Lelaki Dari Merem (Cerita Lengkap Woiram)

Lelaki Tanpa Asal Usul

Tersebut suatu kisah, pada zaman dahulu, datang seorang lelaki asing yang gagah perkasa di sebuah desa atau kampung bernama Merem. Kampung tersebut terletak di daerah Kecamatan Kemtuk Gresi sekarang, yaitu daerah di sebelah selatan dan barat daya kota Jayapura. Bentuk tubuh lelaki itu sangat atletis. Bahunya yang lebar, dadanya yang bidang, serta otot-ototnya yang kelihatan kekar dan kuat, memberi kesan sebagai orang yang gagah berani dan pahlawan di medan perang. Sinar matanya begitu tajam, seakan dapat membaca segala peristiwa yang akan terjadi. Sedang kulitnya yang hitam legam dan berminyak seakan memancarkan cahaya karena ditimpa sinar matahari. Ia berjalan dengan tenang ke tengah kampung, mencari pintu yang terbuka untuk dimasukinya.

Di tengah-tengah kampung masih ada sisa keramaian. Beberapa hari sebelumnya telah terjadi pengangkatan dan pelantikan ondoafi baru, yaitu kepala pemerintahan adat untuk kampung Merem. Pintu rumah ondoafi sedang terbuka. Ondoafi juga berada di rumah karena belum boleh bepergian. Seorang ondoafi baru, sekurang-kurangnya lima belas hari atau satu kali bulan purnama sesudah upacara pelantikan, baru diperbolehkan keluar rumah. Masa diam di rumah itu digunakan untuk pendekatan diri dengan raja tanah atau penguasa alam, disamping menerima ucapan-ucapan selamat dan para tamu yang datangnya dari jauh. Ke pintu rumah ondoafi itulah orang asing tersebut masuk. Sesudah memberi salam dan dipersilakan masuk, ia  lalu mengambil tempat duduk, berhadapan dengan ondoafi, dan memperkenalkan dirinya sebagai Woiram. "Dari mana Saudara ini?" tanya ondoafi," Melalukan perjalanan jauh bukan?"

Seakan tidak memerlukan jawaban dari orang yang ditanyainya, ondoafi itu kemudian berdiri meraih seruas bambu yang berisi sopi, lalu diserahkan kepada lelaki itu sebagai perjamuan. "Minumlah dahulu sebelum kita bicara." Kedua lelaki itu lalu tenggelam dalam nikmatnya sopi. Di belakang rumah ondoafi, beberapa orang wanita dan laki-laki sedang asyik bercanda di tepi perapian besar, membakar batu yang akan digunakan untuk memasak makanan. Cara memasak seperti itu disebut bakar batu. Ketika beberapa kerat daging dimasukkan ke dalam tumpukan batu yang sudah memerah, baunya menyebar ke sekeliling rumah dan menimbulkan aroma yang enak, sehingga memancing selera. Aroma yang segar itu tercium  pula oleh  ondoafi  dan tamunya yang sedang terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan yang ringan dan akrab. Begitu tercium bau daging bakar yang harum, ondoafi lalu berkata. "Kita makan bersama dahulu sebelum Saudara Woiram meneruskan perjalanan."

Setelah makan bersama selesai dan wanita-wanita mengundurkan diri dari kesibukannya di dalam rumah, ondoafi lalu mengajak tamunya berkeliling rumah dan memperlihatkan alat-alat perangnya yang baru. Seperti tombak, busur dengan anak panahnya, parang, dan kapak. Semua peralatan baru yang masih berkilat itu masing-masing didampingi dengan  peralatan lama yang jumlahnya kira-kira tiga atau empat bilah. Hal itu menunjukkan bahwa jabatan yang di pegangnya adalah turun-temurun sejak kakek moyangnya, kemudian dia sendiri yang kini memegang jabatan ondoafi. Setelah dijamu oleh ondoafi dan menyaksikan peralatan perang tanpa disangka Woiram memohon kepada ondoafi itu agar diizinkan tinggal di kampung  Merem. Ondoafi yang sejak semula telah memperhatikan sikap dan penampilan serta tutur kata orang asing ini tentu saja menerima dengan senang hati. Hanya beberapa pertanyaannya untuk mengetahui asal-usul Woiram, selalu dihindari lelaki pendatang itu. Tetapi ondoafi tidak merasa kecewa dengan hal itu. Sebaliknya ia merasa bangga, karena bertambah seorang warga kampung lagi yang dapat diandalkan dalam pertahanan kampung dan sukunya. Sejak itu Woiram tinggal di kampung Merem dan berusaha untuk lebih dekat dengan warga desa yang lainnya.

Woiram sangat percaya dan taat beribadat terhadap kekuatan-kekuatan gaib, kekuatan pohon-pohon besar, kekuatan batu-batu besar, ular-ular, maupun bintang-bintang dilangit. Di samping tekun beribadat ia juga taat pada peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh ondoafi sebagai penguasa tertinggi dalam pemerintahan di desa itu. Sudah beberapa minggu Woiram tinggal di desa Merem tanpa diketahui dari mana asalnya, dan siapa orang tuanya. Ketekunan dan keperkasaan Woiram disertai kerendahan hatinya menyebabkan ia disegani banyak orang. Bahkan ondoafi pun merasa perlu untuk memberikan suatu jabatan penting baginya. Tetapi Woiram selalu menolak karena ia ingin lebih bebas untuk bertekun dalam tapanya. Ia tidak mau terikat oleh suatu pekerjaan atau jabatan dalam kampungnya. Pendiriannya sangat kokoh, tidak mudah terpengaruh, tetapi ia rendah hati. Sikap seperti itu menyebabkan semua laki-laki muda menaruh simpati kepadanya. Ia diminta untuk melatih ketrampilan menggunakan senjata apabila ada waktu senggangnya. Hal itu dilakukannya dengan senang hati dan tanpa mengharapkan balas jasa.

