Alkisah Rakyat ~ Pada zaman dahulukala waktu hidupnya nenek pencerita Andik Damanik, datanglah 7 orang dukun dari Samosir ke Pemetang Bandar sekarang ini. Ketujuh orang dukun itu adalah, marga Silalahi, Nainggolan, Sidabutar, Sirait, Sitorus dan Manik.
Datangnya ketujuh orang ini adalah akibat kalah judi dan minum-minuman keras (mabuk). Kemana pun pergi ketujuh dukun ini selalu bersama-ama karena mempunyai keahlian masing-masing untuk mengobati sesuatu penyakit. Dengan kata lain mereka bersahabat dan sehidup semati.
Sebelum tiba di Pematang Bandar mereka sudah berbulan-bulan dalam perjalanan karena waktu itu belum ada jalan raya. Jadi mereka harus menempuh hutan belukar, gunung dan lembah serta binatang buas dan perampok. Mereka sudah penuh pengalaman pahit waktu melewati hutan belukar, sungai gunung tersebut. Suatu ketika karena letih dan lapar dalam perjalanan itu mereka istirahat pada suatu tempat. Mereka terpaksa memakan bahan makanan yang belum pernah dimakannya dari pada mati kelaparan di situ. Di hutan itu banyak sekali tumbuan sungkit (mirip dengan daun cikal kelapa).
Buah sungkit inilah yang mereka makan untuk menahan lapar. Kemudian, untuk melepas dahaga, mereka pergi minum pada sebuah sungai kecil yang melintas di situ. Akibat buah sungkit yang mereka makan tadi maka air sungai itu mereka rasakan manis. Sejak itulah sungai kecil itu bernama Bah Tabu ( Tebu) Salah satu di antaranya mereka itu, yakni marga Nainggolan itu terkenal dengan gelar Datu Parulas. Datu ini adalah seorang Parultop (senjata dengan alat hembusan) yang tangkas dan pandai sekali memanah. Hasil panahannya itu adalah bermacam-macam binatang hutan, itulah sering yang jadi bahan makanan mereka bertujuh dalam perjalanan itu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dalam perjalanan itu sampailah mereka pada suatu tempat yang bernama Pematang Bandar. Di sinilah mereka menemui penghulu Andik Damanik. Lama kelamaan Andik Damanik mengenal mereka dengan baik karena mereka tinggal di rumah penghulu tersebut. Kalaupun mereka pergi kemana-mana, mereka selalu kembali bermukim di rumah itu. Karena itu masyarakat desa itu sudah kenal dengan mereka.
Pada suatu hari ketujuh orang ini bertemu dengan seorang Lobe ( guru agama Islam) dari suku Batak Simalungan.
"Kalian ini berasal dari mana?" katanya
"Dari Samosir, Tuan," jawab mereka.
"Maukah kalian masuk Islam?" kata Lobe
"Ya, mau Tuan." kata mereka itu. Ketujuh orang itu jadi pemeluk agama Islam. Seterusnya mereka diajar tuan Lobe beramal.
Suatu ketika, mereka mau mempraktekkan amalan itu pada suatu tempat di seberang Bah Bolon (Besar) Tetapi karena tiada perahu atau titian ke seberang, mereka mempergunakan daun kembahang (sebangsa daun keladi). Dengan daun kembahang itu mereka menyeberang Bah Bolon pada kubah sekarang ini. Disinilah mereka mengamalkan ilmu yang dipelajarinya dari Guru itu. Berbulan-bulan lamanya mereka mempraktekkan amal di tempat itu. Tetapi suatu ketika sebelum amalan mereka itu lengkap tuan Lobe guru mereka itu meninggal dunia. Mayatnya dibawa ke Pematang Bandar untuk dikuburkan. Setelah selesai acara penguburan itu kembalilah ketujuh dukun ini ke kubah tempat bertapa mereka. Di sanalah mereka meneruskan amalan mereka untuk beberapa lama lagi.
Suatu hari, setelah letih, lapar dan haus, mereka pergi ke tepi sungai di tempat itu. Waktu mereka sedang makan, mereka melihat petai di dalam air sungai itu. Mereka berpikir bahwa selera makan akan bertambah jika petai itu dimakan bersama nasi. Untuk mendapatkannya mereka berlomba melompat ke dalam air sungai.
