Cerita Rakyat Panagian ~ Di sebuah desa yang bernama Wanita Uner hiduplah suami-istri yang sudah sekian lama belum memperoleh anak. Si suami namanya Pontororing dan istrinya bernama Mamalauawan. Mereka itu sudah lama berumah tangga tetapi belum mendapat keturunan (anak). Anehnya setelah mereka itu sudah tua atau berumur, baru istrinya mengandung. Ketika anak itu lahir ia diberi nama Panagian. Ia sangat disayangi oleh orang tuanya. Apa yang dimintanya selalu diikuti oleh orang tuanya, akan tetapi ia tidak boleh sembarangan keluar rumah. Pengawasan orang tuanya lebih ketat lagi ketika ia mulai menginjak masa remaja. Banyak orang mengatakan anak gadis mereka itu sangat cantik.
Kebiasaan dahulu bila masa panen suah selesai, orang-orang berkumpul di suatu lapangan untuk mengikuti upacara syukur yang dipimpin oleh walian (pemimpin upacara). Ucapan syukur pada Tuhan ini dilangsungkan dengan masambo dan maengket (menyanyi dan menari) yang diikuti oleh siapa saja, tua muda, lelaki perempuan tidak ketinggalan.
Pada waktu hari ucapan syukur telah tiba, si Panagian meminta izin pada orang tuanya untuk turut memeriahkannya, akan tetapi ia sama sekali tidak diluaskan untuk pergi. Beberapa kali ia memohon pada orang tuanya, serta dengan berbagai cara untuk minta dikasihani agar dapat menikmati pesta syukuran itu, tetapi orang tuanya tetap melarang. Si Panagian dengan susah hati langsung ke kamarnya lalu menangis.
Akhirnya ia memohon pada Tuhan agar diberi jalan supaya ia dapat bersama-sama dengan orang-orang di dalam pesta syukur. Ia mengeluh karena orang tuanya melarang padanya untuk ikut memeriahkan pesta syukuran terutama dengan teman-temannya. O.....Tuhan kiranya saya mendapat pertolongan agar saya dapat ikut ke sana.
Sesaat kemudian tampak oleh Panagian di sebuah jalan yang lurus mulai dari kamarnya sampai ke tanah lapangan tempat orang berpesta syukuran. Kemudian dari pada itu terdengar suara, "Panagian bangunlah dan ikutlah jalan ini, dan pergilah kau berpesta."
Adapun apa yang diberitahukan padanya segera dikerjakannya. Pada waktu itu ia tiba di tempat itu, semua orang terdiam melihat padanya dan dengan bersorak menyebut padanya. Ia lalu ditunjuk oleh semua yang hadir untuk memimpin tarian maengket. Tidak segan-segan ia menerima untuk mereka, dan mulailah orang-orang menari (maengket) di bawah pimpinan Panagian. Tanpa merasa lelah, mereka berpesta sehingga tidak terasa lagi hari sudah mau siang, barulah orang-orang berhenti lalu pulang.
Panagian setibanya di rumah, dilihatnya pintu masih tertutup. Ia segera mengetuk pintu, dan meminta pada orang tuanya agar pintu dibuka. Berulang-ulang kali ia mengetuk dan memangil orang tuanya, tetapi pintu tetap tidak dibukakan dan tidak disahuti. Dengan perasaan menyesal serta penuh dengan pengakuan atas perbuatannya, dan dengan kerendahan hati untuk diminta dikasihani oleh orang tuanya agar ia diperkenankan masuk, akan tetapi yang didengarnya adalah, "Engkau pergilah, dan cari saja tempat tinggal di lain tempat. Karena tidak mau mendengar nasehat orang tuamu, maka engkau tidak diperkenankan lagi tinggal dengan kami, dan engkau ini tidak kami sayangi lagi."
Mendengar itu, si Panagian lalu meninggalkan rumah dengan muka yang muram menuju ke rumah saudara (family). Ia menceritakan pada mereka bahwa orang tuanya telah mengusirnya, disebabkan ia pergi ke pesta syukuran, ia sebenarnya tidak diperkenankan pergi. Mendengar hal itu, takutlah familinya untuk menerima dia karena mereka takut jangan sampai orang tuanya mendamprat mereka. Mendengar itu pula, maka si Panagian segera meninggalkan mereka, lalu menuju ke tanah lapang. Ia secara diam-diam tetap diikuti oleh orang tuanya bersama-sama familinya. Di tanah lapang ia duduk sambil menengadah keatas dan berdo'a pada Tuhan kiranya bukakan jalan padanya, karena tak seorang pun yang mau menerima padanya lagi.
Tiba-tiba sebuah tangga diturunkan dari atas, dan didengarnya suara, "Panagian, naiklah sebab tangga akan diangkat." Suara itu lalu dituruti Panagian. Ketika tangga itu sudah diangkat, mendadak kedengaran suara-suara dari orang tuanya beserta familinya memanggil: "Panagian!... Panagian!, O... anakku, sayangku, turunlah, karena kami sudah tidak marah lagi padamu. Engkau akan kami buatkan pesta 7 hari 7 malam. O.... Tuhan kembalikan anak kami Panagian."