Hari berganti hari, musim pun bertukar. Tak terasa telah bertahun-tahun lamanya Woiram berdiam di kampung Merem. Umurnya hampir setangah baya, namun ia tidak berniat untuk beristri. Tak diketahui satu pun apa pekerjaannya yang rutin, kecuali tekun dalam tapa atau semedinya. Hal itu pun tidak dilakukannya setiap hari. Kadang-kadang ia membantu ondoafi dalam hal-hal tertentu yang agak sulit diatasi oleh ondoafi itu sendiri. Oleh karena itu ondoafi sangat kagum akan kemauan Woiram. Dan ia lebih kagum lagi karena tidak sedikit wanita yang berusaha dan ingin untuk mendampingi laki-laki yang perkasa dan tampan seperti Woiram itu, tapi selalu dihindarinya. Pada uatu hari, sebagaimana biasanya, anak-anak muda datang bertandang ke rumahnya. Hari itu memang merupakan waktu senggang bagi Woiram. Ia tidak bersemedi atau bertapa. Segeralah anak-anak muda itu mempersiapkan segalanya untuk mengadakan latihan. Tiba-tiba  datanglah seorang laki-laki tua diiringi seorang wanita. Mereka kelihatan begitu tergesa-gesa dan dengan air muka yang mengandung berbagai arti.

"Wahai anak-anak muda tolonglah kami," kata lelaki yang baru datang itu. Dadanya turun naik seperti orang ketakutan.

"Ada apa Bapak? Mengapa begitu ketakutan?" tanya salah seorang pemuda.

"Anak saya, anak saya dari kemarin belum pulang ke rumah. Ia ditangkap Nenek Suanggi yang jahat itu!" Nenek Suanggi ialah tukang tenung atau sihir.

"Baik Bapak, tenanglah. Nanti kami akan mencarinya!"

Ternyata lelaki tua yang sedang ketakutan itu adalah seorang tetua di kampung Merem itu. Laki-laki tua itu dikenal bernama Binaro. Ia mempunyai seorang putri bernama Bonadebu yang sangat dikasihinya. Itulah sebabnya ia sangat gelisah dengan kehilangan putri tercintanya itu.

Mengejar Nenek Suanggi

Binaro telah bertekad memberi hadiah yang setinggi-tingginya kepada siapa yang dapat membebaskan Bonadebu. Termasuk diri Bonadebu sendiri boleh diperistri oleh orang yang dapat menyelamatkan jiwanya. Para pemuda lalu saling berlomba untuk dapat menyelamatkan Bonadebu dari cengkeraman Nenek Suanggi yang tinggal di hutan dekat Merem, di dalam sebuah gua batu yang sempit dan memanjang ke dalam. Setelah segalanya dipersiapkan, maka berangkatlah sejumlah besar orang laki-laki beramai-ramai menuju hutan. Tujuan pertama ialah mencari tempat persembunyian si Nenek Suanggi. Karena hari mulai gelap, orang lalu menyulut obor untuk menerangi jalan. Tak berapa lama, rombongan laki-laki itu menemukan jalan yang berlumpur. Dengan susah payah mereka berusaha agar dapat bergerak maju. Ada yang melompat-lompat menghindari jalan yang berlumpur itu. Namun tak ayal, lumpur-lumpur itu bercipratan ke mana-mana mengenai anggota rombongan lainnya. Ada pula yang jatuh karena tersandung tali-temali di dalam lumur. Terdengarlah suara gaduh di malam hari itu. Tanpa disadari, mereka telah dekat dengan tempat persembunyian si Nenek Suanggi.

Dari jauh si Nenek Suanggi telah mendengar suara gaduh yang berasal dari rombongan pencari Bonadebu itu. Ia tahu apa akibatnya. Ia akan mengerahkan ilmu dan tenaganya untuk melawan rombongan pencari yang banyak itu. Walaupun mereka bukan tandingannya karena ketangkasan mereka ada di bawahnya, tetapi mungkin cukup memeras tenaga karena rombongan  pencari itu banyak jumlahnya. Nenek sihir itu lalu membawa pergi Bonadebu dari tempat persembunyiannya. Mereka menapaki jalan berlumpur di depan rombongan pencari. Begitu sampai di depan gua para rombongan sangat terkejut. Pintu gua itu telah terbuka dan di atas tanah berlumpur itu kelihatan bekas telapak kaki yang baru melangkah. Tahulah mereka bahwa si Nenek Suanggi telah meninggalkan tempat itu. Rombongan itu segera berbalik dan dengan  mempercepat langkahnya mengikuti jejak langkah bekas telapak yang masih baru itu. Setelah beberapa saat mengejar, kelihatanlah sesosok bayangan yang sedang menggotong sesuatu  yang berjalan tergesa-gesa di depan mereka. Sosok itu tak lain ialah nenek sihir yang menggotong Bonadebu.

Sementara itu malam semakin larut. Rombongan itupun semakin jauh dari kampung Merem. Tetapi sampai saat itu, yang dikejar belum juga terkejar. Maka diputuskannyalah untuk kembali saja. Besok harinya baru pengejaran akan dilanjutkan dan diusahakan sedapat mungkin dapat terkejar. Keesokan harinya, sebelum berangkat, diadakan musyawarah. Dicarikan cara yang baik untuk segera menangkap Nenek Suanggi itu. Tiba-tiba muncul ondoafi di tegah-tengah kerumunan rombongan laki-laki yang sedang bermusyawarah itu. Semua orangpun berdiam diri sambil menunggu apa yang akan disampaikan ondoafi itu. "Saudara-saudara, sebaiknya dalam pencarian putri Binaro ini ada seorang pemimpin rombongan, agar rombongan dapat diatur dengan sebaik-baiknya untuk menyergap dan menangkap si nenek sihir itu," kata ondoafi itu kemudian. Orang-orang saling berpandangan, seakan-akan meminta pendapat. Ondoafi lalu melanjutkan kata-katanya. "Janganlah berlomba sendiri-sendiri, karena dengan cara demikian akan membuat kita cepat kalah sebab kemampuan nenek sihir itu sangat tinggi."