Satu demi satu orang itu melompat hingga enam orang, semuanya hilang gaib, tak tahu kemana perginya. Melihat keadaan itu, marga Sirait jadi heran tak habis-habisnya. "Satu pun tak muncul- muncul," pikirnya. Waktu Sirait mau melompat lagi untuk mengambil petai yang masih nampak itu, tiba-tiba terdengarlah suara seekor kera yang sedang memanjat diatas pohon itu. Segera dilihatnya ke atas, nampaklah kera itu dan buah petai yang sesungguhnya. Sadarlah dia bahwa petai itu sebenarnya berada diatas bukannya di dalam air. Yang ada dalam air sungai itu hanyalah bayangan belaka.
Kemudian berpikir-pikirlah Sirait sendirian. "Kemanalah gerangan kawannya itu pergi semua? Air ini tidak begitu dalam, tetapi sampai enam orang kawanku sependeritaan tidak nampak lagi." Pada waktu berpikir-pikir demikian itu matanya terus diarahkan ke air sungai, tiba-tiba muncullah seekor ular naga Banus. Karena itulah maka mulai saat itu sungai itu dinamai orang Bah Banus. Sirait semakin takut menjadi-jadi setelah melihat ular yang besar itu. Menurut pikirannya, ular itulah yang telah memakan ke enam sahabatnya itu.
Perasaannya semakin sedih bercampur dengan ngeri mengingat persahabatan yang begitu lama tapi tiba-tiba direnggut musibah itu. "Kami sudah sehidup semati sejak di samosir dan melalui perjalanan jauh sampai di tempat ini," pikirnya. Terbayang kembali olehnya betapa buasnya hutan dan marabahaya yang mereka hadapi. "Kalau inilah saatnya berpisah kemanakah saya yang sebatang kara ini pergi?" demikian yang mendesak dalam pikiran Sirait.
"Lagi pula, saya katakan mereka dimakan ular naga ini, tak ada buktinya; mungkin mereka itu masih hidup. Saya tunggu lebih lama di sini, mungkin saya ini akan mati dimakannya juga." Demikianlah Sirait berpikir-pikir tidak menentu. Kiranya, tak sadar dia, air matanya telah meleleh membasahi pipinya. Kadang-kadang timbul dalam pikirannya, ah untung sekali kudengar suara kera itu sehingga kuketahui bahwa petai dalam air itu adalah bayangannya.
Kalau tidak karena kera itu, mungkin saya sudah terjun ke dalam air mengambil petai bayangan celaka itu." Sebentar kemudian timbul lagi dalam hatinya. "Sampai 6 orang kawanku menghilang di sungai ini. Apa artinya kejadian ini? Sungguh suatu teka-teki. Benar-benar tempat ini angker. Kalau tidak, tak mungkin terjadi yang demikian, dan.... ular naga yang besar ini lagi." Demikianlah yang timbul dalam pikiran Sirait.
Setelah lama ditunggunya tidak juga muncul, putuslah harapannya untuk melihat kembali kawan-kawannya. Hatinya pedih dan air matanya terus melimpah. Sirait semakin kebingungan akan peristiwa itu. Jalan terakhir, dia mesti angkat kaki dari tempat itu.
Dengan terisak-isak, tempat itu ditinggalkannya. Sambil melangkah timbul dalam benaknya. "Kepada siapakah kejadian ini saya beritahukan? Samosir begitu jauh, di tempat ini tak ada sanak famili. Tetapi bagaimanapun, saya mesti pulang ke Samosir sebab tinggal di tempat ini tak ada lagi kawanku. Lagi pula, kejadian ini harus saya beritahukan ke Samosir." Setelah berkesimpulan demikian, langkahnya dipercepat. Tiba di Pematang Bandar, diberitahukannyalah kejadian itu kepada Andik Damanik. Waktu itu diberikannyalah sebuah tongkat kepada Andik untuk menjaga kubah itu, lalu Sirait terus berangkat pulang ke Samosir. Dan sejak kubah itu turunan Andik menjaga kubah itu selama empat generasi, serta sejak itu pulalah tempat itu dianggap keramat dan diziarahi oleh orang-orang yang mempercayainya, terlebih-lebih orang-orang Cina.
Demikianlah cerita tentang Keramat Kubah Pandan Pardagangan ini.
Sumber : Cerita Rakyat Sumatera Utara
loading...
0 Response to "Keramat Kubah Pandan Pardagangan"
Post a Comment