Dari atas terdengar suara Panagian, "O, ayah ibuku, familiku, pulanglah kamu, karena saya ini akan pergi menghadap Tuhan yang mengasihiku, pergilah kamu melihat babi-babi/kamu karena binatang itu yang lebih kamu sayangi dari padaku sendiri."
Orang tua Panagian serta familinya segera pulang dengan susah hati dan dengan perasaan menyesal terhadap tindakan mereka pada si Panagian. Adapun orang tua si Panagian setelah tiba di rumah, pada saat itu juga keduanya rebah dan tidak bernapas lagi. Sebaliknya Panagian setelah sampai ke atas, ia disambut dengan meriah, kemudian Tuhan berkata, "Di sini kami hanya makan uap, dan apa yang kami perintahkan jangan engkau lawan. Di sebabkan kami tidak memakan apa-apa, maka isi perutmu akan kami keluarkan, dan akan digantikan dengan batu." Mendengar itu si Panagian tidak mau. Panagian dihukum mati karena melawan, dan hukumannya ialah dipotong-potong. Mukanya menjadi matahari, otaknya menjadi bulan,bahkan tubuhnya yang sudah dihancurkan menjadi bintang-bintang.
Referensi : Berbagai Sumber
Panagian setibanya di rumah, dilihatnya pintu masih tertutup. Ia segera mengetuk pintu, dan meminta pada orang tuanya agar pintu dibuka. Berulang-ulang kali ia mengetuk dan memangil orang tuanya, tetapi pintu tetap tidak dibukakan dan tidak disahuti. Dengan perasaan menyesal serta penuh dengan pengakuan atas perbuatannya, dan dengan kerendahan hati untuk diminta dikasihani oleh orang tuanya agar ia diperkenankan masuk, akan tetapi yang didengarnya adalah, "Engkau pergilah, dan cari saja tempat tinggal di lain tempat. Karena tidak mau mendengar nasehat orang tuamu, maka engkau tidak diperkenankan lagi tinggal dengan kami, dan engkau ini tidak kami sayangi lagi."
Mendengar itu, si Panagian lalu meninggalkan rumah dengan muka yang muram menuju ke rumah saudara (family). Ia menceritakan pada mereka bahwa orang tuanya telah mengusirnya, disebabkan ia pergi ke pesta syukuran, ia sebenarnya tidak diperkenankan pergi. Mendengar hal itu, takutlah familinya untuk menerima dia karena mereka takut jangan sampai orang tuanya mendamprat mereka. Mendengar itu pula, maka si Panagian segera meninggalkan mereka, lalu menuju ke tanah lapang. Ia secara diam-diam tetap diikuti oleh orang tuanya bersama-sama familinya. Di tanah lapang ia duduk sambil menengadah keatas dan berdo'a pada Tuhan kiranya bukakan jalan padanya, karena tak seorang pun yang mau menerima padanya lagi.
Tiba-tiba sebuah tangga diturunkan dari atas, dan didengarnya suara, "Panagian, naiklah sebab tangga akan diangkat." Suara itu lalu dituruti Panagian. Ketika tangga itu sudah diangkat, mendadak kedengaran suara-suara dari orang tuanya beserta familinya memanggil: "Panagian!... Panagian!, O... anakku, sayangku, turunlah, karena kami sudah tidak marah lagi padamu. Engkau akan kami buatkan pesta 7 hari 7 malam. O.... Tuhan kembalikan anak kami Panagian."
Dari atas terdengar suara Panagian, "O, ayah ibuku, familiku, pulanglah kamu, karena saya ini akan pergi menghadap Tuhan yang mengasihiku, pergilah kamu melihat babi-babi/kamu karena binatang itu yang lebih kamu sayangi dari padaku sendiri."
Orang tua Panagian serta familinya segera pulang dengan susah hati dan dengan perasaan menyesal terhadap tindakan mereka pada si Panagian. Adapun orang tua si Panagian setelah tiba di rumah, pada saat itu juga keduanya rebah dan tidak bernapas lagi. Sebaliknya Panagian setelah sampai ke atas, ia disambut dengan meriah, kemudian Tuhan berkata, "Di sini kami hanya makan uap, dan apa yang kami perintahkan jangan engkau lawan. Di sebabkan kami tidak memakan apa-apa, maka isi perutmu akan kami keluarkan, dan akan digantikan dengan batu." Mendengar itu si Panagian tidak mau. Panagian dihukum mati karena melawan, dan hukumannya ialah dipotong-potong. Mukanya menjadi matahari, otaknya menjadi bulan,bahkan tubuhnya yang sudah dihancurkan menjadi bintang-bintang.
Referensi : Berbagai Sumber
loading...
0 Response to "Cerita Rakyat Panagian"
Post a Comment