Setelah merenungkan kata-kata ondoafi sebentar, hampir semua orang itu setuju. Sekarang siapa yang akan ditunjuk sebagai pemimpin rombongan? Semua orang mencari dan saling menunjuk yang lain menjadi ketua rombongan. Suasana jadi tidak menentu. Ondoafi kemudian berkata lagi. "Saudara-saudara, saya mengusulkan supaya Saudara Woiram menjadi ketua rombongan. Alasannya karena ia orang yang tenang dan dapat diandalkan kekuatan dan ketrampilannya." Semua orang lalu ramai-ramai menyatakan persetujuannya. Woiram yang ketika itu sedang hadir pula dalam musyawarah itu, hanya dapat mengiyakan kata-kata ondoafi yang telah ditunjang oleh orang banyak itu. Segera dipersiapkanlah segala keperluan untuk melanjutkan pengejaran terhadap nenek sihir dan merebut kembali Bonadebu. Rombongan itu kemudian mulai bergerak ke arah hutan setelah segala sesuatunya siap. Pemuda-pemuda yang perkasa berjalan di depan, siap dengan tombak dan anak panahnya. Woiram sebagai pemimpin  rombongan, setiba di dekat hutan itu kemudian memerintahkan rombongannya untuk berpencar. Semua mencari tempat yang tepat dan menguntungkan agar dapat mengepung Nenek Suanggi di temat persembunyiannya.

Tetapi si Nenek Suanggi tak akan disebut demikian kalau dengan begitu ia mudah ditangkap. Kedatangan rombongan itu telah diketahuinya, sehingga Bonadebu telah dibawa pergi lagi dari tempat itu. Maka itu, ketika rombongan tersebut tiba di tempatnya, mereka hanya mendapatkan gua yang kosong. Bekas telapak kaki pun tak kelihatan sehingga rombongan kehilangan jejak. Akhirnya rombongan itu pun kembali. Atas usul ondoafi dan ayah Bonadebu, Binaro, kini pengejarannya diserahkan kepada Woiram. Mereka percaya bahwa Woiram pasti dapat mengalahkan Nenek Suanggi dan menyelamatkan Bonadebu. Maka berangkatlah Woiram mencari jejak Nenek Suanggi dan Bonadebu. Setelah beberapa lama berjalan ia mulai melihat tanda-tanda adanya kegiatan manusia. Ia pun mulai mengendap-endap dan memperhatikan dengan teliti segala gerak dan bunyi di sekitarnya. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup ia mendengar suara mengerang kesaktian dari balik semak belukar. Dengan hati-hati ia pun menuju ke tempat datangnya suara itu. Benarlah, di tempat itu Bonadebu  sedang terikat dan disiksa oleh Nenek Suanggi yang jahat itu. Tanpa menungu lama Woiram segera menyergap si nenek sihir. Setelah Nenek Suanggi dibekuknya dan kemudian diikat erat-erat, Bonadebu pun lalu dibebaskan dari tali pengikatnya.

Alangkah mudahnya Woiram mengalahkan Nenek Suanggi. Semua perbuatannya tak lepas dari pengawasan Bonadebu sehingga dengan diam-diam wanita muda itu merasa kagum dan menaruh simpati yang dalam terhadap Woiram. Kemudian mereka pulang bersama-sama. Bonadebu begitu lemah, maka ia digotong oleh Woiram. Begitu tiba di kampung ia disambut dan dielu-elukan, tidak ketinggalan pula ondoafi dan Binaro. Tak terlukiskan kegembiraan yang meliputi Binaro dan keluarganya, tatkala menyambut kedatangan putrinya tercinta itu. Namun Woiram sendiri tak sedikit pun tampak kebanggaan di wajahnya atas keberhasilannya itu. Apalagi menyombongkan diri. Karena ia menganggap bahwa semua itu berkat pertolongan para dewata. Setelah orang-orang agak tenang, kemudian Binaro mengatakan, bahwa ia akan menepati janjinya, yaitu menyerahkan Bonadebu kepada seorang laki-laki sejati. Mungkin Bonadebu sudah jodohnya, maka Bonadebu kini menjadi istri Woiram.

Lahir Tanpa Ibu

Siang berganti malam, malam berganti pagi dan musim pun bertukar. Tidak bosan-bosannya Woiram berdo'a. Kadang-kadang ia datang ke tempat Bonadebu lalu mengajak istrinya itu pergi ke kebun. Kadang-kadang Bonadebu menemaninya pergi berburu. Sering pula mereka menikmati hasil kebun dan hasil perburuannya bersama-sama. Tetapi Woiram mampu menahan diri untuk tidak menggauli istrinya. Malahan ia berdoa pula meminta kepada dewa agar Bonadebu pun diberi kekuatan agar tidak goyah pendiriannya dan mandul, tak dapat melahirkan seorang anak pun. Ia dijadikan istri bukanlah karena kebutuhan akan keturunan sebagaimana keinginan setiap manusia yang telah menjadi suami-istri. Tetapi ia menikahi Bonadebu hanyalah untuk mengukuhkan martabat Woiram sebagai seorang lelaki, bahwa ia pun mampu dan sanggup mencari jodoh sebagaimana laki-laki lainnya. Woiram tidak tinggal serumah dengan istrinya, namun perkawinan Woiram - Bonadebu itu dapat berlangsung puluhan tahun lamanya. Ternyata hidup mereka tentram dan bahagia walau belum dikaruniai seorang pun anak.

