadis tersebut sambil bermain-main dengannya, pada waktu ibunya lagi bekerja di kebun mereka. Burung kakaktua itu lalu mengangkat suara seraya bertanya kepada sang gadis itu. "Apakah engkau ingin terbang seperti saya?" Sang gadis itu dengan penuh rasa gembira menjawab; "Ya, saya sangat gembira bilamana saya dapat terbang seperti engkau, karena dengan demikian saya dengan mudah dapat mencari makanan untuk saya bersama ibu saya." Burung kakaktua itu lalu menjawab: "Saya dengan segala senang hati akan melatih engkau terbang seperti saya, asalkan engkau mematuhi segala sesuatu yang kuajarkan kepadamu." Sang gadis cilik itu lalu menjawab: "Saya akan berusaha untuk mematuhi segala apa saja yang engkau ajarkan kepadaku."
Setelah tanya jawab antara burung kakaktua itu dengan gadis cilik itu berakhir, dimana burung tersebut sudah mendapatkan kepastian bahwa segala apa saja yang akan diajarkan kepada sang gadis itu akan dipatuhi, maka terbanglah burung tersebut pergi mencari daun-daunan yang berwarna hijau dan merah. Daun-daun itu lalu dikumpulkan di tempat anak gadis tadi, dan ketika daun-daun itu sudah lengkap dikumpulkan, lalu dipanggilah anak gadis tadi datang mendekati burung kakaktua itu. Semua daun yang berwarna hijau dan merah tadi dilekatkan pada badan sang gadis tersebut di mana daun yang berwarna merah dilekatkan pada bagian dalam dan yang hijau pada bagian luar. Dengan demikian warna seluruh tubuh sang gadis tadi menjadi hijau karena dilapisi oleh daun-daun yang hijau, tetapi bilamana ia menggerakkan tangannya maka kelihatanlah warna merah bagian dalam, sama seperti burung kakaktua tadi hijau warna tetapi ketika ia mengepakkan sayapnya, nampaklah warna merah di bagian dalam atau di bawah/sayap.
Selesai badan sang gadis cilik itu dilapisi dengan daun-daun, gadis lalu dibawa oleh burung kakaktua itu ke suatu tempat yang tinggi. Disana dibukakan sayapnya sang gadis tadi yang dibentuk dengan daun-daunan pada tangannya ditiupnya berulang-ulang daun-daunan yang sudah dilekat pada gadis tadi sehingga daun-daun itu melekat dengan sangat eratnya pada tubuh gadis tadi. Kemudian gadis itu dilepaskan dari tempat yang tinggi itu ia lalu melayang-layang mengepakkan tangannya yang sudah berubah menjadi sayap itu sambil meniru suara burung kakaktua tadi: Kaak......kaak,.......kaak. Anak gadis tadi kini telah berubah menjadi seekor burung "Kakak tua hijau," seraya terbang mendekati ibunya yang sedang asyik bekerja dalam kebun.
Sang ibu lalu terkejut dan teringatlah dia sekarang kepada anak gadisnya. Ibu ini segera berlari menuju tempat di mana sang gadis tercintanya itu ditinggalkan sebelum beliau bekerja di kebun. Ketika sampai di tempat itu begitu terkejutnya sang ibu ini karena ternyata sang gadis buah hatinya itu tiada lagi berada di tempat tersebut. Ibu tadi lalu menangis tersedu-sedu sambil berjalan ke sana-kemari di sekitar buah hatinya tadi di tempatkan, seraya bermohon agar anak tercintanya itu dapat kembali ke atas pangkuannya.
Sementara sang ibu itu berjalan kian ke mari sambil menangis tersedu-sedu, seraya bermohon agar anaknya segera dapat dikembalikan, terbanglah seekor burung kakaktua hijau di atas sang ibu yang malang itu seraya berteriak, kaak......kaak........kaak. Burung tersebut tak lain dan tak bukan dari pada sang gadis cilik tadi yang telah berubah menjadi seekor burung kakaktua hijau. Suara yang didengarkan itu seolah-olah memberitahukan kepada ibu tercintanya bahwa sesungguhnya saya ini telah berubah menjadi seekor burung kakaktua, agar ibu tak usah bersusah payah lagi mencari makan untuk memeliharanya dengan bekerja keras di kebun. Cukup lama sang ibu ini berjalan kian ke mari mencari buah hatinya itu, di mana burung kakak tua itu senantiasa terbang di atas kepala sang ibu tersebut sambil berteriak kaak,......kaak.......kaak. Ibu ini dalam kesedihannya masih sempat menyadari bahwa ada seekor burung kakaktua hijau yang senantiasa mengikuti atau membuntutinya dalam ia berusaha untuk mendapatkan anak gadisnya, disertai suara kaak,......kaaak,.......kaak.
Timbullah satu perasaan yang muncul dari dalam benak, mengapa burung itu demikian caranya, apakah burung itu mengetahui nasib malang yang sedang diderita, di mana burung kakaktua itu seolah-olah turut bersedih dengan kemalangan itu. Ibu itu kini menyadari bahwa tak lain dan tak bukan burung itu adalah anak gadis yang sedang ia cari namun kini telah berubah menjadi seekor burung kakaktua, sehingga senantiasa berjalan menemaninya (ibu tersebut). Sadarlah ibu itu sekarang bahwa tak mungkin lagi ia berhasil menemukan gadis buah hatinya itu karena ia sekarang telah berubah menjadi seekor burung kakaktua.
Ibu itu akhirnya berkata kepada burung itu: "Saya rela, dengan segala senang hati melepaskan engkau sebagai seekor burung, namun saya nasehatkan engkau agar engkau sekali-kali jangan merusak kebun orang, karena bilamana engkau merusak kebun orang pasti nyawa akan direnggut. Burung itu lalu menjawab: "Kaak.......kaak.......kaak." artinya: "Saya akan mematuhi segala nasehat ibu." Kemudian burung itu terbang beberapa kali mengitari kebun ibunya kemudian menghilang. Inilah detik perpisahan antara sang ibu dengan buah hatinya.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Maluku oleh Depdikbud
loading...
0 Response to "Batu Kapal Dan Burung Kakak Tua"
Post a Comment