Pada suatu ketika, kehidupan tentram yang meliputi suami-istri itu mulai dibayangi oleh awan mendung yang menggelantung dalam rumah tangga mereka. Ternyata kebahagiaan mereka akhirnya goyah juga. Di hati Bonadebu timbul suatu tuntutan, yaitu ia menginginkan adanya keturunan sebagaimana istri-istri dalam keluarga lainnya. Padahal tuntutan dan permintaan itu tentu saja sulit untuk dikabulkan Woiram, sebab ia telah berjanji kepada dewata untuk selama hidupnya tidak tidur bersama-sama perempuan, termasuk istrinya sendiri, tidur bersama-sama perempuan, termasuk istrinya sendiri. Pada suatu ketika Woiram membuat tali busur di dalam  pondoknya, sambil merenungkan kehidupan keluarganya. Tiba-tiba ia tersentak karena jari telunjuknya teriris pisau sehingga mengeluarkan darah yang cukup banyak. Tanpa berpikir panjang Woiram berdiri lalu mencari tempayan untuk menampung darahnya yang terus-menerus menetes. Setelah darahnya tidak menetes lagi, kemudian tempayan itu diletakkan disudut ruangan yang agak gelap. Keesokan harinya Woiram dan istrinya pergi berkebun seperti hari-hari biasanya. Cukup banyak pekerjaan yang mereka garap, yang tak mungkin dapat diselesaikan dalam sehari itu. Sedangkan jarak antara rumah mereka dengan kebun itu cukup jauh. Maka mereka memutuskan untuk bermalam di kebun saja agar sisa pekerjaan dapat diselesaikan esok harinya.

Dua hari berturut-turut mereka mengerjakan kebun tanpa mengenal lelah. Pada hari ketiganya barulah mereka kembali ke rumah. Mereka sangat letih, sehingga setelah tiba di rumah mereka langsung tertidur. Menjelang tengah malam Woiram terjaga dari tidurnya karena mendengar suara tangis bayi di dalam rumah. Ia segera bangun lalu mencarinya ke sana kemari. Tetapi setelah sadar ia tersenyum sendiri, karena baru ingat bahwa di dalam rumah tak ada bayi atau orang lain selain mereka berdua. "Rupanya saya bermimpi," pikirnya Woiram lalu tidur kembali. Tetapi ketika ia hendak mengatupkan matanya terdengar kembali tangis bayi seperti tadi, kemudian berhenti. Woiram terpaku di tempat tidurnya. Diperhatikannya sekelilingnya sambil menerka-nerka dari mana datangnya suara tangis bayi itu tadi. Woiram berdoa untuk mendapatkan keterangan dari dewata, apa gerangan arti peristiwa yang baru dialaminya itu. Tiba-tiba, sementara ia mengucapkan doa, terlihat olehnya  ada cahaya yang datang dari sudut ruangan di mana ia meletakkan tempayan yang berisi darahnya beberapa hari yang lalu.


Perlahan-lahan ia bangkit dari balai-balainya dan menuju ke arah tempat tersebut. Ketika Woiram hendak melihat ke dalam tempayan itu, alangkah terkejutnya ia. Suara tangis bayi itu ternyata keluar dari tempayan tersebut. Woiram lebih mendekatkan mukanya lagi kepermukaan tempayan. Sekarang ia makin terperanjat dan takjub. Di dalam tempayan itu ternyata ada sesosok bayi merah. Dengan perasaan terharu dan gembira Woiram mengangkat lalu menimang bayi itu dengan penuh rasa kasih sayang. Kemudian ia mengucapkan syukur kepada dewata karena permintaannya kini telah dikabulkan. Bayi lelaki yang lahir atas kuasa gaib itu diberi nama Woiwalitmang. Betapa gembira dan terharunya ia atas karunia yang besar itu. Kini ia telah menjadi seorang ayah yang akan menimang dan mengasuh anak itu dengan segala kasih-sayang. Tetapi kegembiraan dan keharuan Woiram hanya sebentar saja dirasakan karena ia kembali teringat akan istrinya yang sedang tertidur pulas di kamarnya. Apa yang akan dikatakan bila kejadian itu diketahui oleh Bonadebu istrinya. Tentu ia tidak akan percaya dan tetap akan menuduh bahwa anak yang lahir itu adalah  hasil hubungan gelap Woiram dengan perempuan lain. Di hati Woiram ia tidak ingin melukai hati istrinya. Ia juga tak mau berusaha meyakinkan Bonadebu akan karunia dewata itu. Woiram meresa sulit untuk memutuskan, apakah bayi itu diperlihatkan kepada Bonadebu ataukah disembunyikan saja. Bila istrinya mengetahui, apakah Bonadebu tahu benar bahwa ia memiliki ilmu-ilmu dari alam lainnya. Akhirnya pada malam itu juga Woiram memutuskan untuk menyembunyikan bayi itu disuatu tempat yang agak jauh dari kampungnya.

Sebelum fajar menyingsing Woiram sah meninggalkan desa Merem sambil mendukung bayinya. Setelah tiba di suatu tempat yang dianggapnya aman, maka dicarilah tempat yang baik untuk mendirikan sebuah pondok. Diketemukanlah tempat yang baik dan aman dibawah sebatang pohon coklat yang sedang berbuah ranum. Di sanalah ia mendirikan sebuah pondok tempat mendidik Woiwalitmang sampai besar. Ia diajari cara berburu, dan menggunakan senjata, bersemedi, berkebun, berburu, dan menggunakan senjata. Dari hari ke hari Woiwaltmang telah tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah, serta cerdas dalam menerima semua pelajaran yang telah diberikan ayahnya. Ia mahir menggunakan tombak dan panah. Ia pun tangkas berburu binatang. Ia sangat mencintai alam sekitarnya seperti juga ia mencintai ayahnya, busur dengan anak panahnya dan tombak kesayangannya. Ia tak pernah mengenal orang lain selain ayahnya. Setiap Woiwalitmang pergi berburu pasti ia memperoleh binatang atau burung. Hasil buruan tersebut selalu diserahkannya kepada ayahnya untuk disantap. Sesudah dimakan, sisanya akan dibawanya sebagai bekal untuk mengerjakan kebun di tempat yang jauh. Demikian pikir Woiwalitmang ketika itu. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa tidak jauh dari tempat tinggalnya itu terdapat perkampungan di mana ayahnya tinggal bersama istrinya.

Kembali ke Asal

Woiram sedang mengasah mata tombak dan parangnya ketika Woiwalitmang bangun dari tidurnya. Tidak biasanya Woiram mengasah tombak dan parang sepagi itu. Oleh karena itu Woiwalitmang bertanya, "Untuk apa Bapak menggosok tombak dan parang pagi-pagi begini?" Tanpa menoleh kepada anaknya dan seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya, Woiram memangil Woiwalitmang.

"Litmang, kemarilah anakku!"

"Ada apa Bapak?" sahut Woiwalitmang.

"Hari ini Bapak akan pergi ke kebun. Mungkin beberapa hari Bapak akan berada di sana. Jagalah dirimu baik-baik.

Walaupun kau sudah pandai memainkan senjata, tetapi kau belum pernah bertemu dengan manusia lain  kecuali Bapak. Oleh karena itu Bapak nasihatkan supaya janganlah pergi jauh-jauh dari pondokmu ini. Berburulah di sekitar sini saja dan makanlah apa yang kau peroleh dari kebun belakang rumah itu!" Begitulah Woiram menasihati anaknya. "Baik Bapak," jawab Woiwalitmang. Kemudian Woiram pun berangkatlah meninggalkan Woiwalitmang yang berdiri di belakangnya dengan berbagai pertanyaan yang timbul di hatinya. Tidak biasanya ayahnya pergi meninggalkan pesan yang ketat seperti itu. Ia telah biasa ditinggalkan sejak kecil selama dua sampai tiga hari. Tetapi tidak pernah ayahnya sekhawatir itu. Namun ia tak dapat mengatakan apa-apa. Pada suatu hari Woiwalitmang pergi berburu. Ia membawa tombak untuk memburu babi hutan atau rusa, dan busur dengan anak panah untuk memanah burung. Tetapi hari itu ia sedang bernasib sial. Dari pagi hingga tengah hari tak seekor binatang buruan pun yang didapat. Ia merasa sangat lelah dan perjalanannya dirasakan sudah sangat jauh. Oleh karena itu ia berhenti di bawah sebatang pohon beringin untuk melepaskan lelahnya.

Tak berapa lama kemudian, ia melihat seekor burung sedang terbang di udara. Burung itu diperhatikannya  dengan cermat. Sesudah berputar-putar, lalu hinggap di atas pohon tidak jauh dari tempat duduknya. Maka menunduklah Woiwalitmang dengan penuh kewaspadaan. Panah disiapkan, kemudian dengan penuh hati-hati ia membidik, dan anak panah pun terlepas dari busurnya, melayang ke udara menuju kesasaran. Tapi kali ini nasibnya tidak beruntung pula. Burung itu lolos dari bidikannya. Lalu Woiwalitmang mengikuti kemana arah anak anah  tadi jatuh. Setelah beberapa saat berjalan mengikuti anak panah yang dilepaskannya tadi, ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya tercengang. Di hadapannya terbentang sebidang kebun yang luas dan terurus rapi dengan tanaman buah-buahan yang cukup banyak dan beraneka macam. Ia melihat pula salah satu dari anak panah yang dilepaskannya tadi tertancap pada sebatang pohon pisang yang sedang masak buahnya. Kemudian ia menuju ke pohon pisang itu untuk mencabut anak panahnya.

Tetapi sebelum ia sampai ke dekat pohon pisang itu, tiba-tiba terdengar suara. "Hai anak muda, apa kerjamu disini?" Woiwalitmang terkejut bukan kepalang. Seakan-akan terbang jiwanya ketika ditanya oleh seseorang yang belum pernah dikenalnya. Setelah ia sadar, barulah terlihat olehnya seseorang berdiri di balik pohon pisang. Orang itu seorang wanita. Kini ia baru ingat akan pesan ayahnya. Bahwa manusia yang dihadapinya itu adalah seorang wanita. Wanita yang ditemui Woiram ialah Bonadebu. Ternyata kebun yang terurus rapi itu adalah kepunyaannya. Bonadebu memang dari tadi menyembunyikan diri sewaktu melihat anak panah yang tertancap tak jauh dari tempat ia bekerja. Melihat pemuda itu terbengong-bengong saja, maka Bonadebu menyapanya dengan ramah.

"Siapa namamu anak muda yang tampan, dan apa kerjamu disini?"

"Namaku Woiwalitmang, aku mencari anak panahku yang jatuh ke sini,"jawab Woiwalitmang.

Bonadebu hampir saja terjatuh melihat sinar atau cahaya yang keluar dari tubuh Woiwalitmang ketika berbicara. Tetapi ketakutan Bonadebu dapat disembunyikannya dan mulai bertanya lagi.

"Kau datang dari mana dan sedang apa kau disini?"

"Tempat tinggalku tak kuketahui namanya. Aku sedang berburu burung ke sini. Aku mohon maaf, telah masuk ke kebunmu," sahut Woiwalitmang. 

"Heran. Kau tidak tahu nama tempat tinggalmu? Kalau begitu siapa orang tuamu?" tanya Bonadebu lagi.

"Bapakku bernama Woiram," jawab Woiwalitmang.

Alangkah  terkejutnya Bonadebu. Ia terdiam dan terpaku di tempatnya mendengar jawaban yang tidak disangka-sangkanya itu. Hampir saja Bonadebu berteriak sekeras-kerasnya untuk melampiaskan amarahnya kepada Woiram, suaminya. Wajahnya menjadi merah padam, kemudian berubah muram karena merasa dipermainkan oleh suaminya sendiri. Woiwalitmang yang mengaku anak kandung Woiram itu juga heran. Perubahan wajah dan sikap itu menimbulkan berbagai  pertanyaan dalam hati Woiwalitmang. Melihat keadaan Woiwalitmang, Bonadebu segera mengubah sikapnya dan berkata. "Baiklah Nak, mari saya antarkan ke rumah bapakmu, tidak jauh dari tempat ini."

Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam kepala Bonadebu, dan ia berkata, "Tetapi sebelum kau sampai di rumah bapakmu, baiklah kita singgah mencari udang di kali. Udang bisa menggantikan daging burung yang tak dapat kau peroleh tadi. Udang itu dapat kau persembahkan buat makanan sore bapakmu!" Kemudian mereka berangkat menuju sebuah sungai kecil bernama Kali Wasi yang tak jauh dari desa Merem. Mereka menuju ke sebuah kolam yang sangat banyak udangnya. Di dekat kolam itu terdapat sebuah gua yang konon lebih banyak udangnya. Di dalamnya mengalir air yang bening, di sela batu - batu karang. Udaranya sangat nyaman. Melihat suasana berkatalah Bonadebu, "Woiwalitmang, di sini banyak sekali udang. Apalagi di dalam gua itu. Masuklah ke dalam gua itu agar hasil tangkapanmu lebih banyak sehingga cukup untuk dimakan sampai esok hari."

Maka menyelamlah Woiwalitmang ke dalam kolam itu dan menangkap udang yang besar-besar. Agar mendapat yang banyak lagi, ia masuk ke dalam gua. Asyik membalik-balik batu tanpa menyadari keadaan sekelilingnya. Rupanya hari itu Woiwalitmang benar-benar tertimpa nasib sial. Tanpa diketahuinya, pintu gua telah ditutup oleh Bonadebu dengan batu-batu besar. Setelah mengumpulkan hasil tangkapannya yang begitu banyak, Woiwalitmang mencari jalan keluar. Namun ia tak menemui jalan itu, dan barulah ia sadar bahwa dirinya telah ditipu oleh Bonadebu. Sementara itu, ditempat lain, Woiram merasa resah. Hari mulai senja, tapi pekerjaannya hari itu di kebun belum juga selesai. Terpaksa ditunda sampai besoknya. Setelah tiga hari ia bekerja di kebun dengan perasaan yang serba tidak menentu, maka kembalilah ia ke pondok tempat tinggal anaknya.

Sesampainya di sana, anaknya tak dijumpainya di rumah. Hari telah menjelang malam, tetapi Woiwalitmang  belum juga kembali ke rumah. Woiram mulai menduga-duga, pasti anak itu ada di dalam hutan. Ketika fajar menyingsing keesokan harinya ternyata Woiwalitmang belum juga tampak, Woiram kembali ke Merem. Di sana ia apa-apa bertemu Bonadebu yang berpura-pura tidak mengetahui apa-apa tentang masalah yang dihadapi suaminya. Tetapi ia pun tidak menanyainya. Telah berhari-hari Woiram mencari anaknya, tapi belum juga ditemukan. Sebentar-bentar ia ke pondok anaknya, sebentar-bentar ia kembali ke Merem. Namun sampai sebegitu jauh belum juga ditemukan jejak anaknya itu.  Kini setiap kampung didatangi, setiap kepala adat atau ondoafi ditanyai, tapi tak seorang pun yang tahu tentang hilangnya Woiwalitmang.

Pada suatu hari seorang ondoafi dari kampung Demotin, tak jauh dari Merem, berburu sampai ke Kali Wasi. Ondoafi itu bersama pengikut-pengikutnya. Karena lelahnya, mereka beristirahat di dekat kali. Di antara mereka ada yang mandi di kali itu. Seorang di antara mereka dapat menangkap seekor udang besar, udang itu kemudian diserahkan kepada ondoafi, seterusnya oleh  ondoafi diserahkan kepada istrinya untuk dibakar. Ketika tiba waktu makan dan ondoafi hendak makan berlauk udang, ternyata telah dilahap lebih dahulu oleh kedua anaknya, Meci dan Mesam. Ondoafi itu marah bukan kepalang terhadap istrinya. Karena kesalnya, pepeda (bubur sagu) yang akan dimakan bersama udang tadi ditumpahkan kepada istrinya. Terjadilah pertengkaran yang cukup sengit dalam keluarga itu. Meci dan Mesam merasa sangat bersalah atas kejadian tersebut.

Ketika fajar mulai menyingsing pada hari berikutnya, Meci dan Mesam telah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat. Tujuannya ke Kali Wasi untuk mencari udang pengganti udang bapaknya yang mereka telah makan kemarin. Dalam usaha mencari udang itu sampailah Meci dan Mesam ke kolam yang banyak udangnya. Mereka lalu asyik menyelam dan menangkap udang di kolam itu hingga tiba di dalam gua di dekat kolam tersebut. Ternyata di dalam gua itu lebih banyak dan besar-besar udangnya. Untuk mendapatkan udang, maka batu-batu digulingkan. Dalam usaha tersebut tiba-tiba mereka menyentuh setonggak benda yang agak lunak. Setelah diperlihatkan dengan cermat, ternyata ada sesosok tubuh manusia yang hampir beku, tubuhnya ditumbuhi tiam dan lumut. Hati kedua anak perempuan itu bertanya-tanya. "Mengapa orang ini membiarkan dirinya beku dan ditumbuhi lumut dan tiram? Apakah ia dicelakakan seseorang, ataukah ia bertapa di tempat itu sampai beku dan mati?"

Kemudian keduanya sepakat menarik tubuh orang yang sudah mati beku itu ke tempat yang kering. Keduanya lalu membuat api untuk menghangatkan tubuh orang itu. Tujuannya agar tiram-tiram di tubuh orang itu terlepas dan orang itu dapat dikuburkan dengan sewajarnya. Setelah tubuh itu mulai bergerak-gerak dan air matanya berjatuhan. Tubuh itu mulai bergerak-gerak dan matanya mulai membuka. Meci dan Mesam terheran-heran melihat kejadian itu. Pada mulanya mereka mengira orang itu telah mati. Maka itu mereka mengutuk orang yang berbuat jahat  seperti itu. Namun sekarang mereka begitu gembira melihat kenyataan yang sebaliknya. Orang itu hidup kembali. Ia adalah seorang pemuda yang kekar dan tampan. "Mungkin penjelmaan dewa," pikir Meci dan Mesam. Pada akhirnya, pemuda itu menyadari keadaan di sekelilingnya. Tampaklah Meci dan Mesam yang sedang berdiri di dekatnya sambil memperhatikannya. Kemudian pemuda itu berkata, "Terima kasih perempuan, siapa namamu?"

"Nama kami Meci dan Mesam," jawab kedua putri bersaudara itu, sambil menunjuk dirinya masing-masing. "Siapa namamu pula, dan sedang apa kau di sini?" tanya salah seorang diantara keduanya. "Namaku Woiwalitmang, Kenapa kau membangunkan aku dari tidurku yang nyenyak? Apa yang kalian kehendaki?" Dengan nada sengit kedua perempuan muda itu menjawab, "Hai.....kami  telah menolongmu dari kematian. Badanmu sudah beku, tiram dan siput memenuhi tubuhmu, lumut juga tumbuh di situ. Kau kami temukan di gua yang terletak di tengah kali itu selagi kami mencari udang. Bila tidak ada kami kau pasti mati. Kami yang menolongmu dari maut!" Mendengar itu Woiwalitmang lalu berkata, "Oh ya, baiklah. Kalau begitu dengan apa akan kubalas perbuatanmu itu?" Maka jawab kedua perempuan itu, "Tentu engkau mau menolong kami bukan? Kau harus mencarikan makanan untuk kami. Kau tidak boleh pergi dari tempat ini. Karena kalau diketahui bapak kami, tentu kami akan dihukumnya." "Baiklah, akan kupenuhi permintaanmu. Tetapi aku tak mempunyai panah dan tombak untuk berburu," kata Woiwalitmang.

Meci dan Mesam kemudian pulang ke rumah mengambil panah dan tombak untuk Woiwalitmang. Dengan kedua alat itu ia dapat berburu setiap hari. Dari hasil buruannya Woiwalitmang dapat hidup sebagai sediakala lagi. Sebagaiannya lagi dibawa oleh Meci dan Mesam ke rumah orang tuanya. Lama kelamaan orang tua Meci dan Mesam mulai curiga tehadap perilaku kedua anaknya itu. Di dalam hati ondoafi timbul pertanyaan. "Dari mana daging sebanyak itu mereka peroleh setiap harinya?" Ondoafi lalu meyuruh  anaknya yang lain untuk meyelidiki, siapa-siapa saja teman-teman Meci dan Mesam. Akhirnya diketahui juga bahwa Meci dan Mesam berteman dengan seorang pemuda yang pernah  juga diajak makan di rumahnya. Hal itu beberapa kali terjadi apabila ayah dan ibunya sedang pergi ke kebun. Bahkan mereka bertiga telah sepakat untuk saling mengasihi.

Suatu hari, sekembalinya ayah Meci dan Mesam dari kebun, maka melaporlah saudara mereka yang telah menyelidiki hal itu. Meci dan Mesam lalu dipanggil dan ditanyai tentang kebenaran cerita itu. "Meci dan Mesam, siapa pemuda yang biasa datang ke rumah ini?" tanya ondoafi. Kedua gadis muda itu tak berani menjawab pertanyaan ayahnya sepatah kata pun. Mereka hanya tunduk, kemudian saling berpandangan. "Bapak tidak marah," kata Ondoafi." Bapak hanya ingin tahu siapa pemuda yang telah kau bawa kemari di saat bapak dan mama pergi ke kebun. Katakanlah, bapak tidak akan marah!" Akhirnya mereka mencoba menjawab juga setelah didesak terus. "Kami tak membawa seorang pun kemari Bapak," kata mereka berbohong. "Jawablah dengan jujur anak-anakku. Setiap saat kau mendapat daging baru dan segar, dan juga daging asar (daging asar ialah daging yang sudah dipanggang). Siapa yang memberinya? Padahal kalian tidak pandai berburu!"

Akhirnya mereka mengaku juga. "Woiwalitmang, Bapak, Pemuda itu suka menolong kami." "Di mana tempat tingal pemuda itu?" tanya ondoafi lagi. "Kami tidak tahu. Ia kami temui di dalam sebuah gua,"  jawab Meci dan Mesam. "Jangan-jangan dia seorang dewa yang menjelma. Kenapa baru sekarang kau memberitahukan kepada bapak? Kalian sudah tahu, bahwa kita tidak mengizinkan perempan bergaul dengan laki-laki sebelum menikah. Bapak ini ondoafi yang mengatur adat di sini. Maka sebelum terlanjur, sampaikan  kepada pemuda itu, ia harus kawin dengan kamu berdua!" Mendengar itu Meci dan Mesam segera saling merangkul. Kemudian mereka merangkul ibu-bapaknya karena gembira atas keputusan yang tidak disangka-sangkanya sama sekali itu. Di pihak lain, Woiwalitmang sendiri benar-benar telah jatuh hati kepada kedua putri Ondoafi itu. Apalagi keduanya telah menyelamatkan nyawanya.

Beberapa hari kemudian tersebutlah berita ke beberapa kampung di daerah itu, bahwa Meci dan Mesam akan menikah. Dalam pesta perkawinan kedua putrinya itu, ondoafi akan mengundang semua penduduk di daerah tersebut. Di dalam rangka upacara perkawinan putri-putrinya itu, sekaligus akan diadakan pelantikan ondoafi yang baru. Semua orang telah diberitahukan perihal undangan itu, tetapi nama ondoafi baru tidak disebutkan. Hal itu dilakukan agar orang akan bertanya-tanya, siapa ondoafi  baru atau siapa menantu ondoafi ini. Cara demikian akan mengundang lebih banyak orang yang datang ke pesta tersebut. Pada hari yang telah ditentukan, Meci dan Mesam telah dihiasi dengan pakaian yang indah-indah. Begitu pula Woiwalitmang. Para undangan telah berdatangan dan memenuhi tempat upacara. Ada yang berdesak-desakan untuk maju ke depan agar lebih dekat dengan tempat upacara pelantikan ondoafi baru. Ada pula yang berdesak-desakan ingin melihat wajah pengantin dari dekat.

Di barisan depan terlihat beberapa ondoafi dari beberapa kampung terdekat yang telah hadir bersama para panglima perangnya. Di belakang barisan para ondoafi, duduk para ketua adat. Sedang di bagian lainnya telah penuh sesak pula dengan para undangan biasa. Woiram juga diundang dan telah hadir pula dalam upacara perkawinan Meci dan Mesam itu. Ia berdiri agak jauh dari tempat upacara, sambil menanti tanda dimualinya upacara perkawinan itu. Tiada berapa lama terompet kulit siput ditiup, tanda upacara segera dimulai. Kedua pengantin wanita diarak ke tempat upacara. Kemudian disusul oleh pengantin laki-laki. Hati Woiram begitu terkejut. Ternyata pemuda  yang datang sebagai pegantin laki-laki dan sekaligus ondoafi baru itu ialah anaknya sendiri, Woiwalitmang. Anaknya yang telah dicarinya berbulan-bulan, namun tak pernah ketemu, sehingga Woiram mengira anaknya telah diambil kembali oleh Dewa Terang.

Sekarang Woiram merasa dirinya telah dikelabuhi oleh banyak orang dengan menyembunyikan putranya, juga karena Woiwalitmang sendiri tak mau mencari bapaknya. Woiram merasa seakan dihina oleh Ondoafi Demotin, yang tidak mau memberitahukan siapa calon menantunya yang akan dilantik menjadi ondoafi baru di situ. Berbagai perasaan mengharukan biru di dalam hatinya. Agar tentram hatinya, maka ia bersemedi meminta kepada para dewa agar menurunkan hujan yang deras supaya upacara tak dapat diteruskan. Karena kesaktian Woiram, maka hujan pun turun dengan amat derasnya, sehingga upacara perkawinan dan pelantikan ondoafi terhenti. Belum puas dengan kejadian itu, Woiram masih meminta lagi kepada dewa agar makanan yang tersedia di dalam pesta tersebut menjadi batu. Dan terjadilah semua itu menurut apa yang ia kehendaki. Banjir mulai melanda tempat upacara, rumah-rumah serta seluruh desa tergenang air. Makin lama makin tinggi airnya sehingga rumah-rumah dan pohon-pohon tak kelihatan pucuknya lagi. Woiram sendiri memanjat sebatang pohon pinang. Pohon itu terus meninggi menyesuaikan tingginya dengan permukaan air.

Konon pada batang pinang tersebut berpegang pula Woiwalitmang dan salah seorang istrinya, yaitu Meci. Semua orang yang hadir dalam upacara itu tewas termasuk Bonadebu, istri Woiram, dan ondoafi ayah Meci. Setelah banjir mereda, Woiram, Woiwalitmang, dan Meci turun dari pohon pinang. Woiram tidak bicara banyak kepada anaknya. Ia hanya berpesan agar Woiwalitmang selalu tekun memuji para raja tanah, para dewa, bintang-bintang, dan memperbanyak keturunan di dunia. Kemudian Woiram mengajak Woiwalitmang mengikutinya. Sesampainya mereka di sebuah sungai, Woiram melompat ke atas batu besar yang terletak di tengah sungai itu sambil berkata: "Batu ini merupakan batu peringatan. Saya akan kembali dan telapak kakiku kutinggalkan pada batu ini sebagai peringatan kepadaku. Kelak kau akan menyusul aku!" Tiba-tiba Woiram menghilang dari atas batu itu, meninggalkan Woiwalitmang yang menangis atas segala kesalahannya.

Tempat Woiram hilang dan tempat di mana terdapat bekas telapak kakinya, dianggap sebagai tempat dan benda keramat oleh penduduk Merem. Penduduk desa ini sampai sekarang menganggap Woiram dan Woiwalitmang sebagai moyang mereka. Barang siapa yang datang ke tempat keramat itu untuk meminta sesuatu, akan terkabul. Asal permintaan itu diawali dengan niat yang sungguh-sungguh. Telapak Woiram itu kian hari kian mengecil dan seluruh penduduk di daerah itu percaya, bahwa kelak Woiram akan datang melihat bekas telapak kakinya sendiri dan keadaan anak cucunya.

Oleh G. Azayni Ohorella
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Lelaki Dari Merem (Cerita Lengkap Woiram) Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Lelaki Dari Merem (Cerita Lengkap Woiram) Sebagai sumbernya

0 Response to "Lelaki Dari Merem (Cerita Lengkap Woiram)"

Post a Comment

Cerita Lainnya